Berita Terbaru

Diberdayakan oleh Blogger.
Tinta Politik di Atas Palu Hakim: Membedah Vonis Tom Lembong

By On Jumat, Juli 25, 2025

Terdakwa kasus dugaan korupsi impor gula, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong. 

Oleh: Ibrayoga Rizki Perdana

PADA Jumat sore, 18 Juli 2025, palu hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat diketuk. Vonis 4,5 tahun penjara dijatuhkan kepada Thomas Lembong, mantan Menteri Perdagangan, atas kebijakan impor gula yang ia ambil hampir satu dekade silam.

Namun, di tengah amar putusan yang keras itu, terselip paradoks yang mengguncang: hakim menilai Tom Lembong tidak terbukti memperkaya diri sendiri. Vonis ini lebih dari sekadar akhir babak hukum.

Ia adalah studi kasus yang kompleks, memaksa kita untuk menelanjangi persimpangan rawan antara politik, hukum, dan administrasi negara.

Bagaimana mungkin seorang pejabat dipenjara karena kebijakan yang tidak menguntungkan kantong pribadinya? Jawabannya terletak pada dua arena: panggung politik pasca-Pilpres dan zona abu-abu hukum administrasi.

Panggung Politik dan Gema Pemilu

Pertanyaan tak terhindarkan menggema di ruang publik: Mengapa sekarang? Kasus yang berasal dari periode 2015-2016 ini seolah bangkit dari tidur panjangnya tepat setelah Tom Lembong menjelma menjadi salah satu kritikus pemerintah paling vokal selama kontestasi Pemilu 2024.

Bagi sebagian kalangan, timing ini adalah segalanya. Muncul narasi kuat tentang kriminalisasi, istilah untuk menggambarkan penggunaan instrumen hukum sebagai senjata untuk membungkam atau mendelegitimasi lawan politik.

Dalam bingkai ini, vonis tersebut adalah episode pamungkas dari drama politik, balasan atas kritik-kritik pedas yang pernah dilontarkan dari kubu oposisi. Tentu saja, ada narasi tandingan yang sama kuatnya: penegakan hukum tanpa pandang bulu.

Dari perspektif ini, vonis tersebut justru menjadi bukti bahwa hukum di Indonesia tidak tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Siapa pun, termasuk mantan menteri, harus bertanggung jawab jika tindakannya terbukti merugikan negara.

Pemerintah menampilkan ini sebagai komitmen bersih-bersih, tak peduli kawan atau lawan. Terlepas dari narasi mana yang dipercaya, efek politiknya jelas.

Kredibilitas Tom Lembong sebagai seorang teknokrat dan kritikus publik tercederai secara signifikan. Vonis ini juga mengirimkan sinyal kuat ke seluruh elite politik: ada harga yang harus dibayar bagi mereka yang menyeberang ke garis oposisi.

Di luar panggung politik, kasus ini menukik ke jantung permasalahan hukum administrasi negara. Seorang menteri, pada dasarnya, memiliki diskresi, yakni ruang gerak untuk mengambil keputusan kebijakan yang cepat demi kepentingan publik, seperti menstabilkan harga pangan.

Lantas, di mana letak kesalahan Tom Lembong? Menurut hakim, kesalahannya fatal. Ia dinilai “lalai” dan “tidak cermat” karena menyimpang dari hasil rapat koordinasi terbatas (rakortas) yang seharusnya menjadi panduan.

Tindakannya dianggap melampaui batas diskresi yang wajar dan masuk ke dalam kategori penyalahgunaan wewenang.

Di sinilah letak dilema utamanya. Fakta bahwa ia tidak memperkaya diri sendiri seharusnya mengindikasikan tidak adanya mens rea atau niat jahat untuk berbuat korupsi.

Kasusnya lebih terlihat seperti maladministrasi atau kesalahan dalam pengambilan keputusan. Pertanyaannya kemudian menjadi fundamental: haruskah kesalahan kebijakan, betapapun fatalnya, dihukum dengan pasal pidana korupsi yang berat?

Ancaman Senjata Pamungkas dan Kelumpuhan Birokrasi

Dalam ilmu hukum, pidana dikenal sebagai ultimum remedium (senjata pamungkas). Ia seharusnya digunakan sebagai jalan terakhir ketika sanksi lain, seperti sanksi administratif, tidak lagi memadai.

Memidanakan seorang pejabat atas kesalahan kebijakan tanpa bukti ia memperkaya diri sendiri dianggap menabrak prinsip ini. Implikasinya bisa sangat mengerikan bagi tata kelola pemerintahan. Vonis ini berpotensi menciptakan “efek gentar” (chilling effect) di seluruh lapisan birokrasi.

Para pejabat dan menteri di masa depan akan dihantui ketakutan untuk mengambil keputusan yang berisiko atau inovatif. Mereka akan lebih memilih “main aman” dengan mengikuti prosedur secara kaku, bahkan jika itu berarti mengorbankan efektivitas pelayanan publik. Kelumpuhan birokrasi karena ketakutan dikriminalisasi adalah ancaman yang nyata.

Palu hakim yang dijatuhkan untuk Tom Lembong menghasilkan gema yang terdengar di dua tempat berbeda. Gema pertama terdengar di pagar istana dan panggung politik, sebagai penanda akhir dari perlawanan seorang kritikus sekaligus peringatan bagi yang lain.

Gema kedua terdengar di setiap meja birokrat di seluruh negeri, sebagai pengingat betapa tipisnya batas antara kebijakan dan kejahatan. Proses banding yang akan ditempuh tidak hanya akan menentukan nasib Tom Lembong.

Lebih dari itu, putusan akhirnya kelak akan menjadi yurisprudensi penting yang mendefinisikan ulang risiko menjadi pejabat publik dan kesehatan demokrasi Indonesia di masa depan.

Penulis adalah Pemerhati Demokrasi dan Politik Lokal, Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, serta Penerima Beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).


Sumber: kompas.com

Vonis 4,5 Tahun Tom Lembong: Terbaliknya Efek Jera

By On Rabu, Juli 23, 2025

Terdakwa kasus dugaan korupsi impor gula, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong saat sidang pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat, 18 Juli 2025. 

Oleh: Mohammad Isa Gautama

THOMAS Trikasih Lembong alias Tom Lembong divonis 4 tahun 6 bulan penjara dalam kasus importasi gula. Ruang sidang tak hanya bergema oleh palu hukum, tetapi juga menggaung ke seluruh jagat politik dan opini publik.

Vonis ini mengguncang sendi hukum, retorika antikorupsi, dan narasi politik pemerintah. Ironis, majelis hakim menyatakan bahwa Tom Lembong tidak menerima suap, tidak mengambil keuntungan pribadi, bahkan tidak memiliki niat jahat (mens rea).

Alih-alih dinyatakan bebas, ia tetap dijatuhi hukuman pidana penjara karena dianggap melanggar prosedur administratif dalam keputusan izin impor gula.

Paradoks Retorika Politik

Fenomena ini tidak hanya mencerminkan krisis hukum, tetapi juga krisis komunikasi politik. Sejak awal, Presiden Prabowo Subianto menegaskan perang terhadap korupsi dengan retorika lantang.

Dalam pidato pelantikannya, ia berseru: "Kalau ikan busuk, busuknya dari kepala". Ucapan ini menggema sebagai ancaman moral terhadap birokrasi yang korup. Dalam pidato Hari Pancasila pada 2 Juni 2025, ia bahkan menyatakan bahwa tidak akan ada kompromi terhadap pelanggaran yang merugikan rakyat.

Di sisi lain, Presiden Prabowo pernah menawarkan jalan damai bagi koruptor besar. Buktinya, dalam kunjungan ke Mesir pada akhir 2024, ia mengatakan: "Kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan."

Maka, pertanyaannya pun mencuat: bagaimana bisa seorang yang tidak mencuri, tapi malah dipenjara, sementara pencuri besar diberi ruang kompromi? Fenomena ini dapat dibaca melalui kerangka teori framing dalam komunikasi politik.

Menurut Robert Entman, framing adalah proses seleksi dan penekanan aspek tertentu dari realitas untuk membentuk persepsi publik (2004).

Dalam kasus Tom Lembong, media dan pejabat publik menggaungkan istilah "korupsi impor gula", membingkai kasus ini sebagai pelanggaran kriminal berat, bukan kesalahan teknokratis yang terjadi dalam proses kebijakan publik.

Framing ini menutup ruang diskusi yang lebih rasional dan adil tentang esensi perkaranya. Pembingkaian ini diperkuat oleh gaya komunikasi populis yang menekankan moralitas simbolik. Dalam konteks ini, Prabowo tampil sebagai sosok pemberantas korupsi yang kuat, sebagaimana diharapkan oleh sebagian besar rakyat.

Namun, seperti yang diingatkan Murray Edelman dalam The Symbolic Uses of Politics, simbol-simbol politik sering kali digunakan untuk menciptakan persepsi stabilitas dan kepemimpinan, bahkan ketika kenyataannya jauh lebih kompleks (1985).

Dalam hal ini, komunikasi antikorupsi tampak digunakan sebagai instrumen simbolik untuk mempertahankan legitimasi kekuasaan, bukan sebagai prinsip keadilan sejati.

Lebih jauh, kerugian negara sebesar Rp 194 miliar yang disebut dalam dakwaan juga tidak berasal dari penggelapan, tetapi dari keputusan izin impor kepada koperasi, yang dianggap melanggar prosedur.

Dalam sistem hukum pidana modern, unsur niat jahat adalah fondasi utama. Tanpa niat jahat, tindakan administratif seharusnya tidak serta-merta dikriminalisasi.

Terbaliknya Efek Jera

Lebih dari sekadar putusan hukum, dampak terbesar dari vonis ini adalah efek jera yang terbalik. Bukan koruptor yang takut, tetapi pejabat bersih yang gentar mengambil kebijakan.

Ketika keputusan administratif bisa berujung pidana, maka logika birokrasi berubah total. Inovasi dan diskresi dalam pemerintahan akan tergantikan oleh sikap pasif dan defensif. Siapa pun yang ingin membuat terobosan akan berpikir beribu kali.

Jika dibaca melalui perspektif teori komunikasi kekuasaan Michel Foucault, maka vonis terhadap Tom Lembong dapat dipahami sebagai bentuk normalisasi hukum, yakni ketika kekuasaan menciptakan kebenarannya sendiri melalui aparat legal.

Dalam rezim seperti ini, hukum tidak lagi menjadi instrumen keadilan, melainkan alat untuk mengatur siapa yang boleh membuat kebijakan dan siapa yang harus dibungkam. Yang menjadi sorotan sudah bergeser dari tindakan, kepada siapa yang melakukannya.

Dalam ruang politik dan hukum yang semakin dibanjiri simbol dan frasa moral, publik kehilangan kemampuan membedakan antara tindakan teknis birokrasi dan kejahatan korupsi.

Ketidakjelasan ini menciptakan ketakutan massal. Jika pejabat bersih saja bisa dipenjara, siapa yang aman? Jika keputusan administratif bisa dijadikan bukti korupsi, siapa yang berani mengambil terobosan?

Dalam perspektif Jurgen Habermas, hal ini mencerminkan erosi ruang publik yang rasional. Ketika diskursus publik tidak lagi dibangun atas dasar argumentasi dan transparansi, melainkan dikendalikan oleh narasi-narasi simbolik dan komunikasi satu arah dari kekuasaan, maka hukum pun kehilangan legitimasinya. Komunikasi politik berubah dari wadah pertukaran gagasan menjadi alat kontrol massal.

Berdasarkan perkembangan terakhir, tim kuasa hukum Tom Lembong menyatakan banding atas vonis tersebut. Ini bukan semata langkah hukum, melainkan ujian besar bagi kredibilitas peradilan tinggi.

Apakah pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung akan mengembalikan akal sehat dalam penegakan hukum? Ataukah kita telah sampai pada titik di mana hukum benar-benar menjadi instrumen politik semata?

Yang tak kalah krusial, kini saatnya kita menata ulang komunikasi politik negara ini. Kita perlu keberanian bukan hanya dalam membasmi korupsi, tetapi juga dalam menyampaikan kebenaran dengan utuh.

Kita perlu pemimpin yang bukan hanya lihai beretorika, tetapi juga adil dalam kebijakan hukum. Jika komunikasi politik tidak diiringi integritas dan konsistensi hukum, maka apa pun bisa dipidana, dan siapa pun bisa dikorbankan. Ketika hukum kehilangan keadilan, maka negara kehilangan maknanya.

Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Padang, Pengamat Komunikasi Politik dan Sosiologi Media


Sumber: Kompas.com

Negara Oplosan

By On Senin, Juli 14, 2025

Foto Ilustrasi. 

Oleh: Desi Sommaliagustina

PRAKTIK mencampur dua atau lebih bahan yang tak seharusnya digabungkan dikenal luas di kalangan masyarakat dengan istilah oplosan.

Dalam banyak kasus, ini berujung pada kerusakan, bahaya, bahkan kematian. BBM oplosan bisa merusak kendaraan. Beras oplosan menipu konsumen karena kualitas tak sesuai label.

Sayangnya, fenomena “oplosan” ini tidak hanya berlangsung di pasar-pasar tradisional atau kios bensin pinggir jalan. Secara ironis, praktik serupa kini tampak dalam tata kelola negara. Muncul apa yang dapat kita sebut sebagai negara oplosan, yakni sistem pemerintahan yang mencampuradukkan kekuasaan, wewenang, fungsi, dan etika, tanpa dasar prinsip konstitusional yang jernih.

Ini bukan metafora kosong. Fenomena tersebut terjadi dalam birokrasi, kebijakan publik, hingga hukum yang ditafsir dan diterapkan secara lentur demi kepentingan kelompok tertentu.

Salah satu gejala awal negara oplosan tampak dari praktik rangkap jabatan, terutama di level aparatur desa dan ASN. Banyak kepala desa dan perangkatnya yang secara bersamaan juga berstatus pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).

Padahal kedua posisi itu memiliki sistem penggajian, tanggung jawab, serta mekanisme evaluasi yang berbeda. Alih-alih memilih dan berkomitmen penuh pada satu jalur pengabdian, mereka menggabungkan keduanya dengan dalih efisiensi dan kebutuhan ekonomi.

Namun, persoalan ini tidak sesederhana mencari nafkah ganda. Praktik tersebut melanggar asas kepatutan administratif dan mengaburkan batas antara kekuasaan eksekutif tingkat desa dengan pelayanan publik profesional di sektor lain.

Ketika perangkat desa sekaligus menjadi guru atau penyuluh pertanian, maka konflik kepentingan tak bisa dihindari. Penggunaan kendaraan dinas, akses terhadap dana negara, serta tanggung jawab publik bisa menjadi simpang siur. Negara kehilangan kejelasan struktur.

Hal serupa juga terjadi di level atas. Pejabat publik merangkap jabatan komisaris di BUMN atau lembaga swasta lainnya. Bahkan, ada wakil menteri yang secara bersamaan duduk di kursi dewan pengawas lembaga pendidikan luar negeri.

Dalam negara demokrasi yang sehat, pembagian peran adalah jantung dari checks and balances. Ketika satu individu memainkan dua atau lebih peran secara bersamaan, akuntabilitas menjadi kabur. Siapa mengawasi siapa?

Kebijakan Oplosan: Bahaya Tambal Sulam

Negara oplosan juga dapat dilihat dari kebijakan yang kontradiktif. Di satu sisi pemerintah menyuarakan ketahanan energi dan ketergantungan domestik, tapi di sisi lain izin ekspor batu bara diperluas.

Di tengah kampanye penguatan UMKM dan produk lokal, justru dibuka keran impor produk pangan atau tekstil dari negara mitra dagang.

Semangat swasembada pangan tercampur dengan realitas kebijakan yang memprioritaskan efisiensi harga jangka pendek. Kebijakan yang “dioplos” ini menandakan absennya cetak biru pembangunan nasional yang kokoh.

Kebijakan muncul sebagai respons reaktif terhadap tekanan publik atau kelompok tertentu, bukan hasil perencanaan jangka panjang yang rasional dan berorientasi rakyat. Akibatnya, masyarakat dibingungkan oleh sinyal campur aduk dari negara. Bahaya lain dari negara oplosan adalah hukum yang cair, bisa dibentuk atau ditekuk sesuai kebutuhan kekuasaan. Banyak produk hukum lahir tanpa partisipasi publik yang bermakna.

Rancangan Undang-Undang digodok diam-diam, disahkan cepat, dan sering kali dibatalkan Mahkamah Konstitusi karena cacat formil maupun materil. Sementara itu, revisi terhadap undang-undang penting seperti UU MK, KUHP, dan UU ASN dilakukan dengan agenda politis, bukan koreksi substansial.

Praktik negara oplosan menjangkiti sistem hukum. Banyak regulasi disusun dengan muatan politik yang kental, tidak berpihak pada kepentingan rakyat luas.

Bahkan ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan pemisahan antara pemilu nasional dan daerah, reaksi elite adalah mendorong revisi UU Mahkamah Konstitusi, bukan meninjau ulang penyusunan undang-undang secara prosedural.

Fenomena ini menunjukkan bahwa hukum telah kehilangan watak lex superior, menjadi alat kekuasaan yang lentur. Banyak produk hukum yang lahir tergesa-gesa atau ditunda demi kalkulasi elektoral.

Di sisi lain, praktik pemalsuan dokumen, penggelembungan syarat PPPK, hingga pengangkatan tanpa dasar legal yang kuat, seperti yang terjadi di sejumlah daerah, justru tidak disanksi tegas.

Padahal, sesuai Pasal 263 KUHP, pemalsuan surat adalah tindak pidana dengan ancaman penjara hingga enam tahun. Sementara dalam konteks administrasi publik, Pasal 17 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mewajibkan pejabat pemerintahan menghindari setiap tindakan yang berpotensi menyalahgunakan wewenang.

Lebih dari itu, penegakan hukum kerap kali bersifat selektif. Praktik maladministrasi, penyalahgunaan aset negara, dan pemalsuan dokumen dalam seleksi ASN tidak diproses dengan setara.

Pelaku dengan akses kekuasaan mendapatkan impunitas, sementara rakyat biasa dihukum keras. Ini menciptakan hukum oplosan yang tampak tegas di atas kertas, tapi fleksibel di lapangan.

Pemerintahan yang sehat membutuhkan fondasi etika publik. Sayangnya, dalam negara oplosan, nilai moral juga ikut dicampur-aduk.

Korupsi tidak lagi dilihat sebagai pelanggaran hukum semata, tetapi kerap dipersepsikan sebagai “biaya politik”. Nepotisme dikemas sebagai “pilihan kepercayaan”.

Konflik kepentingan dibingkai sebagai “kebijakan sinergi”. Bahwa etik publik harus dikorbankan demi efektivitas atau loyalitas politik menjadi alasan yang kian umum.

Situasi ini membahayakan. Ketika pemimpin dan pejabat publik tidak menjadi teladan integritas, masyarakat menjadi permisif. Standar etika runtuh, dan yang tersisa hanyalah kalkulasi untung-rugi dalam bersikap. Budaya publik yang menghormati hukum dan nilai kebaikan bersama kian melemah.

Menjaga Negara

Negara tidak bisa dijalankan seperti laboratorium eksperimen kimia, tempat semua unsur dicampur untuk melihat hasilnya. Negara membutuhkan struktur yang jelas, fungsi yang tegas, dan moralitas yang kokoh.

Reformasi birokrasi harus kembali pada semangat cleansing dari praktik rangkap jabatan, penyalahgunaan wewenang, dan kebijakan tambal sulam.

Pemerintah perlu mempertegas larangan rangkap jabatan yang menimbulkan konflik kepentingan. Perlu evaluasi menyeluruh terhadap ASN yang juga menjabat dalam struktur pemerintahan desa.

Perlu juga penegakan integritas dalam penunjukan pejabat publik agar tidak lagi berbasis hubungan politik, tetapi meritokrasi. Di sisi lain, masyarakat sipil, media, dan akademisi harus memainkan peran kritis untuk terus mengingatkan dan mengoreksi jalannya negara.

Sistem demokrasi hanya bisa bekerja apabila publik menjadi bagian dari pengawasan aktif. Indonesia bukan negara yang lahir dari kompromi pragmatis, melainkan dari perjuangan ideologis dan semangat kebangsaan.

Negara ini didirikan dengan cita-cita luhur: keadilan sosial, persatuan, demokrasi, dan penghormatan terhadap hukum. Maka, negara ini harus dijalankan dengan kemurnian nilai, bukan campur aduk kepentingan.

Negara oplosan, jika terus dibiarkan, maka akan menggerus kepercayaan rakyat, merusak tatanan hukum, dan melemahkan legitimasi pemerintah. Kita tidak boleh mengizinkan eksperimen kekuasaan yang mengorbankan masa depan bangsa.

Kita membutuhkan negara yang jernih, tegas, dan bermoral. Jika BBM oplosan bisa merusak mesin, maka negara oplosan akan merusak republik. Dan jika itu terjadi, bukan hanya sistem yang runtuh, tapi juga harapan generasi mendatang.

Penulis adalah Dosen, Penulis dan Peneliti Universitas Dharma Andalas, Padang


Sumber: Kompas.com

Kejar Tayang RUU KUHAP

By On Minggu, Juli 13, 2025

Komisi III DPR saat menggelar Rapat Revisi KUHAP di Gedung DPR, Senayan, Jakarta. 

Oleh: Firdaus Arifin

DALAM waktu hanya dua hari, Komisi III DPR RI dan pemerintah menyelesaikan pembahasan 1.676 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).

Rapat Panitia Kerja berlangsung maraton, sejak pagi hingga dini hari. Alasan yang dikedepankan: KUHP baru akan berlaku pada 2 Januari 2026, dan harus disertai hukum acara pidana yang kompatibel.

Namun, adakah urgensi sedemikian rupa hingga proses hukum yang menyangkut hak dasar warga negara dijalankan secara tergesa?

Ketika undang-undang dibentuk dalam kecepatan yang melampaui batas rasional deliberasi, maka kita menghadapi bahaya: prosedur hukum menjadi jebakan prosedural, bukan perlindungan konstitusional.

Tak bisa dipungkiri, RUU KUHAP dibutuhkan untuk menyelaraskan sistem hukum acara dengan semangat KUHP baru, termasuk pendekatan keadilan restoratif yang kini menjadi arus utama.

Sejumlah pasal dalam RUU ini patut diapresiasi, seperti ketentuan penggunaan CCTV dalam ruang penyidikan, perluasan hak pendampingan hukum, perlindungan terhadap kelompok rentan, serta pembatasan penahanan dan blokir rekening.

Namun, substansi yang baik tak berarti hasilnya adil jika proses penyusunannya tak melibatkan publik secara bermakna. Partisipasi bermakna bukan hanya mendengar, tetapi memberi ruang kritis dan waktu cukup untuk menilai.

Sejumlah organisasi masyarakat sipil seperti ICJR menyatakan bahwa proses pembahasan masih bersifat tertutup dan minim transparansi substansi.

DPR berdalih telah mengadakan lebih dari 50 kali Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dan pertemuan dengan akademisi serta advokat.

Namun, keterlibatan publik tak boleh berhenti di ruang hotel dan ruang rapat. Draf RUU, log pembahasan pasal, serta versi hasil sinkronisasi mesti diumumkan secara terbuka untuk diuji publik secara luas.

Kejanggalan

Perkiraan penulis menunjukkan: jika 1.676 DIM dibahas dalam 20 jam kerja efektif, maka satu DIM dibahas dalam waktu kurang dari dua menit. Dalam waktu sesingkat itu, mungkinkah menggali muatan substansi, mempertimbangkan praktik peradilan, dan menakar implikasi hak asasi?

Salah satu pasal yang disorot adalah kewajiban pemasangan CCTV di ruang penyidikan. Ini tampak progresif. Namun, menurut ICJR (2025), "rekaman hanya dikuasai oleh penyidik, bukan lembaga independen.

Hal ini mengurangi akuntabilitas dan membuka peluang manipulasi terhadap proses penyidikan."

Kritik juga muncul terhadap Pasal 140 RUU KUHAP yang memberikan imunitas hukum kepada advokat jika menjalankan tugas dengan itikad baik.

Namun tanpa batasan dan definisi normatif terhadap “itikad baik”, pasal ini berpotensi menjadi alat tafsir bebas yang bisa merugikan profesi advokat sendiri jika kelak dipelintir.

Kedaulatan

Hukum acara pidana bukan hanya milik polisi atau jaksa. Ia adalah hukum tentang nasib setiap warga negara saat bersentuhan dengan kekuasaan. Karena itu, pembentukannya tak boleh eksklusif. Ia harus terbuka, deliberatif, dan menjunjung kedaulatan publik dalam merumuskan hak dan jaminan keadilan.

Pasal-pasal dalam RUU ini tak sekadar teknis prosedural, tapi menyentuh langsung persoalan perlindungan warga: dari hak diam, hak didampingi, hak untuk tidak disiksa, hingga hak kelompok rentan seperti perempuan korban kekerasan seksual, anak, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat. Mereka yang paling terdampak, sering kali paling tak didengar.

Keterbukaan bukan sekadar teknis publikasi. Ia adalah ukuran komitmen terhadap demokrasi. Sayangnya, sampai tahap Tim Perumus (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin), draf yang disusun masih belum tersedia di ruang publik secara terbuka dan harian. Ini adalah pengingkaran terhadap hak publik untuk ikut mengawasi.

RUU KUHAP diperkenalkan sebagai produk reformasi sistem hukum pidana. Namun, jika dilihat lebih dalam, banyak pasal masih menyisakan kontradiksi antara idealisme norma dan realitas praktik.

Misalnya, ketentuan tentang penangguhan penuntutan melalui Deferred Prosecution Agreement (DPA) dan Plea Bargain—dua mekanisme hukum pidana modern yang disalin dari sistem common law seperti Amerika Serikat.

Padahal, sistem peradilan kita menganut sistem hukum civil law yang menekankan legalitas dan prosedur ketat. Tanpa regulasi rinci dan mekanisme pengawasan transparan, plea bargain atau DPA bisa menjelma alat transaksi yang memperluas ruang kompromi di luar pengadilan.

Kekhawatiran ini beralasan. Dalam sistem hukum kita yang masih minim pengawasan horizontal, pengenalan mekanisme seperti DPA dapat mengaburkan akuntabilitas jaksa penuntut umum, membuka ruang persekongkolan, dan memperdalam ketimpangan keadilan antara mereka yang mampu tawar-menawar dan mereka yang tidak.

Komisi III DPR dan pemerintah memang telah menunjukkan keberanian menyentuh naskah besar hukum acara pidana. Namun keberanian yang lebih besar adalah ketika mereka berani memperlambat untuk memperbaiki, berani membuka untuk dikritisi, dan berani merevisi kembali pasal yang multitafsir.

RUU KUHAP bukan proyek politik lima tahunan. Ia akan berlaku lintas pemerintahan, menyentuh jutaan kasus hukum, dan memengaruhi relasi rakyat dengan kekuasaan. Maka, tidak ada tempat bagi ego kelembagaan atau kepentingan jangka pendek dalam pembentukannya.

Yang kita butuhkan dalam pembentukan RUU KUHAP adalah kejujuran hukum: bahwa undang-undang tak bisa lahir dari proses yang terburu-buru, tak bisa diukur semata oleh jumlah pasal atau kecepatan Panja. Kita membutuhkan undang-undang yang berpihak pada hak dan bukan pada prosedur kosong.

Seperti diingatkan oleh Satjipto Rahardjo, “Hukum yang baik bukanlah hukum yang tertulis rapi, tetapi hukum yang memberi perlindungan nyata kepada manusia.”

Jika hukum acara pidana disusun tergesa dan tertutup, maka yang lahir bukanlah hukum yang baik, tetapi jebakan prosedural bagi warga yang lemah.

Kini, kita masih punya waktu. Timus dan Timsin belum menutup rapat pembahasan. Draf final belum diketuk palu di Paripurna. Ini adalah kesempatan terakhir untuk membuka dokumen, mengundang diskusi terbuka, dan menguji pasal-pasal secara publik.

RUU KUHAP harus menjadi wujud hukum yang adil, partisipatif, dan akuntabel. Ia tidak boleh menjadi mahakarya elite yang dibentuk tanpa suara publik. Jika proses ini gagal, maka yang lahir bukanlah hukum acara pidana modern, melainkan perpanjangan tangan kuasa lama yang hanya berpindah jubah.

RUU KUHAP terlalu penting untuk dibahas secara tergesa. Ia menyangkut wajah keadilan prosedural Indonesia ke depan. Ia adalah denyut paling dasar dari prinsip due process of law.

Hukum acara bukan hanya tentang bagaimana negara menghukum, tetapi tentang bagaimana negara melindungi mereka yang lemah dalam proses hukum. Dan tugas kita sebagai masyarakat sipil adalah memastikan bahwa perlindungan itu benar-benar hidup dalam setiap pasal yang dibahas.

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat


Sumber: Kompas.com

Bansos untuk Pejudi Online

By On Sabtu, Juli 12, 2025

Foto ilustrasi. 

Oleh: Nicholas Martua Siagian

JUDI online telah menjadi bentuk kejahatan tersembunyi yang memanfaatkan ‘kepanikan’ ekonomi masyarakat.

Di satu sisi, praktik ini menjanjikan ilusi keuntungan instan; di sisi lain adalah bentuk ‘hidden criminality’ yang kian sistemik dan merusak fondasi moral serta struktur sosial masyarakat.

Ironisnya, masyarakat kini tidak lagi hanya sebagai korban, tetapi juga bertransformasi menjadi pelaku aktif dalam ekosistem perjudian daring.

Jika kita menelaah lebih dalam, data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan realitas mengejutkan.

Judi online bukan hanya persoalan orang dewasa. Anak-anak di bawah umur ikut terpapar dan bahkan menjadi bagian dari rantai aktivitas ilegal ini.

Anak di bawah 10 tahun tercatat mencapai 2 persen dari total pemain judi online (sekitar 80.000 anak). Usia 10–20 tahun mencapai 11 persen (440.000 orang), usia 21–30 tahun sebanyak 13 persen (520.000 orang).

Sementara kelompok usia 30–50 tahun mendominasi dengan 40 persen (1,64 juta orang), disusul usia di atas 50 tahun sebanyak 34 persen (1,35 juta orang).

Artinya, kelompok usia produktif—yang seharusnya menjadi motor pembangunan nasional—justru larut dalam praktik yang merusak arah kemajuan bangsa.

Pragmatisme Judi Online

Fakta ini menunjukkan bahwa dampak judi online tidak lagi terbatas pada aspek ekonomi semata, melainkan merambah hingga ke ranah etika, pendidikan, dan masa depan generasi muda.

Masifnya penyebaran nilai-nilai instan dan pragmatis dari praktik judi online telah mengikis cara berpikir rasional dan menjauhkan masyarakat dari etos kerja keras yang selama ini dijunjung tinggi.

Yang lebih mengkhawatirkan, promosi judi online kini berlangsung secara terbuka di berbagai platform media sosial. Para bandar dan jaringan perantara judi memanfaatkan teknologi dan algoritma digital dengan sangat canggih—sebuah bentuk ‘inovasi kriminal’ yang tidak diimbangi dengan respons penegakan hukum yang memadai dari negara.

Ironisnya, laporan-laporan resmi, termasuk dari PPATK, menunjukkan bahwa sejumlah aparat penegak hukum, bahkan dari institusi TNI dan Polri, justru terlibat sebagai pelaku dalam ekosistem perjudian online.

Fakta ini mempertegas lemahnya integritas kelembagaan dan mencerminkan rapuhnya sistem penegakan hukum kita.

Lebih jauh lagi, modus promosi yang digunakan oleh jaringan judi online kian brutal—mulai dari penggunaan konten pornografi hingga eksploitasi anak di bawah umur—sebagai strategi sadar untuk menarik perhatian publik dan memperluas pasar, tanpa memperhitungkan dampak sosial yang ditimbulkan.

Dengan kata lain, judi online bukan lagi sekadar ancaman kriminal, melainkan menjadi fenomena yang mencerminkan krisis multidimensi—ekonomi, sosial, moral, dan institusional—yang menuntut intervensi negara secara serius, sistemik, dan terintegrasi.

Dalam konteks ini, platform media sosial yang semestinya berfungsi sebagai ruang ekspresi dan edukasi, justru menjelma menjadi ladang subur embrio kriminalitas.

Masyarakat pun didorong pada titik ekstrem: daripada memikirkan upaya produktif, mereka memilih jalan pintas ekonomi yang justru memperparah ketimpangan dan menjerumuskan lebih dalam ke dalam kemiskinan. Persoalan menjadi semakin kompleks ketika kita tarik ke isu kemiskinan struktural.

Data PPATK (2023) mengungkapkan bahwa sekitar 2,19 juta pelaku judi online berasal dari kelompok berpenghasilan rendah. Jumlah itu mencapai 79 persen dari total pemain judi online di Indonesia.

Artinya, mayoritas pelaku adalah warga miskin yang berjudi dengan nominal kecil, berharap bisa mengubah nasib secara instan.

Hal ini menunjukkan bagaimana kemiskinan bukan hanya soal keterbatasan pendapatan, tetapi lebih dalam: hasil dari ketimpangan sistemik yang meminggirkan akses terhadap pendidikan, pelayanan publik, lapangan kerja layak, dan literasi keuangan.

Masyarakat yang berada dalam jeratan kemiskinan struktural kerap kehilangan harapan terhadap sistem yang ada. Mereka merasa ditinggalkan oleh negara, dan pada akhirnya mencoba mencari ‘jalan keluar’ sendiri—meski ilegal dan penuh risiko.

Judi online menjadi manifestasi dari keputusasaan tersebut, simbol dari sistem sosial yang gagal memberikan harapan dan jaminan kesejahteraan yang adil.

Rangkap Status

Fakta yang lebih mengiris logika kebijakan adalah temuan PPATK terkait tumpang tindih data penerima Bantuan Sosial (Bansos) dan pelaku judi online.

Dari total 28,4 juta NIK penerima bansos dan 9,7 juta data pemain judi online, terdapat 571.410 NIK yang tumpang tindih. Lebih dari 7,5 juta transaksi dilakukan oleh kelompok ini, dengan total deposit hampir Rp 1 triliun.

Artinya, dana yang semestinya menjadi bantalan sosial justru diputar kembali ke dalam ekosistem ilegal. Ini bukan lagi sekadar isu tepat sasaran, tetapi menyangkut penggunaan yang tepat guna.

Tak hanya bansos, potensi penyalahgunaan Bantuan Subsidi Upah (BSU) juga sangat besar. Mengingat lebih dari 8,3 juta orang telah menerima BSU, dan mayoritas berasal dari kelompok usia produktif—kelompok yang menurut data juga mendominasi aktivitas judi online—maka ada potensi besar dana subsidi ini ikut tergerus ke dalam praktik perjudian.

Ketika bansos dan subsidi upah yang berasal dari APBN justru menjadi bahan bakar industri ilegal, maka kegagalan kebijakan menjadi nyata dan pahit. Dalam konteks ini, langkah PPATK untuk memblokir rekening pelaku judi online yang juga merupakan penerima bansos adalah tindakan progresif yang patut diapresiasi.

Negara harus tegas menyelamatkan APBN yang merupakan hasil keringat kolektif masyarakat – yang seharusnya dikembalikan kepada masyarakat lewat pelayanan publik yang adil, berpihak dan tepat sasaran.

Namun, PPATK tidak bisa bergerak sendiri, apalagi dengan kondisi kewenangan dan kelembagaan yang begitu terbatas. Diperlukan keterlibatan aktif institusi penegakan hukum seperti Polri, KPK, dan Kejaksaan Agung untuk membongkar jaringan perjudian daring dari hulu hingga hilir, termasuk membongkar peran oknum pejabat yang menjadi ‘fasilitator’ atau bahkan pelindung praktik ini.

Oleh sebab itu, penyelesaian persoalan ini tidak bisa hanya dilakukan secara sektoral. Judi online telah berkembang menjadi ancaman multidimensional—bukan sekadar kejahatan finansial, melainkan penyakit sosial yang menggerogoti nilai-nilai moral, memperdalam jurang ketimpangan, dan merusak tatanan kehidupan yang adil. Perlu adanya gerakan kolektif dan terpadu.

Pemerintah harus melakukan upaya penguatan literasi digital dan keuangan, serta menghadirkan program pendidikan sosial yang menjangkau lapisan masyarakat rentan.

Bantuan sosial harus ditopang dengan reformasi layanan publik yang lebih adil dan partisipatif. Sementara aparat penegak hukum harus menindak tegas seluruh rantai bisnis perjudian daring, termasuk jejaring ekonomi kriminal di belakangnya.

Pada akhirnya, problematika penyaluran bantuan sosial (bansos) tidak berhenti pada soal apakah bantuan tersebut sampai kepada orang yang tepat sasaran. Melihat kenyataan hari ini, perlu melihat apakah bansos itu digunakan secara tepat guna.

Dalam konteks yang terjadi, ketika praktik judi online telah merasuki berbagai lapisan masyarakat, maka stimulus ekonomi masyarakat tidak akan benar-benar tercapai. Situasi semacam ini bukan hanya mencerminkan inefisiensi kebijakan publik, tetapi juga menunjukkan kebocoran fiskal yang berdampak sistemik.

Uang negara yang dialokasikan untuk memperkuat daya beli masyarakat, justru berpotensi memperkuat sirkuit kejahatan digital. Ini bukan sekadar menyebabkan pelayanan publik menjadi stagnan atau pembangunan terhambat, tetapi juga menambah beban negara melalui meningkatnya angka kemiskinan, merusak moralitas sosial, dan menciptakan lingkaran ketergantungan yang kontraproduktif terhadap agenda pengentasan kemiskinan.

Oleh karena itu, membenahi persoalan ini tidak bisa dilakukan secara parsial. Diperlukan sinergi antarkementerian dan lembaga, sistem verifikasi dan pemantauan yang berbasis data, serta penegakan hukum yang tegas dan bebas dari kompromi.

Tanpa itu semua, kebijakan bansos yang sejatinya berorientasi pada keadilan sosial akan terus rentan disalahgunakan dan menjauh dari tujuan utamanya: memperkuat ketahanan sosial dan menjaga ekonomi masyarakat ‘akar rumput.’ 

Penulis adalah seorang sivitas akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia


Sumber: kompas.com

Berhukum tapi Tak Bernurani

By On Sabtu, Juli 12, 2025

Foto Ilustrasi. 

Oleh: Firdaus Arifin 

HUKUM sering kali tampak seperti menara gading. Ia menjulang tinggi dalam pasal-pasal, tetapi terlalu jauh dari bumi tempat rakyat berpijak.

Di dalam gedung-gedung pengadilan yang menjulang, hukum dibacakan dengan suara mantap, palu diketuk, dan putusan dijatuhkan.

Namun, tak sedikit dari kita yang bertanya lirih: di mana letak nurani dalam putusan itu?

Nurani, kata yang kini kerap dianggap barang mewah dalam praktik hukum. Padahal, hukum sejatinya adalah anak kandung dari moralitas publik.

Hukum bukan hanya sistem logika, bukan pula sekadar kalkulasi prosedural. Ia adalah produk dari pergulatan nilai, rasa keadilan, dan cita-cita kemanusiaan.

Namun hari ini, ketika kita menyaksikan putusan yang sah secara hukum tetapi melukai rasa keadilan masyarakat, kita berhak bertanya: untuk siapa hukum ditegakkan?

Hukum sebagai Kekuasaan yang Membisu

Satjipto Rahardjo mengajarkan kepada kita bahwa hukum harus dipahami sebagai alat untuk mencapai tujuan kemanusiaan, bukan sekadar teks atau doktrin.

Namun dalam praktiknya, hukum telah lama digiring ke ruang sempit: menjadi teknis, prosedural, dan steril dari nilai-nilai.

Ketika seorang perempuan korban kekerasan seksual justru dijatuhi hukuman karena dianggap mencemarkan nama baik pelaku, kita tidak sedang menyaksikan hukum, melainkan kekuasaan yang menyaru sebagai hukum.

Ketika seorang anak miskin mencuri sandal jepit dan divonis, tetapi korporasi perusak lingkungan hanya dikenakan denda yang bisa dibayar dengan sekali rapat direksi, kita sedang menyaksikan ketimpangan yang dilembagakan.

Hukum yang dibangun tanpa nurani adalah hukum yang mengabaikan realitas. Ia menjadi kekuasaan yang membeku, bukan pembebas. Ia menjadi pedang yang hanya tajam ke bawah.

Nurani bukan sekadar empati; ia adalah panduan moral terdalam yang membimbing manusia membedakan yang benar dan yang keliru.

Dalam filsafat hukum, nurani tak berdiri sendiri. Ia melekat dalam konsep keadilan substantif—yang tak selalu identik dengan apa yang tertulis dalam undang-undang.

Gustav Radbruch, filsuf hukum Jerman, pernah mengingatkan kita melalui formulanya yang terkenal, bahwa dalam kondisi ekstrem, keadilan harus mengalahkan hukum positif.

Ia berkata, “Hukum yang sangat tidak adil bukanlah hukum.” Maka, ketika aparat penegak hukum bersikukuh menjalankan hukum positif yang jelas-jelas bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, mereka bukan sedang menegakkan hukum—melainkan sedang menegakkan ketidakadilan yang dilegalkan.

Nurani-lah yang menjadi jembatan antara teks hukum dan realitas sosial. Tanpa nurani, hukum menjadi benda mati. Ia bisa dibaca, tetapi tak bisa dirasakan.

Lihatlah pemberitaan hukum kita. Setiap hari kita disuguhi ironi. Ada koruptor yang dipotong hukumannya karena “berkelakuan baik” selama di penjara.

Ada pelaku kekerasan seksual yang lolos karena “kurangnya alat bukti”, padahal korban sudah berulang kali bersuara.

Ada mafia tambang dan perusak hutan yang mendapat karpet merah kebijakan, sementara warga adat yang menjaga alam ditangkap dan dibungkam.

Dalam semua itu, hukum seolah sah dan berprosedur. Namun publik tahu: hukum telah kehilangan wajahnya. Ia menjadi institusi yang menakutkan bagi yang lemah, dan tempat bersembunyi bagi yang kuat.

Ini bukan hanya soal teknis atau pasal. Ini adalah soal jiwa hukum. The soul of the law, yang seharusnya hidup dalam hati nurani penegaknya.

Hukum yang benar tidak hanya logis, tapi juga etis. Ia tidak hanya sah, tapi juga adil.

Dari Positivisme Menuju Hukum Progresif

Satjipto Rahardjo, dalam seluruh pemikirannya, menolak tunduk pada positivisme hukum yang kaku. Ia mendorong kita menuju hukum progresif, yaitu hukum yang tak ragu menerobos teks demi membela manusia.

Bagi beliau, hukum harus selalu berada di pihak yang tertindas. Dalam kerangka hukum progresif, hakim tidak hanya penerjemah teks, tapi juga penafsir nilai. Jaksa tidak hanya pembaca dakwaan, tapi penjaga nurani publik. Polisi tidak hanya pelaksana prosedur, tapi pengayom rasa keadilan.

Tentu, ini bukan tugas yang ringan. Ia menuntut keberanian. Menuntut kecerdasan moral. Menuntut integritas. Namun inilah panggilan etis kita: menjadikan hukum sebagai rumah bagi keadilan, bukan gudang pasal-pasal kosong.

Salah satu akar dari kemandegan nurani dalam hukum kita adalah cara kita mendidik para sarjana hukum. Di fakultas-fakultas hukum, mahasiswa dijejali pasal, doktrin, dan yurisprudensi, tetapi minim ruang untuk merenung dan berdialog tentang nilai.

Etika hukum diajarkan sebagai mata kuliah formalitas, bukan sebagai panggilan moral. Filsafat hukum diposisikan sebagai teori abstrak, bukan sebagai kompas praktik. Tak heran jika ketika mereka lulus, banyak yang menjelma menjadi “teknisi hukum” yang lihai merangkai pasal tapi miskin empati.

Sudah saatnya kita membongkar cara berpikir ini. Kita perlu mereformasi pendidikan hukum agar lebih membumi, humanistik, dan reflektif. Agar kelak, mereka yang menegakkan hukum bukan hanya menguasai teks, tapi juga mampu mendengar bisikan nurani.

Hukum diciptakan bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk manusia. Maka, ukuran keberhasilan hukum bukan pada berapa banyak pasal yang ditegakkan, tetapi seberapa jauh ia menghadirkan keadilan.

Dalam masyarakat yang plural, adil itu memang tidak mudah. Tapi bukan berarti kita boleh berhenti mengejarnya. Hukum adalah proses menuju cita-cita bersama. Maka, setiap praktik hukum yang mengabaikan rasa keadilan publik, sebenarnya sedang menjauh dari tujuan utamanya.

Kita tidak butuh lebih banyak hukum, kita butuh lebih banyak nurani dalam berhukum. Kita tidak sedang kekurangan aturan, kita kekurangan keberanian moral untuk menafsirkan hukum demi manusia.

Hukum tanpa nurani adalah kekosongan. Ia mungkin berjalan, tetapi tak menyentuh hati. Ia mungkin memutus perkara, tapi tak menyembuhkan luka. Ia mungkin memenangkan negara, tapi kehilangan warganya.

Mari kita kembalikan hukum ke pangkuan nurani. Sebab, hanya dengan itu hukum menjadi hidup, dan keadilan menjadi mungkin.


Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat

Menyelamatkan SPMB dari Kepungan Mafia Sekolah

By On Senin, Juli 07, 2025

Foto Ilustrasi SPMB. 

Oleh: Dwi Munthaha

BARU-BARU ini, publik dikejutkan oleh tindakan Wakil Ketua DPRD Provinsi Banten yang kedapatan memberikan rekomendasi pribadi agar seorang calon siswa diterima di SMA negeri melalui jalur di luar mekanisme resmi.

Kepada media, ia berdalih bahwa tindakannya semata-mata didorong oleh rasa belas kasihan. Namun publik mafhum, praktik semacam ini bukanlah hal baru dan terjadi di banyak daerah.

Setiap tahun, momen penerimaan siswa baru kerap dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki otoritas dan akses kekuasaan untuk berbagai kepentingan—terutama kalangan politisi yang menjadikannya sebagai instrumen elektoral: menitipkan nama demi simpati, balas budi, atau pengaruh.

Kali ini, karena kasus tersebut terlanjur tersorot publik, Partai Keadilan Sejahtera sebagai partai asal sang politisi mengambil langkah tegas dengan mencopotnya dari jabatan struktural. Namun di luar sorotan, siapa bisa menjamin praktik serupa tak terus berulang?

Pada tahun ini, pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Permendikdasmen) Nomor 3 Tahun 2025 tentang Sistem Penerimaan Murid Baru Kementerian Pendikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mengubah penamaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB).

Ada sedkit modifikasi jalur penerimaan untuk jalur yang dulunya disebut zonasi berubah menjadi domisili.

Di atas kertas, sistem ini adalah instrumen negara untuk menjalankan mandat konstitusional: memastikan setiap anak memperoleh hak atas pendidikan yang layak dan bermutu.

Namun di lapangan, proses penerimaan siswa baru juga menjadi panggung utama ketegangan sosial, kecemasan kelas menengah, dan ladang subur praktik manipulatif yang seakan sulit dilacak kasatmata.

Di sinilah realitas pendidikan dasar dan menengah kita tampak begitu kompleks. Ketika negara menyatakan bahwa pendidikan dasar dan menengah adalah mandatori, maka seharusnya ia menjamin ketersediaan akses dan kualitas secara merata.

Sayangnya, data menunjukkan ketimpangan struktural yang belum juga teratasi. Pada tahun 2024, Badan Pusat Statistik khusus pendidikan menengah, sekitar 4,4 juta siswa lulus dari jenjang SMP.

Namun, daya tampung SMA dan SMK negeri di seluruh Indonesia hanya sekitar 2,7 juta siswa. Selebihnya harus mencari tempat di sekolah swasta - yang tidak selalu terjangkau secara ekonomi- atau bahkan berhenti melanjutkan pendidikan sama sekali. Maka wajar bila proses SPMB menjadi medan pertarungan keras antara harapan dan kenyataan.

Evolusi Seleksi yang Tak Pernah Selesai

Dalam sejarah pendidikan Indonesia, mekanisme seleksi masuk sekolah negeri telah melalui banyak fase.

Di masa Orde Baru hingga awal reformasi, seleksi sangat bergantung pada Nilai Ebtanas Murni (NEM).

Sistem ini menciptakan stratifikasi ekstrem: siswa dengan nilai tinggi berbondong-bondong ke sekolah unggulan, sementara siswa dengan nilai lebih rendah masuk ke sekolah “kelas dua”.

Dampaknya, kualitas sekolah semakin timpang dan mobilitas sosial menjadi kian sulit.

Kritik atas sistem ini menguat pada pertengahan 2010-an. Pemerintah kemudian memperkenalkan kebijakan zonasi melalui Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 dan diperkuat dengan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019.

Tujuan zonasi adalah membongkar stigma sekolah unggulan dan menciptakan pemerataan akses, dengan menempatkan siswa di sekolah terdekat dari tempat tinggal mereka.

Namun, niat baik ini segera berhadapan dengan kenyataan sosial yang rumit. Lemahnya sistem tata kelola di negara ini memberi celah beberapa cara curang: pemalsuan domisili, surat keterangan miskin, sertifikat prestasi mulai diperjualbelikan seperti barang dagangan. Meski saat ini sudah ada dengan payung regulasi nasional, kewenangan untuk pendidikan menjadi domain daerah.

Oleh sebab itu pula kepala daerah membuat regulasi turunan yang setiap daerah dapat bervariasi bentuknya. Beberapa daerah, seperti Jawa Barat mengikuti regulasi pusat secara menyeluruh, tapi tetap adaptif dengan konteks lokalnya.

Di Jawa Barat, bahkan diterapkan tes literasi dan numerasi berbasis komputer untuk jalur prestasi (rapor, kejuaraan akademis dan nonakademis), sebagai bentuk seleksi yang lebih objektif dan sulit dimanipulasi.

Namun, perubahan administratif ini belum menjawab persoalan utama: keterbatasan daya tampung sekolah negeri dan mudahnya sistem dimanipulasi dari luar.

Manipulasi Pasca Pengumuman

Yang paling mencemaskan dari sistem ini justru bukan terletak pada tahap seleksi terbuka, tetapi pada fase pasca pengumuman.

Ketika sistem seleksi resmi ditutup, nama-nama telah diumumkan, dan daftar siswa diterima dipublikasikan secara daring, maka publik mengira proses telah selesai.

Kenyataannya tidak. Di balik layar, sejumlah sekolah menambahkan jumlah kelas dan rombongan belajar (rombel) baru tanpa dasar regulasi yang jelas. Penambahan ini tidak selalu melalui keputusan dinas, apalagi sepengetahuan publik.

Dalam praktiknya, inilah jalur belakang yang disebut orang tua sebagai “titipan”, “jatah pejabat”, atau “koneksi”. Modus operandi mafia SPMB tidaklah rumit. Mereka menambahkan siswa di luar kuota resmi, biasanya menjelang tahun ajaran baru dimulai.

Caranya adalah dengan menyisipkan siswa ke dalam rombel tambahan yang seolah-olah dibuka karena kebutuhan teknis. Padahal, jika kita cermati data Dapodik (Data Pokok Pendidikan), jumlah siswa dan rombel pada sebuah sekolah seharusnya sesuai dengan hasil seleksi formal.

Ketidaksesuaian antara data resmi hasil SPMB dan jumlah riil siswa dalam Dapodik adalah petunjuk pertama bahwa sistem telah disusupi. Sayangnya, Dapodik bukanlah sistem yang terbuka bagi publik secara luas. Transparansi data belum menjadi kebiasaan institusional. Hal ini memberi ruang gelap bagi manipulasi data yang tidak bisa dikontrol oleh masyarakat.

Dalam banyak kasus, kepala sekolah, oknum dinas pendidikan, bahkan aktivis LSM, ormas, oknum jurnalis hingga anggota legislatif daerah diduga dapat terlibat dalam praktik semacam ini.

Mereka memanfaatkan celah administratif untuk “memainkan” satu atau dua rombel demi memasukkan siswa-siswa titipan. Pertanyaan penting yang harus diajukan dalam kondisi seperti ini adalah: siapa yang sebenarnya diuntungkan?

Jelas bukan anak dari keluarga miskin yang menggantungkan nasib pada jalur afirmasi. Juga bukan anak yang sungguh-sungguh berprestasi, yang nilai rapornya murni, atau yang lolos tes dengan jujur.

Yang diuntungkan adalah mereka yang memiliki akses terhadap jaringan kekuasaan, atau memiliki kapasitas ekonomi untuk membayar “biaya tambahan” demi satu kursi di sekolah negeri.

Di sisi lain, yang paling dirugikan adalah sistem pendidikan itu sendiri. Integritas sekolah negeri terkikis. Kepercayaan masyarakat melemah. Dan yang lebih gawat, siswa-siswa yang diterima secara tidak resmi membawa serta warisan kecurangan ke dalam ruang kelas—sebuah pesan sunyi bahwa sistem bisa dibengkokkan, asal punya koneksi dan uang.

Saatnya Transparansi Jadi Standar Baru

Saat ini, tantangan kita bukan hanya membenahi sistem SPMB di tahap seleksi, melainkan juga mengawasi dan mengamankan fase pasca-seleksi.

Pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, harus mendorong seluruh pemerintah daerah untuk membuka dashboard Dapodik secara publik.

Masyarakat harus bisa mengakses dan membandingkan jumlah siswa yang diterima melalui jalur resmi dan jumlah yang benar-benar tercatat di sistem.

Lebih dari itu, dibutuhkan audit sosial yang serius dan berkala terhadap semua sekolah negeri. Keterlibatan lembaga seperti BPKP, Ombudsman, dan bahkan KPK perlu dipertimbangkan dalam konteks tertentu.

Mafia SPMB bukan sekadar cerita nakal tahunan. Fenomena ini adalah bagian dari jaringan pembusukan sistemik yang harus diputus sejak sekarang.

Pada akhirnya, kursi di sekolah negeri bukan sekadar tempat duduk. Kursi itu adalah simbol hak anak atas pendidikan yang adil dan bermartabat.

Ketika kursi tersebut dirampas oleh kepentingan politik, ekonomi, atau jaringan kekuasaan, maka kita sedang merusak sendi-sendi paling dasar dari keadilan sosial.

SPMB adalah cermin dari wajah pendidikan kita hari ini. Dan jika kita tak berani membersihkan cermin itu, maka anak-anak kita akan tumbuh dalam sistem yang mengajarkan bahwa koneksi lebih penting daripada kompetensi.

Bahwa keadilan hanya berlaku bagi yang mampu membayarnya. Dan itu, adalah kekalahan paling menyakitkan bagi bangsa yang percaya bahwa pendidikan adalah fondasi peradaban.


Penulis adalah Anggota Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), Alumnus Sekolah Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional

Penambangan Rakyat Lebak Selatan di Tengah Gempuran Pemberitaan Miring dan Kebutuhan Hidup Masyarakat Setempat

By On Senin, Juli 07, 2025


Oleh: Abdul Kabir Albantani 

PERTAMBANGAN rakyat memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia, namun perlu dikelola dengan baik agar memberikan manfaat optimal bagi masyarakat dan lingkungan.

Seperti halnya penambangan batubara yang berada di wilayah Kabupaten Lebak bagian selatan dan tersebar di empat Kecamatan, yakni Panggarangan, Cihara, Bayah dan Cilograng, sangat mengharapkan peran aktif Pemerintah dan pemangku kepentingan dalam hal ini pusat dan daerah untuk memudahkan serta memberikan akses perijinan penambangan rakyat agar kegiatan pertambangan rakyat dilakukan secara legal, bertanggung jawab, dan berkelanjutan.

Izin Pertambangan Rakyat (IPR) adalah izin untuk menjalankan usaha pertambangan di wilayah tambang rakyat dengan luas dan investasi yang terbatas.

IPR merupakan kuasa pertambangan yang diberikan pemerintah sebagai upaya menyediakan wadah bagi masyarakat untuk melaksanakan usaha pertambangan dengan luasan wilayah yang telah ditetapkan.

IPR diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) dan pelaksanaannya dilakukan dengan wilayah serta investasi terbatas. Hak IPR dapat diberikan kepada individu, badan, hingga koperasi.

Persoalannya adalah kegiatan pertambangan rakyat dilakukan tanpa izin yang  dilakukan oleh masyarakat setempat (Lebak Selatan), berdasarkan hasil penelusuran tim investigasi PPWI di lapangan ditengarai oleh karena birokrasi yang rumit serta kurangnya pemahaman mengenai prosedur perizinan di kalangan penambang.

Sehingga meski masyarakat seringkali dihantui oleh ketakutan akut akan adanya penertiban bahkan penangkapan oleh aparat penegak hukum, penambangan ‘Liar’ tersebut terus berlangsung akibat tidak adanya sektor usaha lain yang bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Secara teori, IPR diberikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berdasarkan permohonan yang diajukan oleh individu atau koperasi yang beranggotakan penduduk setempat, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 62 ayat (1) PP No 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (PP 96/2021).

Namun pada kenyataannya kewenangan pemerintah daerah yang secara tidak langsung dikebiri oleh pemerintah pusat menciptakan suasana rancu dan tumpang tindihnya kewenangan sehingga mempersulit kesempatan masyarakat setempat dalam memperoleh perizinan.

Padahal izin yang diberikan berfungsi sebagai payung hukum bagi masyarakat maupun korporasi setempat dalam menjalankan aktivitas pertambangan.

Perlu adanya sinergitas antara regulasi nasional dan daerah dengan tujuan memberikan perlindungan hukum serta memperkuat kelembagaan di tingkat lokal, agar proses kegiatan pertambangan sejalan dengan norma dan tujuan yang diatur dalam perundang-undangan.

Kalau diimplementasikan secara baik, UU Minerba sebagai instrumen krusial bagi pemerintah pusat dan daerah dalam mempercepat pengembangan sektor pertambangan, akan menghasilkan produk hukum daerah, terutama terkait pengaturan pertambangan.

Pelaksanaan kewenangan dalam konteks otonomi daerah, khususnya dalam hal tambang rakyat, akan berjalan optimal jika prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) diterapkan secara konsisten.

Pemerintah daerah memiliki peran penting dalam mendukung dan mengelola tambang rakyat. Melalui regulasi yang tepat dan pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah dapat memberikan payung hukum yang kuat bagi masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan pertambangan secara legal dan berkelanjutan.

Dalam kontek persoalan penambangan rakyat yang ada di wilayah Kabupaten Lebak terutama di Kecamatan Cihara, Panggarangan dan Bayah, sinergi antara regulasi nasional dan daerah menjadi kunci dalam memastikan bahwa kegiatan pertambangan rakyat tidak hanya berjalan sesuai dengan hukum, tetapi juga mempertimbangkan aspek ekonomi, kesehatan, dan lingkungan hidup.

Prinsip tata kelola pemerintahan yang baik menjadi landasan utama untuk mencapai tujuan ini, memastikan bahwa semua pihak yang terlibat terlindungi dan kegiatan pertambangan dapat berkontribusi positif bagi pembangunan daerah.


Penulis adalah Ketua PPWI Kabupaten Lebak dan Plh. Ketua PPWI DPD Banten

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *