Berita Terbaru

Diberdayakan oleh Blogger.
Ketidakadilan dan Kekecewaan Kolektif Rakyat Vs Tuduhan Pion Asing

By On Minggu, Agustus 31, 2025

Iring-iringan pengemudi Ojek Online (Ojol) mengantarkan jenazah Affan Kurniawan ke TPU Karet Bivak di Jakarta, 28 Agustus 2025. 

Oleh: Jannus TH Siahaan

TRAGEDI 28 Agustus 2025 di Jakarta, menjadi pengingat yang sangat jelas untuk kita semua, terutama untuk pemerintah dan aparat keamanan, bahwa kehidupan mayoritas masyarakat Indonesia sedang tak baik-baik saja.

Demonstrasi buruh, yang diklaim tak ada kaitannya dengan tragedi Affan Kurniawan, adalah aspirasi formal para pekerja yang memang sudah jelas-jelas memiliki pekerjaan.

Sementara tragedi Affan Kurniawan terjadi di panggung kedua, di mana aspirasi pada panggung pertama (demonstrasi buruh) dianggap tak mewakili kepentingan para pekerja di sektor informal (ojek online) di satu sisi dan kepentingan masa depan generasi muda (mahasiswa dan anak sekolahan) yang kian tidak pasti di sisi lain.

Jadi, pergerakan agresif dan frontal yang sudah dimulai pada 25 Agustus lalu, lebih banyak mewakili kepentingan masyarakat yang memang benar-benar kecewa dengan institusi DPR dan aparat keamanan pada khususnya dan negara pada umumnya.

Kekecewaan tersebut tidak hanya lahir dari ketidakadilan sosial ekonomi secara faktual, tapi juga lahir dari persepsi ketidakadilan subjektif di kelompok masyarakat tertentu, yakni anak muda (mahasiswa dan siswa sekolah menengah bawah dan atas) dan pekerja informal (dalam konteks ini adalah komunitas pengemudi ojek online).

Sosiolog Jacquelien van Stekelenburg dan Psikolog Bert Klandermans; dua profesor berasal dari Vrije Universiteit Amsterdam Belanda, dalam kajiannya yang dituangkan di dalam buku “A Social Psychology of Protest: Individuals in Action" (2024), memasukkan faktor persepsi ketidakadilan ini ke dalam salah satu sebab utama yang memicu terjadinya protes sosial, selain faktor kapasitas mobilisasi kelompok dan faktor identitas sosial kelompok.

Ketiga faktor ini secara psikologis berjalin kelindan membentuk “collective grievances” atau kekecewaan kolektif dan bertransformasi menjadi gerakan protes massal.

Dalam konteks panggung kedua pada 28 Agustus 2025, ketiga faktor tersebut terpenuhi.

Faktor pertama, persepsi ketidakadilan sudah lama terbentuk di sebagian besar masyarakat Indonesia, baik karena beberapa kebijakan yang dianggap tidak proporsional dan adil maupun karena sikap para anggota DPR yang “private affluence oritented”, meminjam istilah dari John Kenneth Galbraith yang sempat saya bahas di tulisan terdahulu.

Kemudian persepsi ketidakadilan tersebut berbaur dengan rasa tidak suka kepada institusi kepolisian yang sudah terpendam sejak beberapa tahun ke belakang.

Mulai dari kasus Ferdy Sambo, kasus Kapolda yang ditangkap karena dituduh sebagai “bandar narkoba”, kasus polisi tembak polisi terkait perkara tambang emas ilegal di Sumatera Barat, tragedi di Stadion Kanjuruhan di Malang sampai pada masalah ketidakramahan aparat di dalam menangani berbagai demonstrasi sejak tahun 2019, dan banyak lagi lainnya.

Semua peristiwa tersebut menyatu di dalam ingatan publik, lalu menggumpal menjadi rasa tidak suka, dan berakhir dengan rasa ingin melakukan perlawanan terbuka.

Faktor kedua, identitas sosial kelompok di panggung kedua ini juga sudah lama terbentuk, yang berasal dari rasa senasib sepenanggungan secara sosial dan ekonomi.

Bekerja sebagai pengemudi ojek online, diakui atau tidak, adalah bentuk ‘keterpaksaan’ dari sebagian besar angkatan kerja kita.

Jika ada pekerjaan formal yang jelas status hukum dan jaminan ketenagakerjaannya, saya sangat yakin, kawan-kawan di komunitas ojek online akan lebih memilih bekerja di sektor formal alias tidak ingin menjadi pengemudi ojek online yang setiap hari ‘mengukur’ kilometer jalanan di bawah terik matahari, berjuang dengan polusi udara jalanan, basah kuyup kehujanan dan lain-lain.

Artinya, tuntutan serikat buruh yang disuarakan di panggung pertama, memang dianggap tidak mewakili kepentingan dan aspirasi kelompok pekerja informal, yang menginginkan diinisiasinya lapangan kerja baru seluas-luasnya di negeri ini oleh pemegang kekuasaan.

Aspirasi tentang kenaikan upah minimum di atas 8 persen, penghapusan outsourcing, pembatalan UU Cipta Kerja, dan seterusnya dan seterusnya, yang disuarakan oleh serikat buruh, sama sekali tak berarti bagi segmen pekerja informal di sektor transportasi ini, yang jumlahnya ratusan ribu di Jakarta dan jutaan di Indonesia.

Mereka tidak terhitung sebagai pekerja formal layaknya anggota serikat buruh di panggung pertama. Pun anak-anak muda dari sekolahan yang kemudian diikuti oleh organisasi-organisasi kemahasiswaan juga berada di dalam perasaan sepenanggungan yang sama, ikatan solidaritas yang sama, dan merasakan persepsi ketidakadilan yang sama pula.

Dua segmen anak muda ini dihinggapi oleh ketidakpastian masa depan sehingga akhirnya berusaha untuk menyesuaikan diri dan ikut serta di dalam kedua panggung protes yang ada, baik pada panggung serikat buruh maupun pada panggung kedua dari kelompok pekerja sektor informal.

Dan faktor ketiga, kapasitas mobilitas yang tinggi. Sebagaimana diketahui, komunitas pengemudi ojek online memiliki kemampuan mobilisasi yang tinggi.

Semua anggotanya memang diwajibkan untuk “melek” teknologi dan sensitif terhadap isu-isu yang berkembang di media sosial.

Selain itu, yang paling menentukan, adalah “seragam” atau jaket yang mereka pakai sehari-hari di satu sisi sebagai simbol pemersatu dan kepemilikan kendaraan roda dua di sisi lain, yang juga sangat krusial di dalam akselerasi pergerakan. Tak pelak, dua faktor terakhir ini sangat menentukan.

Sementara dari kelompok mahasiswa dan anak sekolah, meskipun tak diikat oleh satu seragam yang sama, sejatinya juga memiliki hal sama, karena generational solidarity.

Segmen mahasiswa rata-rata sudah memiliki kelompok sendiri dan telah terbukti sanggup berbaur di antara sesama kelompok mahasiswa selama ini di dalam berbagai aksi unjuk rasa yang sudah terjadi di Indonesia.

Anak sekolah juga sama, terbilang kurang kohesif, tapi memiliki “keberanian untuk berkonfrontasi” jauh lebih tinggi ketimbang senior-senior mereka, sehingga menjadi faktor penentu terjadi atau tidaknya konfrontasi di lapangan.

Keberanian anak STM dalam aksi tawuran sudah lama menjadi ikon segmen pelajar sekolah menengah tersebut.

Di sisi lain, kedua segmen ini juga sangat sensitif terhadap isu-isu yang ada, sangat cepat mendapatkan informasi, dan sangat cakap di dalam menyebarkan informasi ke dalam kelompok mereka sendiri melalui saluran digital.

Tak pelak, secara teoritik, aksi protes panggung kedua ini memenuhi syarat untuk terjadi dan memang berpotensi untuk berubah menjadi konfrontasi.

Dengan kata lain, di sini saya ingin menyampaikan bahwa tidak perlu mencarikan alibi bahwa aksi protes kali ini ditunggangi oleh pihak asing dan dilakukan oleh kaki tangan pihak asing di Indonesia.

Sebuah argumentasi yang berasal dari pakar intelijen yang menurut saya tak empiris dan asumsi tak berdasar.

Aksi protes yang belakangan semakin keras dan frontal, nyatanya memiliki basis ideasional, emosional, dan organisasional untuk terjadi, dengan atau tanpa ditunggangi pihak asing atau pihak luar angkasa sekalipun.

Jadi pihak-pihak tertentu yang terkait dengan kekuasaan tidak perlu mengerdilkan, apalagi melecehkan, pergerakan kawan-kawan dari komunitas ojek online dan adik-adik dari generasi muda kampus dan sekolahan, dengan menganggap mereka sebagai “pion asing”.

Apalagi sampai dikatakan ditunggangi, tapi tak sadar sedang ditunggangi. Sangat tidak etis, tidak apresiatif dan tidak sensisitif, bahkan blunder.

Jangan sampai ketidakmampuan kekuasaan dan para elite di atas sana untuk memahami “collective grievances” dari segmen pekerja informal, yang secara statistik tercatat sekitar 59 persen dari total tenaga kerja Indonesia, dan segmen anak muda yang kian linglung memikirkan masa depannya yang semakin tak pasti, mengubah seorang pejuang Almarhum Affan Kurniawan menjadi seorang Bouazizi.

Karena sejatinya secara komparatif, Affan Kurniawan, 21 tahun, sebagai korban yang tak berasal dari panggung utama, sejatinya adalah sosok yang secara kategoris mirip dengan Mohamed Bouazizi, 26 tahun, yang memicu Arab’s Spring di akhir tahun 2010-an lalu.

Affan Kurniawan bukanlah bagian dari pendemo aktif yang ikut “bertempur” dengan aparat di malam nahas itu. Semua orang mengetahui itu. Ia hanya “kebetulan” berada di lokasi di saat sedang menjalankan tugasnya sebagai anak muda yang bekerja di sektor informal, yakni sebagai pengantar makanan online dari komunitas pengemudi ojek online.

Ia sosok anak muda yang menjadi andalan pendapatan keluarganya. Namun, secara kolektif dan aspiratif, saya cukup yakin, Affan adalah bagian dari keluarga besar kelompok yang melakukan “pergerakan” di malam itu, di mana pesertanya memang banyak yang berasal dari kumpulan pengemudi ojek online.

Keberaniannya untuk melalui titik tempur di malam itu, menandakan bahwa Affan memang merasakan sedang berada di lokasi yang sama dengan teman-teman seperjuangannya di komunitas pengemudi online, meskipun Affan bukanlah peserta aktif yang melakukan perlawanan terhadap aparat.

Sementara itu, Bouazizi adalah seorang penjual buah yang telah lama menjadi tulang punggung keluarganya dan sangat frustrasi dengan kondisi kemiskinan, pengangguran, dan korupsi yang merajalela di Tunisia.

Setelah gerobak dan barang dagangannya disita, bahkan dikatakan ia sempat dilecehkan oleh polisi setempat, ia memutuskan pergi ke gedung pemerintahan terdekat untuk mengajukan pengaduan, namun tak mendapatkan tanggapan sepadan.

Sebagai bentuk protes, Bouazizi membakar dirinya sendiri di luar gedung pemerintah. Tak dinyana, tindakan Bouazizi viral di media sosial (Facebook), lalu memicu protes massal di Tunisia.

Bouazizi dianggap sebagai martir yang memicu gunung es kekecewaan publik di Tunisia meledak dan membuat pemerintahan Ben Ali yang telah bertahun-tahun memerintah di Tunisia dengan tangan besi lengser keprabon dalam waktu yang singkat.

Secara makro politik, dua figur ini tentu tidak bisa disamakan begitu saja. Indonesia jauh lebih demokratis dibanding Tunisia 15 tahun lalu.

Dan Affan berada di tengah-tengah pertunjukan demokrasi tersebut, di mana penyampaian aspirasi masih bisa didemonstrasikan sedemikian rupa, sebagai bagian dari pertunjukan kekecewaan kolektif (collective grievances) dari segmen masyarakat angkatan kerja produktif yang tidak berada di dalam pergerakan buruh beberapa jam sebelum tragedi terjadi.

Namun, Affan dan Bouazizi berada dalam konstelasi sosial ekonomi yang relatif sama yang akhirnya mengubah “collective grievances” menjadi sebuah gerakan agresif dan frontal. Logika situasinya tak jauh berbeda. Affan tak akan menjadi korban jika tak ada kendaraan Baracuda yang melindasnya.

Pun Bouazizi tak akan membakar diri, lalu menjadi martir untuk Arab’s Spring, jika barang dagangannya tak disita dan ia tak dilecehkan oleh polisi Tunisia.

Artinya, sama-sama ada faktor aparat di dalamnya, yang dianggap sebagai salah satu simbol kekuasaan negara.

Pendeknya, di sini saya tentu tidak sedang menakut-nakuti penguasa atau pemerintahan Indonesia dengan menyandingkan almarhum Affan Kurniawan dengan almarhum Bouazizi.

Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa memang ada “collective grievances” di beberapa segmen masyarakat kita, yang saya yakin juga disimpan secara halus oleh mayoritas masyarakat Indonesia di dalam hatinya, terutama kelas menengah ke bawah.

Saya cukup yakin, kekecewaan kolektif ini tak diada-adakan, apalagi diciptakan oleh aktor asing, tapi riil, nyata, dan akan terus-menerus mencari peluang untuk meledak dengan berbagai cara dan bahasa.

Oleh karena itu, tegakkan supremasi hukum setegak-tegaknya atas kasus kematian Affan Kurniawan ini, lakukan semua yang perlu dilakukan untuk menghormati kematiannya, dan sikapi “kekecewaan kolektif” yang sudah menampakkan wajah riilnya ini dengan sikap dan kebijakan yang tepat.

Dengan kata lain, permintaan maaf saja sangatlah tidak cukup. Permintaan maaf dari Presiden, Kapolri, pejabat tinggi negara lainnya, termasuk dari para anggota DPR, tak ada artinya, jika tak ada perubahan mendasar yang menyasar “collective grievances” masyarakat banyak.

Janji Prabowo untuk menyatukan aset dan kekayaan bangsa di tangan negara harus segera berbuah menjadi distribusi kesempatan kerja dan pemerataan kesejahteraan ke semua elemen masyarakat Indonesia, bukan malah memperkaya para oligar dan orang dekat kekuasaan semata.

Janji 19 juta lapangan kerja dari Wapres Gibran Rakabuming yang sampai hari ini belum jelas juntrungannya, tapi videonya terus berkeliaran di media sosial generasi muda Indonesia, harus dibuat terang benderang di tataran operasional, jangan hanya menjadi pencitraan yang justru mempermainkan harapan jutaan generasi muda kita.

Tidak akan pernah ada persatuan dan kesatuan, jika masih banyak masyarakat Indonesia yang tertinggal di belakang, sementara segelintir pihak malah berjoget-joget dan berpesta pora di depan. Sungguh sangat tidak adil.


Penulis adalah Pengamat Sosial dan Kebijakan Publik.


Sumber: Kompas.com

Hidup Ditindas, Mati Pun Dilindas

By On Sabtu, Agustus 30, 2025

Massa demonstrasi di depan Mako Brimob Kwitang, Jakarta Pusat, Jumat, 29 Agustus 2025. 

Oleh: Ari Junaedi

TRAGEDI gugurnya pahlawan keluarga berjaket dan berhelm warna “hijau” akibat tindakan brutal aparat berseragam “coklat” harusnya tidak boleh terjadi.

Affan Kurniawan, pengemudi ojek daring terjebak dalam suasana chaos di Pejompongan, Jakarta, Kamis malam (28 Agustus 2025).

Tembakan gas air mata dari polisi yang membabi buta kearah perkampungan penduduk di Kawasan Pejompongan membuat warga dan pengunjuk rasa – termasuk Affan – terjebak dalam lautan massa.

Sebagai pengemudi ojek daring, Affan pasti merasakan betapa sulitnya mendapatkan penghasilan halal di atas jalanan. Mengantar penumpang dan barang adalah tugasnya sehari-hari demi mendapatkan uang untuk makan.

Bukan Rp 3 juta per hari yang didapatkan. Bukan pula bebas penghapusan pemotongan pajak penghasilan karena setiap orderan yang masuk, ada jatah untuk aplikator.

Affan tidak mendapatkan tunjangan beras, bantuan listrik dan telepon seperti anggota Dewan yang memiliki bakat berjoget dan bersilat lidah.

Siapapun yang melihat berbagai versi video yang beredar terkait terlindasnya Affan di jalanan, sepertinya sepakat ada kesalahan prosedur penanganan aksi unjuk rasa oleh aparat.

Pengalaman saya meliput berbagai aksi unjuk rasa di berbagai belahan Tanah Air sepanjang 1997 - 2000-an, aksi brutal pengemudi kendaraan taktis (Rantis) berjenis Barracuda memang di luar akal sehat.

Prosedur standar membubarkan aksi unjuk rasa yang melewati batas waktu, biasanya menggunakan kendaraan water cannon agar konsentrasi massa terurai.

Selama aksi unjuk rasa mahasiswa dan buruh di pekan-pekan terakhir Agustus 2025 ini, aparat kepolisian begitu represif dan “ringan tangan”.

Profiling polisi yang humanis usai pemisahan Polri dari TNI ternyata tidak mengubah tabiat buruk dari kepolisian.

Polisi pun tidak bisa membedakan lagi mana jurnalis, pengunjuk rasa dan warga sipil biasa yang tidak terlibat dalam aksi demonstrasi. Semuanya dianggap setara sehingga penanganan massa menjadi bias.

Tragedi seperti di Pejompongan semalam, terus berulang dan tidak bisa menyadarkan polisi dan pemerintah bahwa pola pendekatan kekerasan hanya akan melahirkan gelombang perlawanan baru.

Gugurnya Affan menjadi “trigger” bagi aksi unjuk rasa susulan. Mereka yang semula apatis kini ikut turun ke jalan.

Di tulisan kolom saya sebelumnya, “Pesan dari Pati untuk Indonesia” (Kompas.com, 14/08/2025), saya menulis: Bisa dibayangkan di saat rakyat tengah gunda gulana karena kesulitan mencari lapangan pekerjaan di tengah semakin maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK), semakin tingginya angka kriminalitas akibat pengangguran; timpangan penghasilan yang menimbulkan kecemburuan sosial; harga sembako yang semakin menggila dengan takaran yang rawan disalahgunakan; korupsi yang semakin merajalela setelah sebelumnya ramai dengan kejadian pemblokiran tabungan oleh PPATK dan kontroversi perampasan tanah, maka kenaikan pajak menjadi klimaks dari kejengahan rakyat terhadap kepengapan saat ini.

Belum lagi perisitiwa terkini: kepongahan sikap anggota DPR-RI yang nirempati terhadap penderitaan rakyat dan kasus penangkapan Immanuel Ebenezer alias Noel karena dugaan korupsi di Kementerian Ketenagakerjaan, menjadi amunisi baru dari pengunjuk rasa.

Saya khawatir jika Presiden Prabowo Subianto dan para pembantunya tidak tepat dalam mengambil langkah antisipatif dan pengambilan keputusan, aksi demonstrasi besar di Pati akan berlanjut dan terus bermunculan di berbagai daerah lain.

Kejadian Pati, Jawa Tengah dan Bone, Sulawesi Selatan serta ditambah lagi aksi represif aparat dalam penanganan aksi mahasiswa dan buruh akhir -akhir ini, hingga meninggalnya pengemudi ojek Affan Kurniawan hampir mirip seperti awal terjadinya fenomena "Arab Spring".

Fenomena jatuhnya berbagai rezim pemerintahan yang kuat akibat Arab Spring seperti rangkaian peristiwa revolusi dan protes yang terjadi di negara-negara Arab pada awal tahun 2010-an.

Protes yang bermula dari aksi bakar diri Mohamed Bouazizi di Kamis pagi, 17 Desember 2010 di Tunisia, menjadi pemicu awal gelombang protes di seluruh wilayah Tunisia.

Bouazizi marah karena alat timbangan yang dijadikan modal kerjanya sebagai pedagang kaki lima, disita polisi. Polisi menganggap Bouazizi adalah pedagang kaki lima yang liar karena berjualan tanpa izin di pinggir jalan.

Pengaduan Bouazizi ke kantor Gubernur di Sidi Bouzid tidak digubris. Bouazizi kecewa karena aspirasinya dianggap angin lalu. Karena kadung frustasi, Bouazizi memilih membakar diri sebagai tanda protes.

Tewasnya pedagang kaki lima yang dianggap musuh negara oleh polisi memantik kerusahan di berbagai daerah di Tunisia.

Akibatnya, Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali berhasil ditumbangkan setelah berkuasa selama lebih dari dua dekade.

Dari Tunisia, gelombang protes terus menjalar ke negara-negara Arab lainnya menuntut perubahan politik dan sosial, termasuk demokrasi, hak asasi manusia, dan perbaikan ekonomi.

Beberapa pemerintahan seperti di Mesir, Libya, Yaman dan Suriah berhasil digulingkan sebagai akibat dari gelombang protes ini, sementara yang lain mengalami perubahan signifikan dalam sistem politik.

Tewasnya Affan harus jadi pelajaran Presiden Prabowo Subianto untuk mengevaluasi kepemimpinan Listyo Sigit Prabowo di Polri.

Tragedi tewasnya ratusan penonton yang memadati Stadion Kanjuruhan, Malang, adalah salah satu contoh bukti kegagalan Kapolri Listyo Sigit Prabowo.

Matinya Suara Keadilan

Kelompok pengunjuk rasa dan komunitas pengemudi ojol yang kohesif ditandai dengan anggota yang saling solider, rasa memiliki yang kuat terhadap kelompok, dan bersedia bekerja sama secara efektif.

Massa yang marah usai melihat dan mendengar kejadian Rantis Brimob melindas Affan Kurniawan, sontak berkumpul tanpa komando mengepung Markas Komando Brimob di Kwitang, Kawasan Senen, Kamis dini hari hingga Jumat ini (28-29 Agustus 2025).

Tidak ada ketakutan menghadapi aparat bersenjata yang gemar menembakkan gas air mata ke arah massa.

Realitas sosial-politik yang terjadi sekarang ini merupakan cermin nyata dari dinamika yang terjadi sekarang ini.

Bagaimana rakyat tidak marah dan jengah jika ada anggota Dewan yang begitu mudah mengeluarkan kata “tolol” untuk para peneriak pembubaran DPR-RI.

Secara teoritis dan praksis, begitu muskil membubarkan DPR. Yang diminta rakyat adalah hargai perasaan dan pahami derita rakyat. Di saat rakyat seperti Affan Kurniawan kelimpungan mencari makan sehari-hari, anggota Dewan dan para pejabat pun masih tega berjoget.

Di saat rakyat membutuhkan keteladanan, masih ada pula Wakil Menteri yang bermental preman terminal.

Di saat rakyat butuh keteladanan, justru pemerintah malah mengobral penghargaan Bintang Mahaputra untuk sosok-sosok yang tidak memberikan keteladanan.

Di era kecanggihan teknologi seperti sekarang ini, ketika kelancaran sinyal seluler di sekitar Kawasan Senayan “diganggu” yang membuat sulit sejumlah stasiun televisi swasta menyiarkan secara live aksi-aksi unjuk rasa, publik masih mendapat asupan informasi dari media sosial. Netizen beralih rupa menjadi “DPR” yang sesungguhnya: Dewan Penyampai Realitas!

Pemerintahan represif di mana pun, selalu menganggap kritik adalah pembangkangan atau tindakan yang tidak cinta terhadap negara.

Pemerintah – apalagi aparat – tidak pernah mau mengerti kalau mengkritik pemerintah, termasuk kelakuan para anggota DPR yang memuakkan, adalah bentuk tertinggi dari rasa cinta dan kepedulian terhadap negara dengan semua instrumennya.

Andaikan negara adalah rumah kita bersama, apakah penghuni rumah tidak boleh menyampaikan keluh kesah adanya dinding rumah yang retak?

Apakah salah jika penghuni rumah mengingatkan adanya atap rumah yang bocor atau lantai rumah yang bocel?

Kita tidak mau rumah kita bersama runtuh dan hancur dimakan rayap korupsi yang menggerogoti seluruh kusen dan atap rumah.

Kita tidak ingin pengelola rumah kita bersama salah membelanjakan uang demi hal yang sia-sia.

Kepada Affan Kurniawan dan keluarga yang ditinggalkan, kami semua berhutang budi.

Dari Affan kita belajar arti kerasnya hidup di jalanan.

Dari Affan kami mengambil hikmah, keadilan harus terus disuarakan walau dilindas kepongahan aparat.


Penulis adalah Akademisi dan Konsultan Komunikasi.


Sumber: Kompas.com

Teduhnya "Beringin" Masih Dibutuhkan Istana

By On Kamis, Agustus 28, 2025

Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia

Oleh: Ari Junaedi

“Golkar itu jangkarnya stabilitas nasional, keberadaannya menjaga stabilitas politik nasional. Perannya begitu strategis.” - KH Maruf Amin.

PERNYATAAN Wakil Presiden Indonesia periode 2019 - 2024 tersebut bukan sekadar “ABS” atau Asal Beringin Senang.

Mengulas kontribusi Golkar di setiap periode presidensial pasca-Reformasi, Golkar selalu masuk dalam kabinet – entah mendukung atau tidak calon presiden yang menang di pemilihan presiden.

Partai berlogo pohon beringin itu sangat kampiun membaca arah perpolitikan nasional. Sebagian kalangan menganggap, Golkar tidak jelas DNA politiknya karena selalu “membebek” pada kekuasaan.

Golkar tidak terbiasa menjadi kekuatan opoisisi. Sepertinya Golkar tercipta untuk ikut menjadi penumpang, bahkan nakhoda dari perahu yang bernama kekuasaan. Itulah “cerdiknya” Golkar.

Dalam beberapa bulan terakhir, isu Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar terus “berhembus” kencang, dengan kabar bahwa rencana tersebut mendapat restu dari Istana.

Selain sebagai Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia juga menjabat Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM). Isu Munaslub digulirkan di tengah desakan sejumlah pihak agar Ketua Umum Partai Golkar diganti. Bahlil harus diganti karena dinilai terlalu dekat dengan mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Sebelum komposisi Kabinet Merah Putih dibentuk presiden terpilih Prabowo, konon nama Bahlil adalah salah satu dari beberapa nama yang “diendors” Jokowi agar dimasukan Prabowo ke dalam kabinetnya.

Ruang tembak pihak-pihak yang menginginkan Bahlil ditumbangkan dari kursi Ketum Golkar semakin menemukan momentum ketika terjadi kisruh kelangkaan tabung gas LPG ukuran 3 kilogram di masyarakat.

Padahal, awal mula kekisruhan tadi didasari dari niat baik Bahlil agar konsumen gas melon ukuran 3 kilogram atau kebanyakan rakyat kecil bisa mendapatkan harga wajar.

Hanya karena minimnya waktu sosialisasi, kebijakan yang awalnya menimbulkan gaduh menjadi “amunisi” serangan untuk menggoyang Bahlil.

Namun, begitu kebijakan tersebut bisa menurunkan harga gas melon, serangan ke arah Bahlil mulai mencari titik lemah Bahlil yang lain.

Kontroversi raihan gelar doktor kajian strategik dan global untuk Bahlil dari Universitas Indonesia (UI) yang super cepat, yakni 1 tahun 8 bulan, semakin menambah “energi” pihak-pihak yang menghendaki kursi Ketum Golkar segera diganti.

Sanksi yang diberikan UI terhadap Bahli seperti penangguhan gelar doktor, revisi penulisan disertasi dan permintaan maaf telah dilakukan Bahlil.

Terpaan angin serangan berikutnya muncul dari potensi kerusakan lingkungan di Raja Ampat, Papua Barat Daya, akibat pertambangan nikel.

Walau pemberian izin usaha pertambangan nikel dilakukan jauh sebelum Bahli menjadi menteri ESDM, tidak urung Bahlil kena “getahnya”.

Tindakan Presiden Prabowo terhadap penutupan empat perusahaan pertambangan nikel tentu juga berkat rekomendasi yang diberikan Kementerian yang dipimpin Bahlil.

Dan yang jelas, empat perusahaan yang dicabut izinnya pasti terkait dengan “panggede-panggede” di masa lalu.

Satu perusahaan yang lolos dari pencabutan izin usaha diawasi ketat pengoperasiannya, walau lokasinya jauh dari kawasan geopark.

Isu Munaslub Semakin Padam

Satu per satu isu yang dipakai untuk menggoyang Bahlil dari tampuk pimpinan Ketua Umum Partai Golkar sepertinya tidak mempan menembus “jantung” pertahanan pria kelahiran Banda, 7 Agustus 1976 itu. Bahlil terlalu kuat untuk coba ditumbangkan rupanya.

Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi menyebut Istana membantah terlibat isu Munaslub Golkar.

Tidak pada tempatnya mengaitkan segala isu termasuk persoalan Golkar terkait dengan Istana. Pemerintahan hanya fokus pada program-program yang dicanangkan Presiden Prabowo (Cnnindonesia.com, 05 Agustus 2025).

Masuk akal jika Prabowo memang dilepaskan dari pusaran isu penggantian Ketum Partai Golkar jika melihat “hitung-hitungan” politik di parlemen.

Prabowo sadar, kekuatan partainya di parlemen hanya terwakili oleh 86 kursi, sementara Golkar menjadi runner up Pemilu Legeslatif 2024 sebesar 102 kursi sendiri.

Jika memperhitungkan kekuatan politik di luar pemerintahan, yakni PDIP yang meraup 110 kursi dan Nasdem yang punya 69 kursi, maka masuk akal jika Prabowo menghendaki Golkar tetap stabil agar bisa kokoh menopang pemerintahannya.

Prabowo pasti paham dengan gejolak musiman yang terjadi di Golkar, mengingat dirinya mendirikan Gerindra akibat karut marut yang terjadi pohon beringin.

Menjadi bola liar yang semakin panas andaikan persoalan internal Golkar ikut memecah soliditas di pemerintahannya yang baru berjalan 10 bulan.

Prabowo perlu “back up” politik dan dukungan dari Golkar mengingat rawannya program-program unggulan kampanye di mata publik.

Kontroversi pembiayaan Program Makan Bergizi Gratis; pendirian Koperasi Merah Putih; dampak efisensi anggaran; kenaikan berbagai sektor pajak; pencanangan Sekolah Rakyat, modernisasi alustista TNI serta penambahan personel TNI dan Kodam butuh dukungan politik Golkar di parlemen dan penguatan kelembagaan.

Penganugerahan tanda kehormatan Republik Indonesia kepada 122 tokoh – di antaranya Bahlil Lahadia - oleh Presiden Prabowo di Istana Negara, Jakarta (25 Agustus 2025), seakan menjadi penegas kalau Prabowo “tidak ada masalah “ dan “tidak bermalah” dengan Bahlil.

Bahlil mendapat bintang Mahaputera Adipurna bersama sejumlah tokoh di antaranya mendiang Baharuddin Lopa dan mendiang Letjen TNI (Purn) Dading Kalbuadi.

Pekerjaan Rumah untuk Golkar

Saat ini kepemimpinan Bahlil di Golkar tepat berumur satu tahun. Kepemimpinan Bahlil akan berakhir hingga 2029, saat pesta demokrasi kembali dihelat.

Terlepas dari berbagai upaya pihak internal atau eksternal yang menginginkan Bahlil turun dari kursi ketua umum – yang untuk sampai saat ini menemui kegagalan - tidak ada salahnya Golkar kembali menguatkan jati dirinya sebagai partai modern.

Golkar harus bisa lepas dari “bayang-bayang” masa lalu. Era kepemimpinan Bahlil adalah representasi anak muda yang berhasil memimpin partai politik.

Hanya ada Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang saat ini digawangi oleh anak-anak muda, sementara partai-partai lain masih dipimpin politisi senior.

Berbeda dengan Demokrat dan PSI, Bahlil Lahadalia bisa memimpin Golkar bukan karena anak keturunan tokoh partai atau tokoh nasional.

Bayangkan mantan kondektur dan sopir angkot di Seram Timur dan Fakfak itu pernah didapuk menjadi Menteri Investasi setelah sebelumnya menjadi Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal di era Jokowi.

Kekhwatiran publik terhadap tokoh-tokoh Beringin yang bermasalah dengan hukum kembali ke jajaran teras Partai Golkar seperti Setya Novanto, harus bisa dibuktikan Bahlil dalam struktur kepengurusan Golkar.

Memori publik terhadap kasus-kasus rasuah yang melibatkan Setya Novanto masih membekas dan sangat memengaruhi image publik terhadap citra Golkar.

Di saat sensivitas ketiadakdilan dan ketimpangan sosial yang semakin menganga di masyarakat akibat semakin susahnya kehidupan sekarang ini, Golkar di bawah kendali Bahli harus memastikan sikap dan tindakan wakil-wakilnya di parlemen agar tidak jumawa dan tetap semenjana.

Keberatan publik terhadap tingginya pendapatan anggota DPR-RI ditambah pengalihan dana perumahan sebesar Rp 50 juta perbulannya, harus disikapi anggota parlemen dari Golkar untuk unjuk kinerja.

Memastikan representasi anggota Dewan dari Golkar di parlemen begitu bermanfaat bagi rakyat yang diwakililinya.

Kasus kematian Raya, bocah asal Sukabumi akibat timbunan cacing di tubuhnya tidak boleh terjadi di daerah pemilihan yang diwakili anggota DPR dari Golkar atau yang kepala daerahnya berasal dari Partai Golkar.

Anggota Dewan dan para kepala daerah asal Golkar harus mengantisipasi terjadinya aksi unjuk rasa massa yang menuntut pembatalan kenaikan PBB seperti halnya di Pati.

Mitigasi masalah di daerah pemilihan seperti sulitnya mencari pekerjaan, aturan pajak yang menyulitkan UMKM, kelangkaaan beras yang mulai terjadi di daerah, persoalan sampah dan lingkungan, aturan royalti musik yang menimbulkan dilema, rencana kenaikan iuran BPJS, rentannya tata kelola dan penyaluran makan bergizi gratis serta imbas efisiensi anggaran dari pusat adalah contoh problem besar yang dihadapi negeri ini.

Publik masih membutuhkan pembuktian “kerja-kerja” Golkar di bawah kepemimpinan Bahlil. Usia setahun memimpin Golkar adalah langkah awal untuk membuktikan itu.


Penulis adalah Akademisi dan konsultan komunikasi


Sumber: Kompas.com

Tiada Tawa Tanpa Noel

By On Senin, Agustus 25, 2025

Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer saat dihadirkan sebagai tersangka usai terjaring OTT KPK pada konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat, 22 Agustus 2025. 

Oleh: Ari Junaedi

“Humor adalah senjata orang-orang yang tidak bersenjata. Humor membantu orang-orang tertindas untuk tersenyum pada situasi mereka terluka”. - Simon Wiesenthal.

BAGI penyintas kekejaman holocaust Nazi, Simon merasakan betul kekuatan dari humor. Setelah lulus dari Universitas Teknik Praha di 1932, hidupnya bahagia usai menikahi Cyla Muller.

Namun, kebahagian singkat yang dirasakan Simon segera sirna setelah ditangkap tentara Nazi yang merebut Kota Lwow di Polandia.

Nasib Simon seperti “dipermainkan” keadaan, dirinya lolos dari eksekusi di kamp konsentrasi Mauthasen, tapi orangtua beserta 89 orang kerabatnya tewas meregang nyawa.

Sedih berlarut-larut bagi Simon harus berganti menjadi “humor” yang menyembuhkan. Berkat caranya, Simon berhasil membangun jaringan intelijen internasional untuk memburu penjahat-penjahat Nazi yang masih buron.

Ratusan orang yang diduga penjahat perang berhasil ditangkap, di antaranya Adolf Eichmann – arsitek genosida Hitler untuk memusnahkan orang Yahudi.

Berkat Simon pula, Karl Jose Silberbauer yang bertanggung jawab atas penangkapan remaja putri Belanda, Anne Frank berhasil dicokok.

Kisah Anne Frank yang “ngumpet” di belakang rak buku rumah di Amsterdam selama pendudukan Nazi menjadi buku harian legendaris yang mengungkap deritanya sebagai buronan Nazi.

Mungkin Simon Wiesenthal lekat dengan humor, bahkan pernah terlanjur mengungkapkan kisah bualannya.

Simon pernah menyatakan kalau tentara Nazi membuat sup dari mayat orang Yahudi di kamp konsentrasi. Bertahun-tahun kemudian pengakuan ini dibantahnya.

Dalam sepuluh bulan terakhir ini pun, kita telah “dihibur” dengan aksi-aksi mirip Dedi Mizwar dalam film komedi “Jenderal Nagabonar”.

Lengkap dengan baju kebesarannya bertabur empat bintang di pundaknya. Dirinya selalu mengenalkan dengan lantang: “Saya Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer!”

Lagak dan gayanya membuat ciut nyali pengusaha yang menahan ijazah para karyawannya.

Kerap gayanya menggebrak meja, duduk “ngglosor“ di lantai, bahkan secara berulang-ulang menyebut dirinya mendukung hukuman mati untuk koruptor bajingan.

Di berbagai panggung media, entah di studio televisi atau di program siniar, komentarnya begitu galak dan menciutkan nyali koruptor.

Tekadnya begitu keras, tidak lembek dan garang terhadap penyelewengan yang dilakukan orang-orang di lingkar kekuasaan presiden.

Namun, lagak dan lagunya Immanuel Ebenezer Gerungan alias Noel sontak berubah drastis usai Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menggelar pengumuman statusnya bersama para pemalak biaya sertifikasi K-3 di Kementerian yang dipimpinnya.

Noel menangis dan ciut nyalinya saat ditampilkan di depan para pewarta yang memadati kantor KPK, Jumat (22 Agustus 2025).

Noel tidak lagi mengenakan seragam kebesarannya berbintang empat. Noel merajuk saat mengenakan rompi orange KPK dengan tangan terborgol.

Tidak ada lagi geratakan garang atau perkenalan nama dan jabatannya di awal pertemuan. Noel malah meminta amnesti kepada Presiden Prabowo.

Kali ini, Noel pasti melawak. Sidang kasusnya pun belum digelar dan vonis hakim pun belum inkrah.

Menertawakan Noel, Wujud Keletihan Publik

Maraknya fenomena humor satir yang membungkus persoalan politik dan sosial sekarang ini seperti menunjukkan dua sisi sikap publik: antara kedewasaan sekaligus keletihan.

Bayangkan, di saat masyarakat di Sumenep, Madura, masih dicekam wabah campak dan pemerintah provinsinya tidak berdaya, kita masih harus menelan kegeraman dengan ulah pejabat-pejabat 'tengik’ di Kementerian Ketenagakerjaan yang memalak calon tenaga kerja yang butuh sertifikasi K-3.

Di saat ada balita dari keluarga miskin bernama Raya asal Sukabumi yang meninggal karena ada kiloan cacing bersemayam di tubuhnya, masih ada anggota Dewan yang terhormat menyebut tunjangan Rp 50 juta per bulan untuk tempat tinggal adalah kewajaran.

Kemiskinan ada di mana-mana, sementara ada ketimpangan pendapatan dan pemerintah begitu abai.

Di saat guru dan dosen masih menggugat rendahnya pendapatan dan tunjangan, menteri keuangan malah melontarkan wacana pembiayaan dari partisipasi mayarakat.

Saya pun yakin dengan Anda, para pembaca, kalau Sri Mulyani kali ini tidak sedang membuat humor.

Di saat semua peluang pajak dijajaki pemerintah dan ketika efisiensi anggaran berimbas ke semua lini kehidupan, maka dipastikan beban rakyat akan semakin berat.

Sekali lagi, kita semua tidak yakin kalau Sri Mulyani paham dengan urusan dapur di rumah-rumah di pinggir Kali Code di Yogyakarta atau di Kampung Keling di Medan, Sumatera Utara.

Jangan salahkan publik yang menyikapinya dengan rasa humor ketika ada pejabat terjerat kasus korupsi.

Kekecewaan sekaligus melihat kemunafikan para pejabat kita, dialihkan publik dengan humor.

Publik secara sadar menyikapi setiap kejadian politik di negeri ini, dengan "menyalurkannya" dalam humor-humor satir.

Melalui humor, publik juga memperlihatkan ketidakberdayaannya atau rasa letihnya. Rasa tidak ada harapan melihat karut-marut program kerja yang dijalankan pemerintah. Mereka menuangkannya dalam humor satir, bahkan cenderung sarkastis.

Bagaimana Program Makan Bergizi Gratis yang semula dianggap membantu kehidupan rakyat miskin karena anak-anaknya sudah ditanggung makan siang gratis, kini menimbulkan tanya.

Orang tua mulai sadar, di saat ada program makan gratis untuk anak-anaknya, tetapi lapangan kerja mulai susah didapat dan pemerintah malah mengurangi program bantuan sosial.

Banyak orang yang mem-posting dan me-reposting untuk mengungkapkan humor politik di berbagai linimasa. 

Usai Noel dicokok KPK, bertaburan “humor” tentang Ketua Umum Relawan Jokowi Mania itu seperti; “Di dalam hartamu yang sedikit, ada hak para pejabat”; “Imanuel artinya Tuhan Beserta Kita. Ebenezer artinya Tuhan Menolong Kita. Tapi KPK tidak melindunginya”.

Patut disadari, humor itu merupakan kebutuhan bagi setiap orang. Orang bisa menolak perbedaan agama, budaya, bahasa atau apapun, tetapi tidak ada yang bisa menolak humor.

Segala sesuatu yang disampaikan dengan humor, meskipun menyakitkan, publik bisa menerimanya. Ada yang bisa membuat publik tersenyum senang, tetapi ada juga yang memang pahit dan tetap bisa ditelan karena humor. Humor adalah kekuatan yang tajam untuk mengkritisi apapun tanpa membuat orang menjadi marah.

Penelitian di Towson University Maryland tahun 2011, menyimpulkan bahwa humor satir dan komedi politik merupakan faktor penting dalam demokrasi.

Bahkan bisa digunakan sebagai salah satu cara untuk mengetahui kebenaran pernyataan atau kebijakan pemerintah selain menambah kepercayaan masyarakat dan pemerintah.

Tentu saja akhirnya adalah meningkatkan partisipasi politik masyarakat. Jadi publik seharusnya menanggapinya dengan humor ketika Noel “petantang-petenteng” dengan seragam berbintang 4. Toh baru 4, belum 5.

Sekali lagi, humor bisa berfungsi sebagai terapi untuk mengatasi ketidakwarasan dengan cara yang positif secara mental dan fisik.

Bahkan melalui terapi tertawa yang menyehatkan bisa mengurangi stres dan melepaskan hormon endorfin.

Dengan tertawa, tubuh bisa melepaskan energi negatif dan menghasilkan energi positif, sehingga meningkatkan kualitas hidup seseorang.

Kisah Teman Tidur Anggota Dewan

Ketika besaran gaji, tunjangan serta penggantian biaya perumahan bagi anggota DPR-RI mencuat ke publik, masyarakat menanggapinya dengan humor satir.

Meme anggota Dewan yang terhormat menunjukkan pesona Rp 3 juta sehari, maka rakyat miskin pun juga menampilkan pesona "Rp 100.000 siang malam, kadang dapat kadang tidak", sontak tersebar.

Bahkan ada kisah mengenai anggota DPR yang mendapat pesan chat dari seorang perempuan. Perempuan ini minta segera ditransfer Rp 10 juta ke rekeningnya.

Si anggota Dewan bertanya buat apa harus transfer segera? Balas perempuan tersebut, dia ingin kasus tidur barengnya bersama anggota Dewan tidak tersebar ke publik, apalagi bocor ke media online.

Tanpa banyak pertimbangan, si anggota Dewan tersebut segera mengirim uang sejumlah yang diminta perempuan tersebut.

Dirinya khawatir perempuan yang pernah tidur bareng tersebut membocorkan rahasianya. Apalagi anggota Dewan tersebut sampai lupa berapa banyak perempuan yang pernah diajaknya “bobo” bareng selama reses dan studi banding bersama mitra kerja.

Toh, dengan gajinya yang Rp 100 juta lebih per bulannya masih berlebih. Apalah arti uang Rp 10 juta.

Dasar perempuan lihai, dia mengirim kembali pesan chat agar anggota Dewan tersebut segera mentransfer lagi sebanyak Rp 25 juta.

Kali ini, anggota Dewan mulai berpikir siapa sebetulnya sosok perempuan itu. Anggota Dewan pun mengancam tidak akan mengirim uang yang diminta sebelum perempuan tersebut menyebutkan nama, mengirim foto dan menyebut lokasi tempat tidur bareng. Hanya saja, perempuan tersebut lebih gigih memintanya.

Karena penasaran, akhirnya anggota Dewan itu mengirim Rp 25 juta ke rekening yang dipilih perempuan itu.

Perempuan itupun akhirnya membocorkan jati dirinya usai menerima transfer ke dua sebesar Rp 25 juta, kalau dirinya adalah sama-sama yang “bobo” bareng di gedung parlemen saat Presiden Prabowo menyampaikan pidato kenegaraan kemarin.

Pidato kenegaraan Presiden Prabowo di sidang tahunan MPR tanggal 15 Agustus 2025 kemarin, berlangsung selama 1 jam 15 menit. Ada 6.000 kata yang disampaikan Prabowo atau rata-rata 80 kata setiap menit yang diucapkan Prabowo.

Sekali lagi, cerita perempuan yang tidur bareng dengan anggota Dewan di atas adalah cerita fiktif dan inilah humor politik.

“Selain kekuasaan tanpa kehormatan, sesuatu yang paling berbahaya di dunia adalah kekuasaan tanpa humor”. - Eric Sevareid (1912 - 1992), jurnalis senior di Amerika Serikat.


Penulis adalah Akademisi dan Konsultan Komunikasi


Sumber: Kompas.com

Noel, dari Ojol ke Wamenaker, lalu Jatuh di Tikungan Kekuasaan

By On Minggu, Agustus 24, 2025

Mantan Wamenaker Noel

Oleh: M. Ikhsan Tualeka

KABAR penangkapan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer atau Noel oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terasa pahit. Bagi publik, mungkin ini sekadar cerita pejabat yang lagi-lagi terseret kasus hukum.

Namun bagi saya, kabar itu punya makna berbeda: ironi hidup dari seorang yang pernah saya kenal —meski tak begitu dekat, sekaligus potret getir perjalanan seorang aktivis yang menembus kekuasaan, tapi tersandung di jalan berliku.

Saya mengenal Noel ketika sama-sama terlibat atau menginisiasi Muda-Mudi Ahok, inisiatif anak mendorong Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) maju lewat jalur independen dalam perhelatan Pilkada DKI Jakarta 2017.

Gerakan itu akhirnya bubar karena Ahok lebih memilih maju lewat jalur koalisi partai politik. Namun dari situ saya melihat Noel tampil dengan semangat berapi-api, berani ikut melawan arus politik mapan. Ia vokal, bahkan kadang kontroversial. Namun, di balik itu saya melihat idealisme yang kuat.

Saya juga tahu, seperti juga aktivis lainnya di Ibu Kota, jalan hidup Noel tak pernah mudah. Jakarta adalah kota yang keras. Ia pernah jatuh, merasakan getirnya hidup sampai harus menjadi pengemudi ojek online untuk sekadar bertahan.

Itu adalah fase hidup yang mestinya menumbuhkan empati lebih dalam, sekaligus mengingatkan betapa beratnya perjuangan menapaki jalan menuju posisi terhormat di negeri ini, menjadi pejabat negara.

Ketika Noel akhirnya masuk atau mendapat tempat di lingkaran kekuasaan, menjabat Wakil Menteri Ketenagakerjaan, saya bayangkan itu sebagai buah perjalanan dan perjuangan panjang penuh liku. Dari seorang aktivis jalanan, yang sempat hidup pas-pasan, hingga akhirnya masuk kabinet.

Namun, justru di situlah jebakan sesungguhnya. Jabatan membawa fasilitas, protokoler, dan kuasa yang kadang membuat orang lupa daratan.

Kini Noel ditangkap KPK. Apakah benar ia melakukan pemerasan, ataukah ada operasi politik di balik OTT ini, akan kita lihat bersama.

Prinsip praduga tak bersalah harus tetap dikedepankan. Apapun hasilnya nanti, kasus ini memberi pelajaran penting—bukan hanya untuk Noel, tetapi untuk seluruh aktivis yang kini berada di lingkaran kekuasaan, maupun yang bakal masuk kekuasaan.

Aktivis yang Lupa Akar

Banyak kita saksikan, aktivis yang setelah mendapat jabatan justru berubah. Mereka lupa akar perjuangan, lupa hari-hari sederhana yang dulu mereka jalani. Padahal, identitas aktivis bukan bisa dicopot atau dipakai sesuka hati.

Menjadi aktivis itu sesungguhnya adalah panggilan moral, yang seharusnya tetap hidup dan melekat, meski sudah duduk di kursi empuk kekuasaan.

Menjadi pejabat seharusnya tidak membuat seorang berlatar aktivis kehilangan orientasi.

Justru pengalaman di jalanan, bersama rakyat kecil, mestinya menjadi kompas moral untuk memandu diri dalam menjalankan jabatan.

Namun, justru yang seringkali terjadi adalah sebaliknya: jabatan malah menjauhkan mereka dari rakyat, membuat mereka larut dalam fasilitas, lupa darimana mereka berasal. Seakan mereka balas dendam atas kesulitan hidup di masa lalu.

Noel mungkin hanya salah satu contoh. Kasusnya harus menjadi alarm keras bagi aktivis-aktivis lain. Jangan sampai mereka terseret pola yang sama: idealisme tinggi ketika di luar, tapi rapuh begitu berada di dalam.

KPK dan Bayangan Operasi Politik

Di sisi lain, publik juga berhak mengkritisi KPK. Lembaga antirasuah ini lahir dengan harapan besar sebagai benteng melawan korupsi. Namun, kini kerap dipersepsikan lemah, tidak lagi sekuat dulu. Karena itu, setiap langkah dan upaya KPK harus benar-benar transparan dan akuntabel.

OTT terhadap Noel harus dipastikan berjalan dalam koridor dan skema penegakan hukum yang jelas, sehingga tak dipersepsikan sebagai alat politik. Sesuatu yang beralasan, apalagi bila melihat ada pejabat sekelas menteri yang sudah bolak-balik diperiksa aparat penegak hukum malah mandek kasusnya.

Kasus Firli Bahuri mantan Ketua KPK yang sudah jadi tersangka pun hilang ditelan bumi. Itu artinya, bila KPK hanya dianggap instrumen kekuasaan atau kompatriot oligarki untuk menyingkirkan lawan atau mengendalikan sekutu, kepercayaan publik akan semakin runtuh.

Noel mungkin salah langkah, khilaf karena terlena, atau barangkali ia adalah korban. Namun, apapun kebenarannya nanti, kisah ini adalah pengingat pahit bahwa politik Indonesia masih penuh jebakan.

Bahwa garis antara idealisme dan pragmatisme sangat tipis. Bahwa siapapun, bahkan seorang aktivis yang pernah hidup sederhana dan berjuang keras, bisa jatuh bila kehilangan pegangan moral.

Saya tidak menulis ini untuk membela Noel. Saya ingin menekankan bahwa kasus ini adalah refleksi kolektif. Bagi publik, agar tidak cepat melupakan bahwa para pejabat kita adalah manusia dengan segala keterbatasannya.

Bagi aktivis, agar tetap sadar dari mana mereka berasal, dan tidak membiarkan kekuasaan menggerus idealisme. Dan bagi KPK, dan aparat penegak hukum lainnya agar bekerja dengan penuh integritas, sehingga tidak dipersepsikan sebagai tangan kekuasaan dan oligarki.

Noel mungkin akan dikenang dengan kontroversinya, dengan keberaniannya, juga dengan kejatuhannya. Namun, setidaknya kisahnya memberi kita pelajaran: bahwa perjuangan (aktivis) tidak berhenti di jalanan, dan ujian sesungguhnya justru datang ketika seseorang sudah diberi atau berada di dalam lingkaran kekuasaan.


Penulis adalah Pegiat Perubahan Sosial


Sumber: Kompas.com

Gaji Rp 100 Juta Wakil Rakyat

By On Selasa, Agustus 19, 2025

Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR-DPD RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jumat, 15 Agustus 2025. 

Oleh: Firdaus Arifin

KABAR bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat menerima take-home pay yang menembus angka seratus juta rupiah per bulan, kembali menampar nurani publik.

Angka itu muncul setelah adanya tambahan tunjangan perumahan yang menggantikan rumah dinas. Dengan tambahan puluhan juta rupiah per bulan, penghasilan wakil rakyat disebut bisa menyentuh Rp 100 juta, setara Rp 3 juta per hari.

Kabar ini segera bergulir menjadi polemik. Media sosial penuh dengan komentar sinis, rakyat berang, dan akademisi geleng kepala.

Angka itu bukan sekadar soal matematika gaji, melainkan simbol jurang yang kian menganga antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya.

Bagaimana mungkin, di tengah harga beras yang terus melonjak, gizi anak yang masih bermasalah, dan rakyat yang kesulitan mengakses pekerjaan layak, para legislator justru tenang duduk di kursi empuk dengan jaminan penghasilan yang tak masuk akal bagi banyak warga?

Polemik gaji wakil rakyat bukanlah cerita baru. Sejak era Orde Baru hingga pasca-Reformasi, isu penghasilan pejabat publik kerap menjadi bahan perdebatan.

Secara resmi, gaji pokok anggota DPR hanya Rp 4,2 juta sesuai PP Nomor 75 Tahun 2000. Angka ini kecil. Namun publik tahu, yang membuat penghasilan mereka gemuk adalah aneka tunjangan: tunjangan jabatan, komunikasi intensif, kehormatan, hingga bantuan listrik dan telepon.

Dulu, polemik soal rumah dinas sempat merebak. Ada anggota DPR yang tak mau menempati rumah dinas, memilih menyewakan, atau malah membiarkan kosong.

Akhirnya, kebijakan bergeser: rumah dinas kini diganti dengan tunjangan perumahan, dengan angka fantastis hingga puluhan juta rupiah per bulan. Di sinilah letak lonjakan yang membuat take-home pay DPR melonjak hingga seratus juta rupiah.

Kisah ini mencerminkan ironi: gaji pokok memang kecil, tapi tunjangan menjadikannya berlipat.

Di situlah sering muncul perasaan tak adil: seolah DPR bukan lagi mewakili rakyat, melainkan mewakili kepentingan kesejahteraan dirinya sendiri.

Realitas Rakyat

Di lapangan, realitas rakyat berbicara lain. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat upah minimum provinsi 2025 rata-rata nasional hanya Rp 3,5 juta per bulan. Bahkan di banyak daerah, upah minimum masih di bawah angka itu.

Seorang buruh pabrik, pekerja informal, atau tenaga kontrak harus berjibaku setiap hari untuk memenuhi kebutuhan hidup yang kian mahal.

Ketimpangan semakin terasa bila kita menengok ke desa-desa. Seorang petani di Indramayu, misalnya, bisa menghabiskan sebulan penuh hanya untuk menghasilkan Rp 2 juta dari panen padi.

Nelayan kecil di pesisir utara Jawa hanya memperoleh Rp 1,5 juta sebulan bila cuaca bersahabat.

Di Nusa Tenggara Timur, banyak keluarga masih kesulitan mengakses air bersih, sementara anak-anak menderita stunting.

Kontraskah? Sangat. Ketika wakil rakyat bisa menikmati Rp 3 juta sehari, banyak rakyatnya justru tak mampu membeli lauk layak setiap hari.

Tentu, ada yang membela. Anggota DPR disebut memiliki tanggung jawab besar: menyusun undang-undang, mengawasi pemerintah, memperjuangkan aspirasi rakyat.

Mereka bekerja tujuh hari seminggu, dengan beban politik, risiko reputasi, bahkan ancaman keamanan.

Benar, tanggung jawab mereka besar. Namun, apakah besar tanggung jawab harus dibayar dengan angka yang melampaui batas rasa keadilan publik?

Sistem demokrasi perwakilan seharusnya menuntut Wakil Rakyat untuk berkorban, bukan berfoya-foya. Tugas legislatif memang berat, tapi ia adalah amanat, bukan ladang penghasilan.

Ada pula argumen bahwa gaji besar akan mengurangi potensi korupsi. Namun, sejarah membuktikan sebaliknya. Tak sedikit anggota DPR yang tetap tersangkut kasus suap dan korupsi meski penghasilan mereka sudah lebih dari cukup.

Artinya, masalahnya bukan sekadar besaran gaji, melainkan integritas moral dan mekanisme akuntabilitas.

Pertanyaan mendasar muncul: apakah para wakil rakyat itu masih bisa merasakan denyut nadi rakyat yang diwakilinya?

Empati seolah kian menipis ketika angka-angka fantastis itu diucapkan tanpa beban di ruang publik. Publik menuntut wakil rakyat untuk lebih rendah hati. Bukan soal menolak gaji, tetapi soal kepekaan.

Andai saja pernyataan tentang gaji seratus juta itu disertai refleksi: bahwa angka itu kontras dengan penderitaan rakyat, bahwa legislator harus bekerja keras membuktikan mereka layak menerima itu, mungkin polemik ini tak akan sebesar sekarang.

Sayangnya, yang terdengar justru pembenaran. Kalimat “cukup bagi kami” melukai nurani rakyat. Bagi rakyat kecil, Rp 100.000 saja bisa menentukan apakah dapur berasap hari itu.

Filsafat politik mengajarkan, legitimasi kekuasaan lahir bukan hanya dari prosedur, melainkan dari moral.

Wakil rakyat yang dipilih sah secara demokratis pun bisa kehilangan legitimasi bila gagal menjaga moralitas publik.

Moralitas bukan sesuatu yang bisa dibeli dengan gaji. Ia lahir dari keadilan, kejujuran, dan pengabdian.

Bila DPR tak lagi merefleksikan kepentingan rakyat, maka angka seratus juta di kursi mereka hanya akan menjadi simbol keserakahan.

Negara yang sehat menempatkan etika di atas materi. Namun, Indonesia seakan terjebak dalam paradoks: gaji wakil rakyat terus meningkat, tetapi indeks korupsi, kualitas legislasi, dan kepercayaan publik terhadap DPR justru menurun.

Apa yang bisa dilakukan? Pertama, DPR harus membuka data penghasilan mereka secara transparan. Komponen gaji, tunjangan, hingga fasilitas harus diungkap tanpa ditutup-tutupi. Transparansi adalah cara untuk mengembalikan kepercayaan publik.

Kedua, perlu mekanisme pengendali independen—semacam komisi etik atau lembaga audit publik—yang bisa mengukur kewajaran tunjangan DPR.

Jangan sampai DPR menetapkan sendiri berapa ia harus dibayar. Itu konflik kepentingan yang nyata.

Ketiga, DPR harus menyadari bahwa legitimasi mereka ditentukan rakyat. Setiap rupiah yang mereka terima berasal dari pajak rakyat, dari keringat buruh, petani, pedagang, dan nelayan. Uang negara bukan milik negara, melainkan uang rakyat yang dititipkan.

Apa yang seharusnya menjadi jalan keluar? Polemik gaji DPR ini seharusnya membuka ruang bagi refleksi kolektif: untuk apa seseorang menjadi wakil rakyat?

Menjadi anggota DPR bukanlah pekerjaan biasa. Ia adalah panggilan. Kursi DPR bukan kursi bisnis, melainkan kursi pengabdian.

Maka, jalan yang layak ditempuh adalah membangun keseimbangan: gaji dan tunjangan cukup untuk hidup layak, tetapi tidak berlebihan sehingga memutus empati pada rakyat.

Kita perlu menegaskan bahwa ukuran kesejahteraan wakil rakyat tidak boleh jauh melampaui kesejahteraan rakyat yang diwakilinya. Angka seratus juta terlalu jauh dari realitas.

Jika tetap dipertahankan, jarak antara rakyat dan wakilnya hanya akan semakin melebar.

Sejarah bangsa ini penuh dengan pengorbanan. Para pendiri republik hidup sederhana, bahkan Bung Hatta terkenal menolak hak pensiun. Ia meninggalkan jejak teladan bahwa kekuasaan bukan jalan memperkaya diri, melainkan mengabdi.

Hari ini, para wakil rakyat kita seolah melupakan ingatan itu. Mereka terjebak dalam kenyamanan kursi dan tunjangan. Padahal, bangsa ini tidak sedang surplus moral. Yang kita butuhkan bukan angka seratus juta, melainkan seratus persen integritas.

Ingatan akan pengorbanan para pendiri bangsa seharusnya menjadi cermin bahwa kekuasaan tanpa moral hanyalah panggung sandiwara.

Polemik gaji seratus juta anggota DPR bukan sekadar soal angka. Ia adalah cermin tentang bagaimana republik ini memandang kekuasaan, keadilan, dan pengabdian.

Rakyat boleh marah, boleh kecewa. Di balik itu, ada harapan: semoga polemik ini menjadi tamparan, agar wakil rakyat kembali ke fitrah tugasnya.

Agar kursi yang mereka duduki bukan sekadar kursi empuk dengan gaji ratusan juta, tetapi kursi yang penuh tanggung jawab moral untuk membela rakyat.

Karena pada akhirnya, gaji besar tanpa kepekaan hanyalah angka kosong. Yang membuat wakil rakyat benar-benar mulia bukan seratus juta di slip gaji, melainkan seratus persen keberpihakan kepada rakyat.


Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat


Sumber: Kompas.com

Memerdekakan Jalan dari Penjajahan Sunyi

By On Minggu, Agustus 17, 2025

Spanduk larangan parkir mobil di jalanan Kampung Bulak Macan RW 022, Harapan Jaya, Bekasi Utara

Oleh: Edy Suhardono 

SETIAP pagi, di banyak pemukiman kelas menengah di kota-kota besar, sebuah tarian canggung dipertontonkan. Mobil hendak keluar dari gerbang rumahnya, tapi lajunya terhenti. Dari arah berlawanan, mobil lain hendak masuk. Keduanya tak bisa bergerak.

Penyebabnya adalah "mobil-mobil sang raja"—kendaraan yang berjejer angkuh di kedua sisi jalan, mereduksi lebar jalan yang seharusnya bisa dilalui dua lajur menjadi lorong sempit untuk satu kendaraan saja.

Ada klakson pelan yang dibunyikan sebagai kode, ada lambaian tangan yang menyiratkan "silakan duluan", ada pula helaan napas panjang dari pengemudi yang merasa paginya sudah terganggu.

Pemandangan ini begitu jamak sehingga kita cenderung memakluminya sebagai kewajaran urban, ketidaknyamanan kecil yang harus diterima.

Namun, jika kita berhenti sejenak dan merefleksikannya, kita akan sadar bahwa ini bukanlah sekadar gangguan minor.

Ini adalah gejala dari penyakit sosial yang lebih dalam: sebuah krisis etos, pemahaman yang terdistorsi tentang hak, dan pengkhianatan terhadap makna kemerdekaan itu sendiri.

Premis dasarnya sederhana, tapi menusuk: fenomena mobil tanpa garasi yang memakan badan jalan bukanlah masalah ketiadaan lahan, melainkan krisis tanggung jawab.

Ini adalah manifestasi fisik dari egoisme ruang yang tumbuh subur di tengah masyarakat yang merayakan kebebasan individual tanpa menginternalisasi kewajiban komunal.

Ketika setiap meter persegi aspal publik dianggap sebagai lahan parkir pribadi yang gratis, kita tidak sedang menyaksikan solusi kreatif atas keterbatasan lahan, melainkan erosi nilai-nilai fundamental yang menopang kota yang beradab.

Data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menunjukkan pertumbuhan kepemilikan kendaraan yang masif pasca-pandemi, indikator kemajuan ekonomi. Namun, kemajuan ini menjadi ironis ketika tidak diimbangi dengan kemajuan cara berpikir.

Badan PBB untuk pemukiman, UN-Habitat, dalam laporannya seringkali menekankan bahwa kualitas hidup di perkotaan sangat bergantung pada kualitas ruang publik yang dapat diakses secara adil (INRIX. (2022).

Ketika jalanan yang seharusnya menjadi arteri kehidupan kota justru tersumbat oleh properti pribadi yang "diparkir", kita secara kolektif sedang menurunkan kualitas hidup kita sendiri.

Masalahnya kini bukan lagi "di mana harus parkir?", melainkan "sudah benarkah pemahaman kita tentang hak dan ruang bersama?".

Merampas Hak dan Keadilan Ruang

Jalanan di depan rumah kita, sejatinya, bukanlah perpanjangan dari properti pribadi kita. Ia adalah ruang publik.

Seperti yang digagas dalam disertasi Muzwar Irawan (2014) berjudul “Makna Ruang Publik Kota (Studi Kasus: Lapangan Karebosi di Kota Makassar)” yang dimuat di jurnal Nalars, 13(1), ruang publik bukanlah sekadar ruang fisik yang kosong, melainkan arena kultural dan politik tempat hak-hak warga bertemu dan bernegosiasi.

Ketika mobil diparkir permanen di badan jalan, pemiliknya secara sepihak telah mengklaim hak yang bukan miliknya.

Ia telah merebut hak pejalan kaki untuk berjalan dengan aman di bahu jalan, hak anak-anak untuk memiliki ruang gerak yang lebih leluasa, hak tetangga untuk mengakses rumahnya tanpa halangan, dan yang terpenting, hak kendaraan darurat seperti ambulans atau pemadam kebakaran untuk lewat dengan cepat.

Ini adalah bentuk pelanggaran terhadap keadilan ruang (spatial justice). Kelas menengah yang kritis terhadap kemacetan di jalan raya seringkali buta terhadap ketidakadilan yang mereka ciptakan sendiri di depan rumah mereka.

Mereka menuntut pemerintah menyediakan infrastruktur yang lebih baik, tetapi gagal menyediakan hal paling mendasar: tidak merampas infrastruktur yang sudah ada untuk kepentingan pribadi.

Kemerdekaan yang kita rayakan setiap tahun bukanlah kemerdekaan untuk mengambil apa yang bukan milik kita. Kemerdekaan sejati justru terletak pada kemampuan untuk menahan diri dan menghormati hak orang lain atas ruang yang kita gunakan bersama.

Membiarkan jalanan bebas dari parkir liar adalah tindakan sederhana yang menegaskan bahwa kita memahami esensi dari hidup berkomunitas. Masalah ini melampaui sekadar isu sosial; ia adalah cerminan dari rendahnya kewarganegaraan ekologis (ecological citizenship).

Konsep ini, seperti yang diwujudkan dalam studi di Kampung Gambiran, Yogyakarta (Haryanto, J. T. (2020) yang ditulis di Jurnal Pemikiran Sosiologi 7(2), mengajarkan bahwa tanggung jawab kita sebagai warga negara tidak berhenti pada sesama manusia, tetapi meluas hingga ke lingkungan tempat kita tinggal.

Mobil yang terparkir di jalan tidak hanya memakan ruang. Ia menghalangi sistem drainase, menyebabkan genangan saat hujan. Ia mempersulit petugas kebersihan untuk menyapu jalan, membiarkan debu dan sampah menumpuk yang pada akhirnya mencemari udara dan tanah.

Deretan mobil yang terpanggang di bawah sinar matahari turut menyumbang pada efek pulau bahang perkotaan (urban heat island), membuat lingkungan sekitar menjadi lebih panas.

Kita mungkin bangga memiliki mobil baru yang mengkilap, tetapi kita seringkali buta terhadap jejak ekologis yang ditinggalkannya, bahkan saat ia diam. Kita menuntut udara bersih, tetapi berkontribusi pada polusi mikro di lingkungan kita sendiri. Kita mengeluhkan banjir, tetapi ikut andil dalam menyumbat saluran air.

Kemerdekaan sejati adalah bebas dari egoisme ruang yang merusak. Ia adalah kesadaran bahwa trotoar, selokan, dan aspal jalan merupakan bagian dari ekosistem urban yang rapuh.

Menjaga fungsi-fungsi ekologis ini adalah bentuk tanggung jawab kewarganegaraan yang paling nyata, langkah kecil untuk memastikan kota kita tetap layak huni bagi generasi mendatang.

Jebakan Prestise Konsumtif Semu

Mengapa fenomena ini begitu meluas? Jawabannya terletak pada perspektif sosial-budaya kita terhadap kepemilikan mobil.

Seperti yang dianalisis oleh Dr. Yannes Martinus Pasaribu, M.Sn (Kompas, 22/7/2022) dari ITB, di Indonesia, mobil seringkali bukan lagi sekadar alat transportasi fungsional, melainkan telah berevolusi menjadi simbol status, penanda kesuksesan, dan validasi sosial.

Dorongan untuk diakui sebagai bagian dari kelas menengah yang "berhasil" seringkali lebih kuat daripada pertimbangan logis tentang kebutuhan dan kapasitas.

Akibatnya, banyak orang memaksakan diri membeli mobil tanpa memikirkan konsekuensi paling mendasar: di mana mobil itu akan "tidur" di malam hari.

Inilah kemerdekaan yang semu, kemerdekaan konsumtif yang menjebak kita dalam perlombaan prestise tanpa akhir. Kita merasa "merdeka" karena mampu membeli mobil, tetapi pada saat yang sama kita memenjarakan diri kita dan tetangga kita dalam ketidaknyamanan dan konflik sosial.

Tulisan ini secara khusus ditujukan kepada kita, kelas menengah penikmat pembangunan, untuk merefleksikan kembali makna sukses. Apakah sukses itu diukur dari apa yang bisa kita pamerkan di pinggir jalan, atau dari kontribusi kita dalam menciptakan lingkungan hidup yang nyaman dan adil?

Kemerdekaan yang sejati bukanlah kebebasan untuk mengonsumsi tanpa batas, melainkan kesadaran untuk memilih secara bertanggung jawab, dengan mempertimbangkan dampak sosial dari setiap pilihan pribadi kita.

Bela Negara dari Tepi Jalan

Dalam konteks urbanisasi yang pesat, makna bela negara pun harus diperluas. Bela negara hari ini bukan hanya tentang mengangkat senjata, tetapi tentang partisipasi aktif warga dalam menjaga stabilitas sosial dan kelestarian lingkungan (Kusumastuti & Khoir, 2019).

Ketika kita membiarkan parkir liar merajalela, kita secara tidak langsung sedang menggerogoti ketertiban sosial. Kita menciptakan potensi konflik antarwarga, menumbuhkan sikap apatis terhadap aturan, dan melemahkan rasa kebersamaan.

Kesadaran berbangsa dan bernegara mendorong kita untuk menjaga harmoni. Menjaga harmoni di tingkat mikro—di gang pemukiman kita—adalah fondasi dari harmoni di tingkat makro.

Dengan memastikan mobil kita memiliki garasi, kita tidak hanya menjadi tetangga yang baik, kita sedang melakukan tindakan bela negara. Kita membela hak publik, menjaga kelestarian lingkungan mikro, dan memperkuat tatanan sosial.

Kemerdekaan untuk menikmati hasil pembangunan harus diimbangi dengan kesadaran untuk menjaga fondasi negara ini, yang salah satunya adalah keteraturan dan rasa hormat dalam kehidupan bersama.

Pada akhirnya, solusi atas masalah "mobil-mobil sang raja" ini tidak hanya terletak pada penegakan Perda oleh pemerintah. Ia berakar pada pendidikan dan kesadaran.

Sebagaimana studi di Kampung Bekelir yang berhasil mengubah perilaku warga melalui pendidikan kewarganegaraan berbasis komunitas, kita pun perlu mendidik diri kita sendiri.

Kita perlu memulai percakapan di lingkungan RT/RW, saling mengingatkan dengan empati, dan bersama-sama mencari solusi.

Kemerdekaan sejati adalah kemerdekaan yang aktif, yang mau terlibat dan bertanggung jawab dalam menjaga ruang hidup bersama.

Sudah saatnya kita memerdekakan jalanan kita dari egoisme pribadi, dan mengembalikannya pada fungsinya sebagai milik publik, demi kota yang lebih adil, lestari, dan manusiawi untuk semua.


Penulis adalah Peneliti & Assessor pada IISA Assessment Consultancy & Research Centre


Sumber: Kompas.com

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *