Berita Terbaru

Diberdayakan oleh Blogger.

Tinta Politik di Atas Palu Hakim: Membedah Vonis Tom Lembong

Terdakwa kasus dugaan korupsi impor gula, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong. 

Oleh: Ibrayoga Rizki Perdana

PADA Jumat sore, 18 Juli 2025, palu hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat diketuk. Vonis 4,5 tahun penjara dijatuhkan kepada Thomas Lembong, mantan Menteri Perdagangan, atas kebijakan impor gula yang ia ambil hampir satu dekade silam.

Namun, di tengah amar putusan yang keras itu, terselip paradoks yang mengguncang: hakim menilai Tom Lembong tidak terbukti memperkaya diri sendiri. Vonis ini lebih dari sekadar akhir babak hukum.

Ia adalah studi kasus yang kompleks, memaksa kita untuk menelanjangi persimpangan rawan antara politik, hukum, dan administrasi negara.

Bagaimana mungkin seorang pejabat dipenjara karena kebijakan yang tidak menguntungkan kantong pribadinya? Jawabannya terletak pada dua arena: panggung politik pasca-Pilpres dan zona abu-abu hukum administrasi.

Panggung Politik dan Gema Pemilu

Pertanyaan tak terhindarkan menggema di ruang publik: Mengapa sekarang? Kasus yang berasal dari periode 2015-2016 ini seolah bangkit dari tidur panjangnya tepat setelah Tom Lembong menjelma menjadi salah satu kritikus pemerintah paling vokal selama kontestasi Pemilu 2024.

Bagi sebagian kalangan, timing ini adalah segalanya. Muncul narasi kuat tentang kriminalisasi, istilah untuk menggambarkan penggunaan instrumen hukum sebagai senjata untuk membungkam atau mendelegitimasi lawan politik.

Dalam bingkai ini, vonis tersebut adalah episode pamungkas dari drama politik, balasan atas kritik-kritik pedas yang pernah dilontarkan dari kubu oposisi. Tentu saja, ada narasi tandingan yang sama kuatnya: penegakan hukum tanpa pandang bulu.

Dari perspektif ini, vonis tersebut justru menjadi bukti bahwa hukum di Indonesia tidak tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Siapa pun, termasuk mantan menteri, harus bertanggung jawab jika tindakannya terbukti merugikan negara.

Pemerintah menampilkan ini sebagai komitmen bersih-bersih, tak peduli kawan atau lawan. Terlepas dari narasi mana yang dipercaya, efek politiknya jelas.

Kredibilitas Tom Lembong sebagai seorang teknokrat dan kritikus publik tercederai secara signifikan. Vonis ini juga mengirimkan sinyal kuat ke seluruh elite politik: ada harga yang harus dibayar bagi mereka yang menyeberang ke garis oposisi.

Di luar panggung politik, kasus ini menukik ke jantung permasalahan hukum administrasi negara. Seorang menteri, pada dasarnya, memiliki diskresi, yakni ruang gerak untuk mengambil keputusan kebijakan yang cepat demi kepentingan publik, seperti menstabilkan harga pangan.

Lantas, di mana letak kesalahan Tom Lembong? Menurut hakim, kesalahannya fatal. Ia dinilai “lalai” dan “tidak cermat” karena menyimpang dari hasil rapat koordinasi terbatas (rakortas) yang seharusnya menjadi panduan.

Tindakannya dianggap melampaui batas diskresi yang wajar dan masuk ke dalam kategori penyalahgunaan wewenang.

Di sinilah letak dilema utamanya. Fakta bahwa ia tidak memperkaya diri sendiri seharusnya mengindikasikan tidak adanya mens rea atau niat jahat untuk berbuat korupsi.

Kasusnya lebih terlihat seperti maladministrasi atau kesalahan dalam pengambilan keputusan. Pertanyaannya kemudian menjadi fundamental: haruskah kesalahan kebijakan, betapapun fatalnya, dihukum dengan pasal pidana korupsi yang berat?

Ancaman Senjata Pamungkas dan Kelumpuhan Birokrasi

Dalam ilmu hukum, pidana dikenal sebagai ultimum remedium (senjata pamungkas). Ia seharusnya digunakan sebagai jalan terakhir ketika sanksi lain, seperti sanksi administratif, tidak lagi memadai.

Memidanakan seorang pejabat atas kesalahan kebijakan tanpa bukti ia memperkaya diri sendiri dianggap menabrak prinsip ini. Implikasinya bisa sangat mengerikan bagi tata kelola pemerintahan. Vonis ini berpotensi menciptakan “efek gentar” (chilling effect) di seluruh lapisan birokrasi.

Para pejabat dan menteri di masa depan akan dihantui ketakutan untuk mengambil keputusan yang berisiko atau inovatif. Mereka akan lebih memilih “main aman” dengan mengikuti prosedur secara kaku, bahkan jika itu berarti mengorbankan efektivitas pelayanan publik. Kelumpuhan birokrasi karena ketakutan dikriminalisasi adalah ancaman yang nyata.

Palu hakim yang dijatuhkan untuk Tom Lembong menghasilkan gema yang terdengar di dua tempat berbeda. Gema pertama terdengar di pagar istana dan panggung politik, sebagai penanda akhir dari perlawanan seorang kritikus sekaligus peringatan bagi yang lain.

Gema kedua terdengar di setiap meja birokrat di seluruh negeri, sebagai pengingat betapa tipisnya batas antara kebijakan dan kejahatan. Proses banding yang akan ditempuh tidak hanya akan menentukan nasib Tom Lembong.

Lebih dari itu, putusan akhirnya kelak akan menjadi yurisprudensi penting yang mendefinisikan ulang risiko menjadi pejabat publik dan kesehatan demokrasi Indonesia di masa depan.

Penulis adalah Pemerhati Demokrasi dan Politik Lokal, Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, serta Penerima Beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).


Sumber: kompas.com

Previous
« Prev Post
Show comments

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *