Berita Terbaru

Diberdayakan oleh Blogger.
Pertamina untuk Rakyat, Bukan Mafia

By On Rabu, November 05, 2025

Ilustrasi SPBU Pertamina. 

Oleh: Rifqi Nuril Huda

Isu dugaan penyalahgunaan penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite yang terjadi beberapa minggu terakhir telah mengguncang kepercayaan publik terhadap tata kelola energi nasional.

Munculnya konten masyarakat di berbagai media sosial mengenai dugaan penurunan kualitas bahan bakar yang berakibat pada kerusakan mesin di sejumlah daerah bukan hanya  kerugian ekonomi bagi pengguna, tetapi juga mengancam kredibilitas Pertamina sebagai badan usaha milik negara yang memikul tanggung jawab strategis dalam menjamin ketersediaan energi bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dugaan praktik manipulasi kualitas bahan bakar, yang diduga melibatkan jaringan mafia migas di tingkat distribusi, menjadi refleksi nyata lemahnya pengawasan internal dan potensi penyimpangan yang telah berulang kali menghantam sektor energi nasional.

Ketika masyarakat sebagai konsumen menghadapi kenyataan bahwa bahan bakar yang mereka beli tidak sesuai dengan standar mutu yang dijanjikan, maka kepercayaan publik terhadap institusi pengelola energi negara pun terancam runtuh.

Dalam konteks hukum, persoalan ini dapat dibaca melalui kacamata Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen) yang menegaskan prinsip dasar tentang itikad baik antara pelaku usaha dan konsumen.

Pasal 7 huruf a mengatur kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dalam menjalankan usahanya. Sementara Pasal 5 huruf b mengatur kewajiban konsumen untuk beritikad baik dalam melakukan transaksi.

Penerapan asas itikad baik ini merupakan jaminan hukum agar tidak terjadi pelanggaran yang merugikan salah satu pihak.

Dalam konteks Pertamina, asas ini bermakna bahwa perusahaan negara wajib menjaga keaslian, keamanan, dan mutu produk bahan bakar yang didistribusikan kepada publik.

Ketika terjadi penurunan kualitas bahan bakar akibat penyalahgunaan wewenang atau manipulasi di tingkat tertentu, maka sesungguhnya telah terjadi pelanggaran terhadap prinsip perlindungan konsumen yang diatur undang-undang.

Pengguna Pertamina, sebagai konsumen, berhak memperoleh perlindungan hukum atas kerugian yang mereka alami akibat turunnya kualitas bahan bakar yang seharusnya dijamin oleh negara.

Masalah ini tidak dapat dilepaskan dari persoalan klasik dalam tata kelola energi di Indonesia, yakni lemahnya pengawasan dan penetrasi kelompok kepentingan dalam rantai distribusi BBM.

Mafia migas bukanlah istilah baru, mereka adalah jaringan kepentingan ekonomi dan politik yang beroperasi di ruang abu-abu antara kebijakan, birokrasi, dan bisnis energi.

Praktik manipulasi stok, penurunan kadar oktan, hingga dugaan praktik-praktik pengoplosan bahan bakar merupakan manifestasi dari kegagalan sistem pengawasan internal dan lemahnya integritas tata kelola di lapangan.

Ketika praktik seperti ini dibiarkan berulang tanpa tindakan tegas, maka negara sejatinya telah gagal menjalankan fungsi pengawasan terhadap kekayaan publik yang seharusnya digunakan untuk kemakmuran rakyat.

Menegakkan Itikad Baik dan Akuntabilitas

Penerapan prinsip good corporate governance (tata kelola perusahaan yang baik) menjadi batu ujian utama dalam menilai kredibilitas Pertamina sebagai perusahaan milik rakyat.

Prinsip ini meliputi transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, independensi, dan keadilan, yang keseluruhannya harus menjadi panduan dalam setiap lini operasional perusahaan.

Ketika salah satu prinsip itu diabaikan, seperti dalam kasus lemahnya pengawasan kualitas BBM, maka integritas perusahaan menjadi dipertanyakan. Pertamina harus menegakkan transparansi bukan hanya dalam pelaporan kinerja keuangan, tetapi juga dalam mekanisme produksi, distribusi, dan pengawasan mutu produk. Dalam konteks akuntabilitas, setiap penyimpangan dalam rantai distribusi harus dapat ditelusuri dan diusut hingga ke akar permasalahan, termasuk apabila ditemukan indikasi keterlibatan oknum internal.

Teori tata kelola perusahaan menegaskan bahwa pengawasan internal yang lemah akan membuka ruang bagi terjadinya fraud (kecurangan) yang sistemik.

Oleh karena itu, reformasi tata kelola Pertamina harus diarahkan pada penguatan sistem audit internal, digitalisasi rantai pasok, dan pengawasan mutu berbasis teknologi agar tidak ada lagi celah manipulasi.

Sistem digitalisasi distribusi bahan bakar seperti fuel tracing dan real-time monitoring harus menjadi instrumen wajib dalam memastikan keaslian produk dan integritas rantai distribusi.

Selain itu, penguatan peran masyarakat dan lembaga pengawas independen perlu ditingkatkan agar pengawasan terhadap Pertamina tidak hanya bersifat internal, melainkan partisipatif dan terbuka.

Dalam konteks perlindungan konsumen, peran pemerintah melalui Kementerian Perdagangan dan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menjadi sangat penting.

Pemerintah harus memastikan bahwa setiap bentuk pelanggaran terhadap mutu bahan bakar mendapatkan sanksi tegas dan proses hukum yang transparan.

Pertamina sebagai badan usaha milik negara harus diberikan dukungan politik dan kelembagaan untuk melakukan reformasi struktural tanpa intervensi kelompok kepentingan, karena pelemahan Pertamina berarti pelemahan kedaulatan energi nasional itu sendiri.

Dalam situasi ini, penguatan Pertamina harus berjalan seiring dengan penegakan hukum terhadap mafia migas yang selama ini menjadi parasit dalam tubuh industri energi nasional.

Usut tuntas mafia migas bukan hanya jargon moral, melainkan kewajiban konstitusional dalam menjaga kekayaan negara agar tidak dikuasai oleh segelintir orang.

Asas itikad baik dalam UU Perlindungan Konsumen juga perlu dipahami sebagai prinsip moral dan hukum yang membangun relasi etis antara negara, pelaku usaha, dan masyarakat.

Itikad baik pelaku usaha bukan hanya soal kepatuhan formal terhadap aturan, tetapi juga kesadaran moral bahwa setiap produk yang dijual adalah bagian dari tanggung jawab sosial untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan publik.

Dalam konteks ini, Pertamina harus memperkuat nilai-nilai etik korporasi yang berpijak pada semangat kejujuran, transparansi, dan tanggung jawab sosial. Hanya dengan cara itulah Pertamina dapat menjaga posisinya sebagai perusahaan energi yang tidak hanya efisien secara ekonomi, tetapi juga berkeadilan secara sosial.

Pancasila dan Energi Berkeadilan

Dalam perspektif ideologis, penguatan tata kelola Pertamina dan pemberantasan mafia migas harus dikembalikan pada nilai fundamental Pancasila sebagai pedoman etika dan politik ekonomi nasional.

Sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” memberikan fondasi moral dan filosofis bahwa setiap kebijakan pengelolaan sumber daya alam, termasuk energi, harus berorientasi pada kesejahteraan seluruh rakyat, bukan keuntungan segelintir pihak.

Pancasila menegaskan bahwa sumber daya alam yang dikuasai negara bukanlah komoditas politik, melainkan amanah konstitusional untuk kemakmuran bersama.

Karena itu, ketika terjadi penyalahgunaan dalam pengelolaan energi, maka yang dirugikan bukan hanya masyarakat sebagai konsumen, melainkan juga martabat ideologi bangsa.

Keadilan sosial dalam pengelolaan energi menuntut adanya sistem tata kelola yang bersih, transparan, dan akuntabel.

Negara, melalui Pertamina, memiliki mandat moral dan hukum untuk memastikan bahwa setiap tetes bahan bakar yang dikonsumsi masyarakat mencerminkan keadilan ekonomi dan kejujuran dalam pengelolaan.

Ketika mafia migas memanipulasi sistem untuk memperoleh keuntungan pribadi, maka mereka sejatinya sedang mencederai keadilan sosial dan mengkhianati amanah rakyat.

Oleh karena itu, pemberantasan mafia migas harus ditempatkan sebagai agenda nasional dalam membangun kemandirian energi yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Tanpa penegakan hukum yang tegas terhadap mafia migas, semua upaya reformasi tata kelola hanya akan menjadi kosmetik tanpa makna substantif.

Belajar dari negara lain seperti Norwegia, yang sukses mengelola sumber daya minyak melalui Norwegian Government Pension Fund Global, dapat menjadi cermin bagi Indonesia.

Norwegia menunjukkan bahwa integritas sistem, transparansi kebijakan, dan pengawasan publik yang kuat dapat menghindarkan industri energi dari praktik korupsi dan penyalahgunaan.

Semua penerimaan negara dari minyak dikelola secara terbuka, dengan mekanisme pelaporan publik yang dapat diakses setiap warga negara.

Prinsip ini sejalan dengan konsep good governance yang menempatkan rakyat sebagai pemilik sah sumber daya negara, bukan sekadar penerima manfaat pasif.

Dalam konteks Indonesia, penguatan Pertamina harus diarahkan pada model tata kelola yang sejalan dengan semangat tersebut yakni terbuka, profesional, dan berpihak kepada rakyat.

Lebih jauh, pemerintah sebagai pemegang kendali kebijakan energi harus menegaskan kembali posisi Pertamina bukan sebagai entitas bisnis semata, melainkan sebagai perusahaan rakyat yang mengemban fungsi sosial dan ekonomi strategis.

Pertamina tidak boleh dibiarkan berkompetisi dalam logika pasar bebas yang brutal tanpa perlindungan politik negara, karena energi adalah urat nadi kehidupan bangsa.

Negara wajib hadir untuk melindungi Pertamina dari penetrasi kepentingan mafia dan oligarki bisnis yang selama ini menunggangi kebijakan energi demi keuntungan pribadi.

Keberpihakan kepada Pertamina bukan berarti menutup kritik, melainkan menguatkan fondasi moral dan kelembagaan agar perusahaan ini dapat benar-benar menjadi instrumen kedaulatan energi nasional.

Dalam kerangka yang lebih luas, teori good governance yang dikemukakan Sachs (2021) juga menegaskan bahwa keberhasilan negara-negara Skandinavia dalam mengelola sumber daya publik terletak pada kombinasi antara transparansi, pengawasan ketat, dan partisipasi masyarakat.

Prinsip ini sejalan dengan kebutuhan Indonesia untuk menegakkan tata kelola energi yang inklusif dan berbasis keadilan sosial.

Negara tidak boleh hanya menjadi regulator yang pasif, melainkan harus aktif memastikan bahwa pengelolaan energi dilakukan secara etis, transparan, dan berpihak pada rakyat kecil.

Dalam konteks ini, pemberantasan mafia migas harus menjadi prioritas bersama antara pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat sipil.

Mafia Migas tidak boleh lagi dibiarkan hidup di ruang abu-abu antara kebijakan dan keuntungan pribadi, karena mereka adalah simbol pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945.

Membangun Kedaulatan Energi Nasional

Penguatan Pertamina dan pemberantasan mafia migas sejatinya adalah dua sisi dari satu mata uang: kedaulatan energi nasional.

Tanpa tata kelola yang bersih, Pertamina akan terus menjadi korban infiltrasi kepentingan ekonomi-politik yang menggerogoti kemampuan negara untuk berdiri di atas kaki sendiri dalam sektor energi.

Reformasi tata kelola Pertamina harus diarahkan pada pembenahan struktural yang mencakup integritas manajemen, efisiensi operasional, serta pengawasan publik yang kuat.

Pemerintah harus memberikan dukungan penuh kepada Pertamina untuk membenahi diri, sekaligus memastikan bahwa praktik mafia migas dibongkar hingga ke akar-akarnya melalui penegakan hukum yang tegas, transparan, dan tanpa kompromi.

Pertamina perlu memperluas inovasi dengan memanfaatkan teknologi digital dalam seluruh aspek bisnisnya, mulai dari produksi, distribusi, hingga pelayanan publik.

Transparansi berbasis data akan menjadi benteng utama melawan praktik manipulatif di sektor distribusi.

Sistem pelaporan digital yang terintegrasi antara kilang, terminal, dan SPBU akan menutup ruang bagi pelaku kejahatan energi yang selama ini memanfaatkan celah informasi.

Selain itu, peningkatan kapasitas sumber daya manusia di lingkungan Pertamina harus menjadi prioritas agar tercipta budaya korporasi yang berintegritas dan profesional.

Pada akhirnya, penguatan Pertamina dan pemberantasan mafia migas bukan hanya soal manajemen perusahaan, melainkan juga soal keberpihakan negara terhadap rakyatnya.

Energi adalah hak dasar setiap warga negara, bukan komoditas yang dapat dimonopoli oleh kelompok tertentu.

Maka, memperjuangkan tata kelola energi yang bersih berarti memperjuangkan kedaulatan bangsa itu sendiri.

Pertamina harus berdiri kokoh sebagai simbol kemandirian dan keadilan sosial dalam sektor energi.

Hanya dengan cara itulah cita-cita Pancasila, khususnya sila kelima tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dapat benar-benar terwujud dalam praktik pengelolaan sumber daya alam nasional.

Penulis adalah Mahasiswa Magister Hukum SDA UI

Sumber: kompas.com

Refleksi Sumpah Pemuda: Patriotisme Masa Lalu dan Amanah Pemuda Masa Kini

By On Senin, Oktober 27, 2025



Oleh: H. Fahmi Hakim, S.E.

​Saudara-saudara sebangsa dan setanah air, khususnya para pemuda dan pemudi kebanggaan Banten.

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. 

Salam Sejahtera bagi kita semua. 

Om Swastiastu, Namo Buddhaya, Salam Kebajikan.

​Setiap tanggal 28 Oktober, kita diingatkan pada sebuah momentum agung, sebuah janji suci yang telah membentuk takdir bangsa ini: Sumpah Pemuda tahun 1928.

Ia bukan sekadar catatan sejarah, melainkan proklamasi moral yang diteriakkan oleh para pemuda visioner.

​Di tengah fragmentasi kolonial, mereka dengan gagah berani meruntuhkan sekat-sekat kedaerahan.

Mereka tinggalkan ego suku, bahasa, dan agama, lalu bersatu dalam satu tekad membaja: Satu Tanah Air Indonesia, Satu Bangsa Indonesia, dan Menjunjung Tinggi Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia.

Inilah Patriotisme Sejati yang telah memberi kita fondasi kedaulatan dan kemerdekaan.

​Sumpah Pemuda adalah tugu api yang mengobarkan semangat untuk berjuang, untuk meyakini bahwa di balik segala perbedaan, kita adalah satu kesatuan, satu takdir, satu Indonesia.

​Estafet Patriotisme: Tugas Suci Pemuda Masa Kini

​Hari ini, warisan Sumpah Pemuda berada di tangan Anda, para generasi penerus.

Kita tidak lagi berperang melawan penjajah fisik, namun kita menghadapi tantangan baru yang menuntut kecerdasan, integritas, dan keberanian yang sama.

​Pertama, Pemuda sebagai Penjaga Kedaulatan Intelektual.

​Kita hidup di era persaingan global yang brutal. Kedaulatan bangsa kini diukur dari kemampuan kita menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.

Saya menyerukan kepada seluruh pemuda Banten: Jadilah Patriot Inovasi! Gunakan kecerdasan Anda untuk menciptakan solusi, bukan masalah. Ubah teknologi menjadi alat produksi, bukan hanya konsumsi. Rebutlah kedaulatan ekonomi dan teknologi bangsa!

​Kedua, Pemuda sebagai Benteng Pertahanan Kebangsaan.

​Ancaman perpecahan kini menyelinap halus melalui narasi kebencian dan hoaks di media sosial.

Sumpah Pemuda yang menyerukan Satu Bangsa adalah panggilan bagi kita untuk merawat toleransi.

Di Banten, kita menjunjung tinggi nilai-nilai agama yang moderat dan kearifan lokal.

Pemuda harus tampil sebagai Duta Persatuan, menolak segala bentuk ekstremisme dan polarisasi yang dapat merusak tenun kebangsaan kita.

​Ketiga, Pemuda sebagai Motor Penggerak Pembangunan Daerah.

​Khusus bagi Banten, kita adalah provinsi yang kaya potensi, strategis, dan penuh sejarah.

Tunjukkan cinta pada tanah leluhur dengan kontribusi nyata.

Jangan hanya menunggu kebijakan; ciptakanlah gerakan! Libatkan diri Anda secara aktif dalam merumuskan masa depan Banten.

Kritisi kami di DPRD dengan cerdas, berikan solusi yang konstruktif.

​Kami, para pemangku kebijakan, adalah jembatan yang siap menyalurkan energi dan gagasan brilian Anda menjadi program pembangunan yang berdaulat, adil, dan merata.

​Penutup: Panggilan Sejarah

​Marilah kita jadikan Hari Sumpah Pemuda ini sebagai momentum untuk meneguhkan kembali komitmen kebangsaan.

Jadilah pemuda yang tidak hanya pintar, tetapi juga berkarakter kuat, yang memiliki integritas tinggi, dan yang peduli terhadap nasib rakyat.

​Anda adalah harapan masa depan. Anda adalah pewaris sah semangat 1928.

​Jaga persatuan, ciptakan inovasi, dan ukirlah prestasi yang membanggakan bagi Banten dan bagi Ibu Pertiwi.

​Terima kasih.

Penulis adalah Ketua DPRD Provinsi Banten


Ketidakadilan dan Kekecewaan Kolektif Rakyat Vs Tuduhan Pion Asing

By On Minggu, Agustus 31, 2025

Iring-iringan pengemudi Ojek Online (Ojol) mengantarkan jenazah Affan Kurniawan ke TPU Karet Bivak di Jakarta, 28 Agustus 2025. 

Oleh: Jannus TH Siahaan

TRAGEDI 28 Agustus 2025 di Jakarta, menjadi pengingat yang sangat jelas untuk kita semua, terutama untuk pemerintah dan aparat keamanan, bahwa kehidupan mayoritas masyarakat Indonesia sedang tak baik-baik saja.

Demonstrasi buruh, yang diklaim tak ada kaitannya dengan tragedi Affan Kurniawan, adalah aspirasi formal para pekerja yang memang sudah jelas-jelas memiliki pekerjaan.

Sementara tragedi Affan Kurniawan terjadi di panggung kedua, di mana aspirasi pada panggung pertama (demonstrasi buruh) dianggap tak mewakili kepentingan para pekerja di sektor informal (ojek online) di satu sisi dan kepentingan masa depan generasi muda (mahasiswa dan anak sekolahan) yang kian tidak pasti di sisi lain.

Jadi, pergerakan agresif dan frontal yang sudah dimulai pada 25 Agustus lalu, lebih banyak mewakili kepentingan masyarakat yang memang benar-benar kecewa dengan institusi DPR dan aparat keamanan pada khususnya dan negara pada umumnya.

Kekecewaan tersebut tidak hanya lahir dari ketidakadilan sosial ekonomi secara faktual, tapi juga lahir dari persepsi ketidakadilan subjektif di kelompok masyarakat tertentu, yakni anak muda (mahasiswa dan siswa sekolah menengah bawah dan atas) dan pekerja informal (dalam konteks ini adalah komunitas pengemudi ojek online).

Sosiolog Jacquelien van Stekelenburg dan Psikolog Bert Klandermans; dua profesor berasal dari Vrije Universiteit Amsterdam Belanda, dalam kajiannya yang dituangkan di dalam buku “A Social Psychology of Protest: Individuals in Action" (2024), memasukkan faktor persepsi ketidakadilan ini ke dalam salah satu sebab utama yang memicu terjadinya protes sosial, selain faktor kapasitas mobilisasi kelompok dan faktor identitas sosial kelompok.

Ketiga faktor ini secara psikologis berjalin kelindan membentuk “collective grievances” atau kekecewaan kolektif dan bertransformasi menjadi gerakan protes massal.

Dalam konteks panggung kedua pada 28 Agustus 2025, ketiga faktor tersebut terpenuhi.

Faktor pertama, persepsi ketidakadilan sudah lama terbentuk di sebagian besar masyarakat Indonesia, baik karena beberapa kebijakan yang dianggap tidak proporsional dan adil maupun karena sikap para anggota DPR yang “private affluence oritented”, meminjam istilah dari John Kenneth Galbraith yang sempat saya bahas di tulisan terdahulu.

Kemudian persepsi ketidakadilan tersebut berbaur dengan rasa tidak suka kepada institusi kepolisian yang sudah terpendam sejak beberapa tahun ke belakang.

Mulai dari kasus Ferdy Sambo, kasus Kapolda yang ditangkap karena dituduh sebagai “bandar narkoba”, kasus polisi tembak polisi terkait perkara tambang emas ilegal di Sumatera Barat, tragedi di Stadion Kanjuruhan di Malang sampai pada masalah ketidakramahan aparat di dalam menangani berbagai demonstrasi sejak tahun 2019, dan banyak lagi lainnya.

Semua peristiwa tersebut menyatu di dalam ingatan publik, lalu menggumpal menjadi rasa tidak suka, dan berakhir dengan rasa ingin melakukan perlawanan terbuka.

Faktor kedua, identitas sosial kelompok di panggung kedua ini juga sudah lama terbentuk, yang berasal dari rasa senasib sepenanggungan secara sosial dan ekonomi.

Bekerja sebagai pengemudi ojek online, diakui atau tidak, adalah bentuk ‘keterpaksaan’ dari sebagian besar angkatan kerja kita.

Jika ada pekerjaan formal yang jelas status hukum dan jaminan ketenagakerjaannya, saya sangat yakin, kawan-kawan di komunitas ojek online akan lebih memilih bekerja di sektor formal alias tidak ingin menjadi pengemudi ojek online yang setiap hari ‘mengukur’ kilometer jalanan di bawah terik matahari, berjuang dengan polusi udara jalanan, basah kuyup kehujanan dan lain-lain.

Artinya, tuntutan serikat buruh yang disuarakan di panggung pertama, memang dianggap tidak mewakili kepentingan dan aspirasi kelompok pekerja informal, yang menginginkan diinisiasinya lapangan kerja baru seluas-luasnya di negeri ini oleh pemegang kekuasaan.

Aspirasi tentang kenaikan upah minimum di atas 8 persen, penghapusan outsourcing, pembatalan UU Cipta Kerja, dan seterusnya dan seterusnya, yang disuarakan oleh serikat buruh, sama sekali tak berarti bagi segmen pekerja informal di sektor transportasi ini, yang jumlahnya ratusan ribu di Jakarta dan jutaan di Indonesia.

Mereka tidak terhitung sebagai pekerja formal layaknya anggota serikat buruh di panggung pertama. Pun anak-anak muda dari sekolahan yang kemudian diikuti oleh organisasi-organisasi kemahasiswaan juga berada di dalam perasaan sepenanggungan yang sama, ikatan solidaritas yang sama, dan merasakan persepsi ketidakadilan yang sama pula.

Dua segmen anak muda ini dihinggapi oleh ketidakpastian masa depan sehingga akhirnya berusaha untuk menyesuaikan diri dan ikut serta di dalam kedua panggung protes yang ada, baik pada panggung serikat buruh maupun pada panggung kedua dari kelompok pekerja sektor informal.

Dan faktor ketiga, kapasitas mobilitas yang tinggi. Sebagaimana diketahui, komunitas pengemudi ojek online memiliki kemampuan mobilisasi yang tinggi.

Semua anggotanya memang diwajibkan untuk “melek” teknologi dan sensitif terhadap isu-isu yang berkembang di media sosial.

Selain itu, yang paling menentukan, adalah “seragam” atau jaket yang mereka pakai sehari-hari di satu sisi sebagai simbol pemersatu dan kepemilikan kendaraan roda dua di sisi lain, yang juga sangat krusial di dalam akselerasi pergerakan. Tak pelak, dua faktor terakhir ini sangat menentukan.

Sementara dari kelompok mahasiswa dan anak sekolah, meskipun tak diikat oleh satu seragam yang sama, sejatinya juga memiliki hal sama, karena generational solidarity.

Segmen mahasiswa rata-rata sudah memiliki kelompok sendiri dan telah terbukti sanggup berbaur di antara sesama kelompok mahasiswa selama ini di dalam berbagai aksi unjuk rasa yang sudah terjadi di Indonesia.

Anak sekolah juga sama, terbilang kurang kohesif, tapi memiliki “keberanian untuk berkonfrontasi” jauh lebih tinggi ketimbang senior-senior mereka, sehingga menjadi faktor penentu terjadi atau tidaknya konfrontasi di lapangan.

Keberanian anak STM dalam aksi tawuran sudah lama menjadi ikon segmen pelajar sekolah menengah tersebut.

Di sisi lain, kedua segmen ini juga sangat sensitif terhadap isu-isu yang ada, sangat cepat mendapatkan informasi, dan sangat cakap di dalam menyebarkan informasi ke dalam kelompok mereka sendiri melalui saluran digital.

Tak pelak, secara teoritik, aksi protes panggung kedua ini memenuhi syarat untuk terjadi dan memang berpotensi untuk berubah menjadi konfrontasi.

Dengan kata lain, di sini saya ingin menyampaikan bahwa tidak perlu mencarikan alibi bahwa aksi protes kali ini ditunggangi oleh pihak asing dan dilakukan oleh kaki tangan pihak asing di Indonesia.

Sebuah argumentasi yang berasal dari pakar intelijen yang menurut saya tak empiris dan asumsi tak berdasar.

Aksi protes yang belakangan semakin keras dan frontal, nyatanya memiliki basis ideasional, emosional, dan organisasional untuk terjadi, dengan atau tanpa ditunggangi pihak asing atau pihak luar angkasa sekalipun.

Jadi pihak-pihak tertentu yang terkait dengan kekuasaan tidak perlu mengerdilkan, apalagi melecehkan, pergerakan kawan-kawan dari komunitas ojek online dan adik-adik dari generasi muda kampus dan sekolahan, dengan menganggap mereka sebagai “pion asing”.

Apalagi sampai dikatakan ditunggangi, tapi tak sadar sedang ditunggangi. Sangat tidak etis, tidak apresiatif dan tidak sensisitif, bahkan blunder.

Jangan sampai ketidakmampuan kekuasaan dan para elite di atas sana untuk memahami “collective grievances” dari segmen pekerja informal, yang secara statistik tercatat sekitar 59 persen dari total tenaga kerja Indonesia, dan segmen anak muda yang kian linglung memikirkan masa depannya yang semakin tak pasti, mengubah seorang pejuang Almarhum Affan Kurniawan menjadi seorang Bouazizi.

Karena sejatinya secara komparatif, Affan Kurniawan, 21 tahun, sebagai korban yang tak berasal dari panggung utama, sejatinya adalah sosok yang secara kategoris mirip dengan Mohamed Bouazizi, 26 tahun, yang memicu Arab’s Spring di akhir tahun 2010-an lalu.

Affan Kurniawan bukanlah bagian dari pendemo aktif yang ikut “bertempur” dengan aparat di malam nahas itu. Semua orang mengetahui itu. Ia hanya “kebetulan” berada di lokasi di saat sedang menjalankan tugasnya sebagai anak muda yang bekerja di sektor informal, yakni sebagai pengantar makanan online dari komunitas pengemudi ojek online.

Ia sosok anak muda yang menjadi andalan pendapatan keluarganya. Namun, secara kolektif dan aspiratif, saya cukup yakin, Affan adalah bagian dari keluarga besar kelompok yang melakukan “pergerakan” di malam itu, di mana pesertanya memang banyak yang berasal dari kumpulan pengemudi ojek online.

Keberaniannya untuk melalui titik tempur di malam itu, menandakan bahwa Affan memang merasakan sedang berada di lokasi yang sama dengan teman-teman seperjuangannya di komunitas pengemudi online, meskipun Affan bukanlah peserta aktif yang melakukan perlawanan terhadap aparat.

Sementara itu, Bouazizi adalah seorang penjual buah yang telah lama menjadi tulang punggung keluarganya dan sangat frustrasi dengan kondisi kemiskinan, pengangguran, dan korupsi yang merajalela di Tunisia.

Setelah gerobak dan barang dagangannya disita, bahkan dikatakan ia sempat dilecehkan oleh polisi setempat, ia memutuskan pergi ke gedung pemerintahan terdekat untuk mengajukan pengaduan, namun tak mendapatkan tanggapan sepadan.

Sebagai bentuk protes, Bouazizi membakar dirinya sendiri di luar gedung pemerintah. Tak dinyana, tindakan Bouazizi viral di media sosial (Facebook), lalu memicu protes massal di Tunisia.

Bouazizi dianggap sebagai martir yang memicu gunung es kekecewaan publik di Tunisia meledak dan membuat pemerintahan Ben Ali yang telah bertahun-tahun memerintah di Tunisia dengan tangan besi lengser keprabon dalam waktu yang singkat.

Secara makro politik, dua figur ini tentu tidak bisa disamakan begitu saja. Indonesia jauh lebih demokratis dibanding Tunisia 15 tahun lalu.

Dan Affan berada di tengah-tengah pertunjukan demokrasi tersebut, di mana penyampaian aspirasi masih bisa didemonstrasikan sedemikian rupa, sebagai bagian dari pertunjukan kekecewaan kolektif (collective grievances) dari segmen masyarakat angkatan kerja produktif yang tidak berada di dalam pergerakan buruh beberapa jam sebelum tragedi terjadi.

Namun, Affan dan Bouazizi berada dalam konstelasi sosial ekonomi yang relatif sama yang akhirnya mengubah “collective grievances” menjadi sebuah gerakan agresif dan frontal. Logika situasinya tak jauh berbeda. Affan tak akan menjadi korban jika tak ada kendaraan Baracuda yang melindasnya.

Pun Bouazizi tak akan membakar diri, lalu menjadi martir untuk Arab’s Spring, jika barang dagangannya tak disita dan ia tak dilecehkan oleh polisi Tunisia.

Artinya, sama-sama ada faktor aparat di dalamnya, yang dianggap sebagai salah satu simbol kekuasaan negara.

Pendeknya, di sini saya tentu tidak sedang menakut-nakuti penguasa atau pemerintahan Indonesia dengan menyandingkan almarhum Affan Kurniawan dengan almarhum Bouazizi.

Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa memang ada “collective grievances” di beberapa segmen masyarakat kita, yang saya yakin juga disimpan secara halus oleh mayoritas masyarakat Indonesia di dalam hatinya, terutama kelas menengah ke bawah.

Saya cukup yakin, kekecewaan kolektif ini tak diada-adakan, apalagi diciptakan oleh aktor asing, tapi riil, nyata, dan akan terus-menerus mencari peluang untuk meledak dengan berbagai cara dan bahasa.

Oleh karena itu, tegakkan supremasi hukum setegak-tegaknya atas kasus kematian Affan Kurniawan ini, lakukan semua yang perlu dilakukan untuk menghormati kematiannya, dan sikapi “kekecewaan kolektif” yang sudah menampakkan wajah riilnya ini dengan sikap dan kebijakan yang tepat.

Dengan kata lain, permintaan maaf saja sangatlah tidak cukup. Permintaan maaf dari Presiden, Kapolri, pejabat tinggi negara lainnya, termasuk dari para anggota DPR, tak ada artinya, jika tak ada perubahan mendasar yang menyasar “collective grievances” masyarakat banyak.

Janji Prabowo untuk menyatukan aset dan kekayaan bangsa di tangan negara harus segera berbuah menjadi distribusi kesempatan kerja dan pemerataan kesejahteraan ke semua elemen masyarakat Indonesia, bukan malah memperkaya para oligar dan orang dekat kekuasaan semata.

Janji 19 juta lapangan kerja dari Wapres Gibran Rakabuming yang sampai hari ini belum jelas juntrungannya, tapi videonya terus berkeliaran di media sosial generasi muda Indonesia, harus dibuat terang benderang di tataran operasional, jangan hanya menjadi pencitraan yang justru mempermainkan harapan jutaan generasi muda kita.

Tidak akan pernah ada persatuan dan kesatuan, jika masih banyak masyarakat Indonesia yang tertinggal di belakang, sementara segelintir pihak malah berjoget-joget dan berpesta pora di depan. Sungguh sangat tidak adil.


Penulis adalah Pengamat Sosial dan Kebijakan Publik.


Sumber: Kompas.com

Hidup Ditindas, Mati Pun Dilindas

By On Sabtu, Agustus 30, 2025

Massa demonstrasi di depan Mako Brimob Kwitang, Jakarta Pusat, Jumat, 29 Agustus 2025. 

Oleh: Ari Junaedi

TRAGEDI gugurnya pahlawan keluarga berjaket dan berhelm warna “hijau” akibat tindakan brutal aparat berseragam “coklat” harusnya tidak boleh terjadi.

Affan Kurniawan, pengemudi ojek daring terjebak dalam suasana chaos di Pejompongan, Jakarta, Kamis malam (28 Agustus 2025).

Tembakan gas air mata dari polisi yang membabi buta kearah perkampungan penduduk di Kawasan Pejompongan membuat warga dan pengunjuk rasa – termasuk Affan – terjebak dalam lautan massa.

Sebagai pengemudi ojek daring, Affan pasti merasakan betapa sulitnya mendapatkan penghasilan halal di atas jalanan. Mengantar penumpang dan barang adalah tugasnya sehari-hari demi mendapatkan uang untuk makan.

Bukan Rp 3 juta per hari yang didapatkan. Bukan pula bebas penghapusan pemotongan pajak penghasilan karena setiap orderan yang masuk, ada jatah untuk aplikator.

Affan tidak mendapatkan tunjangan beras, bantuan listrik dan telepon seperti anggota Dewan yang memiliki bakat berjoget dan bersilat lidah.

Siapapun yang melihat berbagai versi video yang beredar terkait terlindasnya Affan di jalanan, sepertinya sepakat ada kesalahan prosedur penanganan aksi unjuk rasa oleh aparat.

Pengalaman saya meliput berbagai aksi unjuk rasa di berbagai belahan Tanah Air sepanjang 1997 - 2000-an, aksi brutal pengemudi kendaraan taktis (Rantis) berjenis Barracuda memang di luar akal sehat.

Prosedur standar membubarkan aksi unjuk rasa yang melewati batas waktu, biasanya menggunakan kendaraan water cannon agar konsentrasi massa terurai.

Selama aksi unjuk rasa mahasiswa dan buruh di pekan-pekan terakhir Agustus 2025 ini, aparat kepolisian begitu represif dan “ringan tangan”.

Profiling polisi yang humanis usai pemisahan Polri dari TNI ternyata tidak mengubah tabiat buruk dari kepolisian.

Polisi pun tidak bisa membedakan lagi mana jurnalis, pengunjuk rasa dan warga sipil biasa yang tidak terlibat dalam aksi demonstrasi. Semuanya dianggap setara sehingga penanganan massa menjadi bias.

Tragedi seperti di Pejompongan semalam, terus berulang dan tidak bisa menyadarkan polisi dan pemerintah bahwa pola pendekatan kekerasan hanya akan melahirkan gelombang perlawanan baru.

Gugurnya Affan menjadi “trigger” bagi aksi unjuk rasa susulan. Mereka yang semula apatis kini ikut turun ke jalan.

Di tulisan kolom saya sebelumnya, “Pesan dari Pati untuk Indonesia” (Kompas.com, 14/08/2025), saya menulis: Bisa dibayangkan di saat rakyat tengah gunda gulana karena kesulitan mencari lapangan pekerjaan di tengah semakin maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK), semakin tingginya angka kriminalitas akibat pengangguran; timpangan penghasilan yang menimbulkan kecemburuan sosial; harga sembako yang semakin menggila dengan takaran yang rawan disalahgunakan; korupsi yang semakin merajalela setelah sebelumnya ramai dengan kejadian pemblokiran tabungan oleh PPATK dan kontroversi perampasan tanah, maka kenaikan pajak menjadi klimaks dari kejengahan rakyat terhadap kepengapan saat ini.

Belum lagi perisitiwa terkini: kepongahan sikap anggota DPR-RI yang nirempati terhadap penderitaan rakyat dan kasus penangkapan Immanuel Ebenezer alias Noel karena dugaan korupsi di Kementerian Ketenagakerjaan, menjadi amunisi baru dari pengunjuk rasa.

Saya khawatir jika Presiden Prabowo Subianto dan para pembantunya tidak tepat dalam mengambil langkah antisipatif dan pengambilan keputusan, aksi demonstrasi besar di Pati akan berlanjut dan terus bermunculan di berbagai daerah lain.

Kejadian Pati, Jawa Tengah dan Bone, Sulawesi Selatan serta ditambah lagi aksi represif aparat dalam penanganan aksi mahasiswa dan buruh akhir -akhir ini, hingga meninggalnya pengemudi ojek Affan Kurniawan hampir mirip seperti awal terjadinya fenomena "Arab Spring".

Fenomena jatuhnya berbagai rezim pemerintahan yang kuat akibat Arab Spring seperti rangkaian peristiwa revolusi dan protes yang terjadi di negara-negara Arab pada awal tahun 2010-an.

Protes yang bermula dari aksi bakar diri Mohamed Bouazizi di Kamis pagi, 17 Desember 2010 di Tunisia, menjadi pemicu awal gelombang protes di seluruh wilayah Tunisia.

Bouazizi marah karena alat timbangan yang dijadikan modal kerjanya sebagai pedagang kaki lima, disita polisi. Polisi menganggap Bouazizi adalah pedagang kaki lima yang liar karena berjualan tanpa izin di pinggir jalan.

Pengaduan Bouazizi ke kantor Gubernur di Sidi Bouzid tidak digubris. Bouazizi kecewa karena aspirasinya dianggap angin lalu. Karena kadung frustasi, Bouazizi memilih membakar diri sebagai tanda protes.

Tewasnya pedagang kaki lima yang dianggap musuh negara oleh polisi memantik kerusahan di berbagai daerah di Tunisia.

Akibatnya, Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali berhasil ditumbangkan setelah berkuasa selama lebih dari dua dekade.

Dari Tunisia, gelombang protes terus menjalar ke negara-negara Arab lainnya menuntut perubahan politik dan sosial, termasuk demokrasi, hak asasi manusia, dan perbaikan ekonomi.

Beberapa pemerintahan seperti di Mesir, Libya, Yaman dan Suriah berhasil digulingkan sebagai akibat dari gelombang protes ini, sementara yang lain mengalami perubahan signifikan dalam sistem politik.

Tewasnya Affan harus jadi pelajaran Presiden Prabowo Subianto untuk mengevaluasi kepemimpinan Listyo Sigit Prabowo di Polri.

Tragedi tewasnya ratusan penonton yang memadati Stadion Kanjuruhan, Malang, adalah salah satu contoh bukti kegagalan Kapolri Listyo Sigit Prabowo.

Matinya Suara Keadilan

Kelompok pengunjuk rasa dan komunitas pengemudi ojol yang kohesif ditandai dengan anggota yang saling solider, rasa memiliki yang kuat terhadap kelompok, dan bersedia bekerja sama secara efektif.

Massa yang marah usai melihat dan mendengar kejadian Rantis Brimob melindas Affan Kurniawan, sontak berkumpul tanpa komando mengepung Markas Komando Brimob di Kwitang, Kawasan Senen, Kamis dini hari hingga Jumat ini (28-29 Agustus 2025).

Tidak ada ketakutan menghadapi aparat bersenjata yang gemar menembakkan gas air mata ke arah massa.

Realitas sosial-politik yang terjadi sekarang ini merupakan cermin nyata dari dinamika yang terjadi sekarang ini.

Bagaimana rakyat tidak marah dan jengah jika ada anggota Dewan yang begitu mudah mengeluarkan kata “tolol” untuk para peneriak pembubaran DPR-RI.

Secara teoritis dan praksis, begitu muskil membubarkan DPR. Yang diminta rakyat adalah hargai perasaan dan pahami derita rakyat. Di saat rakyat seperti Affan Kurniawan kelimpungan mencari makan sehari-hari, anggota Dewan dan para pejabat pun masih tega berjoget.

Di saat rakyat membutuhkan keteladanan, masih ada pula Wakil Menteri yang bermental preman terminal.

Di saat rakyat butuh keteladanan, justru pemerintah malah mengobral penghargaan Bintang Mahaputra untuk sosok-sosok yang tidak memberikan keteladanan.

Di era kecanggihan teknologi seperti sekarang ini, ketika kelancaran sinyal seluler di sekitar Kawasan Senayan “diganggu” yang membuat sulit sejumlah stasiun televisi swasta menyiarkan secara live aksi-aksi unjuk rasa, publik masih mendapat asupan informasi dari media sosial. Netizen beralih rupa menjadi “DPR” yang sesungguhnya: Dewan Penyampai Realitas!

Pemerintahan represif di mana pun, selalu menganggap kritik adalah pembangkangan atau tindakan yang tidak cinta terhadap negara.

Pemerintah – apalagi aparat – tidak pernah mau mengerti kalau mengkritik pemerintah, termasuk kelakuan para anggota DPR yang memuakkan, adalah bentuk tertinggi dari rasa cinta dan kepedulian terhadap negara dengan semua instrumennya.

Andaikan negara adalah rumah kita bersama, apakah penghuni rumah tidak boleh menyampaikan keluh kesah adanya dinding rumah yang retak?

Apakah salah jika penghuni rumah mengingatkan adanya atap rumah yang bocor atau lantai rumah yang bocel?

Kita tidak mau rumah kita bersama runtuh dan hancur dimakan rayap korupsi yang menggerogoti seluruh kusen dan atap rumah.

Kita tidak ingin pengelola rumah kita bersama salah membelanjakan uang demi hal yang sia-sia.

Kepada Affan Kurniawan dan keluarga yang ditinggalkan, kami semua berhutang budi.

Dari Affan kita belajar arti kerasnya hidup di jalanan.

Dari Affan kami mengambil hikmah, keadilan harus terus disuarakan walau dilindas kepongahan aparat.


Penulis adalah Akademisi dan Konsultan Komunikasi.


Sumber: Kompas.com

Teduhnya "Beringin" Masih Dibutuhkan Istana

By On Kamis, Agustus 28, 2025

Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia

Oleh: Ari Junaedi

“Golkar itu jangkarnya stabilitas nasional, keberadaannya menjaga stabilitas politik nasional. Perannya begitu strategis.” - KH Maruf Amin.

PERNYATAAN Wakil Presiden Indonesia periode 2019 - 2024 tersebut bukan sekadar “ABS” atau Asal Beringin Senang.

Mengulas kontribusi Golkar di setiap periode presidensial pasca-Reformasi, Golkar selalu masuk dalam kabinet – entah mendukung atau tidak calon presiden yang menang di pemilihan presiden.

Partai berlogo pohon beringin itu sangat kampiun membaca arah perpolitikan nasional. Sebagian kalangan menganggap, Golkar tidak jelas DNA politiknya karena selalu “membebek” pada kekuasaan.

Golkar tidak terbiasa menjadi kekuatan opoisisi. Sepertinya Golkar tercipta untuk ikut menjadi penumpang, bahkan nakhoda dari perahu yang bernama kekuasaan. Itulah “cerdiknya” Golkar.

Dalam beberapa bulan terakhir, isu Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar terus “berhembus” kencang, dengan kabar bahwa rencana tersebut mendapat restu dari Istana.

Selain sebagai Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia juga menjabat Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM). Isu Munaslub digulirkan di tengah desakan sejumlah pihak agar Ketua Umum Partai Golkar diganti. Bahlil harus diganti karena dinilai terlalu dekat dengan mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Sebelum komposisi Kabinet Merah Putih dibentuk presiden terpilih Prabowo, konon nama Bahlil adalah salah satu dari beberapa nama yang “diendors” Jokowi agar dimasukan Prabowo ke dalam kabinetnya.

Ruang tembak pihak-pihak yang menginginkan Bahlil ditumbangkan dari kursi Ketum Golkar semakin menemukan momentum ketika terjadi kisruh kelangkaan tabung gas LPG ukuran 3 kilogram di masyarakat.

Padahal, awal mula kekisruhan tadi didasari dari niat baik Bahlil agar konsumen gas melon ukuran 3 kilogram atau kebanyakan rakyat kecil bisa mendapatkan harga wajar.

Hanya karena minimnya waktu sosialisasi, kebijakan yang awalnya menimbulkan gaduh menjadi “amunisi” serangan untuk menggoyang Bahlil.

Namun, begitu kebijakan tersebut bisa menurunkan harga gas melon, serangan ke arah Bahlil mulai mencari titik lemah Bahlil yang lain.

Kontroversi raihan gelar doktor kajian strategik dan global untuk Bahlil dari Universitas Indonesia (UI) yang super cepat, yakni 1 tahun 8 bulan, semakin menambah “energi” pihak-pihak yang menghendaki kursi Ketum Golkar segera diganti.

Sanksi yang diberikan UI terhadap Bahli seperti penangguhan gelar doktor, revisi penulisan disertasi dan permintaan maaf telah dilakukan Bahlil.

Terpaan angin serangan berikutnya muncul dari potensi kerusakan lingkungan di Raja Ampat, Papua Barat Daya, akibat pertambangan nikel.

Walau pemberian izin usaha pertambangan nikel dilakukan jauh sebelum Bahli menjadi menteri ESDM, tidak urung Bahlil kena “getahnya”.

Tindakan Presiden Prabowo terhadap penutupan empat perusahaan pertambangan nikel tentu juga berkat rekomendasi yang diberikan Kementerian yang dipimpin Bahlil.

Dan yang jelas, empat perusahaan yang dicabut izinnya pasti terkait dengan “panggede-panggede” di masa lalu.

Satu perusahaan yang lolos dari pencabutan izin usaha diawasi ketat pengoperasiannya, walau lokasinya jauh dari kawasan geopark.

Isu Munaslub Semakin Padam

Satu per satu isu yang dipakai untuk menggoyang Bahlil dari tampuk pimpinan Ketua Umum Partai Golkar sepertinya tidak mempan menembus “jantung” pertahanan pria kelahiran Banda, 7 Agustus 1976 itu. Bahlil terlalu kuat untuk coba ditumbangkan rupanya.

Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi menyebut Istana membantah terlibat isu Munaslub Golkar.

Tidak pada tempatnya mengaitkan segala isu termasuk persoalan Golkar terkait dengan Istana. Pemerintahan hanya fokus pada program-program yang dicanangkan Presiden Prabowo (Cnnindonesia.com, 05 Agustus 2025).

Masuk akal jika Prabowo memang dilepaskan dari pusaran isu penggantian Ketum Partai Golkar jika melihat “hitung-hitungan” politik di parlemen.

Prabowo sadar, kekuatan partainya di parlemen hanya terwakili oleh 86 kursi, sementara Golkar menjadi runner up Pemilu Legeslatif 2024 sebesar 102 kursi sendiri.

Jika memperhitungkan kekuatan politik di luar pemerintahan, yakni PDIP yang meraup 110 kursi dan Nasdem yang punya 69 kursi, maka masuk akal jika Prabowo menghendaki Golkar tetap stabil agar bisa kokoh menopang pemerintahannya.

Prabowo pasti paham dengan gejolak musiman yang terjadi di Golkar, mengingat dirinya mendirikan Gerindra akibat karut marut yang terjadi pohon beringin.

Menjadi bola liar yang semakin panas andaikan persoalan internal Golkar ikut memecah soliditas di pemerintahannya yang baru berjalan 10 bulan.

Prabowo perlu “back up” politik dan dukungan dari Golkar mengingat rawannya program-program unggulan kampanye di mata publik.

Kontroversi pembiayaan Program Makan Bergizi Gratis; pendirian Koperasi Merah Putih; dampak efisensi anggaran; kenaikan berbagai sektor pajak; pencanangan Sekolah Rakyat, modernisasi alustista TNI serta penambahan personel TNI dan Kodam butuh dukungan politik Golkar di parlemen dan penguatan kelembagaan.

Penganugerahan tanda kehormatan Republik Indonesia kepada 122 tokoh – di antaranya Bahlil Lahadia - oleh Presiden Prabowo di Istana Negara, Jakarta (25 Agustus 2025), seakan menjadi penegas kalau Prabowo “tidak ada masalah “ dan “tidak bermalah” dengan Bahlil.

Bahlil mendapat bintang Mahaputera Adipurna bersama sejumlah tokoh di antaranya mendiang Baharuddin Lopa dan mendiang Letjen TNI (Purn) Dading Kalbuadi.

Pekerjaan Rumah untuk Golkar

Saat ini kepemimpinan Bahlil di Golkar tepat berumur satu tahun. Kepemimpinan Bahlil akan berakhir hingga 2029, saat pesta demokrasi kembali dihelat.

Terlepas dari berbagai upaya pihak internal atau eksternal yang menginginkan Bahlil turun dari kursi ketua umum – yang untuk sampai saat ini menemui kegagalan - tidak ada salahnya Golkar kembali menguatkan jati dirinya sebagai partai modern.

Golkar harus bisa lepas dari “bayang-bayang” masa lalu. Era kepemimpinan Bahlil adalah representasi anak muda yang berhasil memimpin partai politik.

Hanya ada Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang saat ini digawangi oleh anak-anak muda, sementara partai-partai lain masih dipimpin politisi senior.

Berbeda dengan Demokrat dan PSI, Bahlil Lahadalia bisa memimpin Golkar bukan karena anak keturunan tokoh partai atau tokoh nasional.

Bayangkan mantan kondektur dan sopir angkot di Seram Timur dan Fakfak itu pernah didapuk menjadi Menteri Investasi setelah sebelumnya menjadi Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal di era Jokowi.

Kekhwatiran publik terhadap tokoh-tokoh Beringin yang bermasalah dengan hukum kembali ke jajaran teras Partai Golkar seperti Setya Novanto, harus bisa dibuktikan Bahlil dalam struktur kepengurusan Golkar.

Memori publik terhadap kasus-kasus rasuah yang melibatkan Setya Novanto masih membekas dan sangat memengaruhi image publik terhadap citra Golkar.

Di saat sensivitas ketiadakdilan dan ketimpangan sosial yang semakin menganga di masyarakat akibat semakin susahnya kehidupan sekarang ini, Golkar di bawah kendali Bahli harus memastikan sikap dan tindakan wakil-wakilnya di parlemen agar tidak jumawa dan tetap semenjana.

Keberatan publik terhadap tingginya pendapatan anggota DPR-RI ditambah pengalihan dana perumahan sebesar Rp 50 juta perbulannya, harus disikapi anggota parlemen dari Golkar untuk unjuk kinerja.

Memastikan representasi anggota Dewan dari Golkar di parlemen begitu bermanfaat bagi rakyat yang diwakililinya.

Kasus kematian Raya, bocah asal Sukabumi akibat timbunan cacing di tubuhnya tidak boleh terjadi di daerah pemilihan yang diwakili anggota DPR dari Golkar atau yang kepala daerahnya berasal dari Partai Golkar.

Anggota Dewan dan para kepala daerah asal Golkar harus mengantisipasi terjadinya aksi unjuk rasa massa yang menuntut pembatalan kenaikan PBB seperti halnya di Pati.

Mitigasi masalah di daerah pemilihan seperti sulitnya mencari pekerjaan, aturan pajak yang menyulitkan UMKM, kelangkaaan beras yang mulai terjadi di daerah, persoalan sampah dan lingkungan, aturan royalti musik yang menimbulkan dilema, rencana kenaikan iuran BPJS, rentannya tata kelola dan penyaluran makan bergizi gratis serta imbas efisiensi anggaran dari pusat adalah contoh problem besar yang dihadapi negeri ini.

Publik masih membutuhkan pembuktian “kerja-kerja” Golkar di bawah kepemimpinan Bahlil. Usia setahun memimpin Golkar adalah langkah awal untuk membuktikan itu.


Penulis adalah Akademisi dan konsultan komunikasi


Sumber: Kompas.com

Tiada Tawa Tanpa Noel

By On Senin, Agustus 25, 2025

Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer saat dihadirkan sebagai tersangka usai terjaring OTT KPK pada konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat, 22 Agustus 2025. 

Oleh: Ari Junaedi

“Humor adalah senjata orang-orang yang tidak bersenjata. Humor membantu orang-orang tertindas untuk tersenyum pada situasi mereka terluka”. - Simon Wiesenthal.

BAGI penyintas kekejaman holocaust Nazi, Simon merasakan betul kekuatan dari humor. Setelah lulus dari Universitas Teknik Praha di 1932, hidupnya bahagia usai menikahi Cyla Muller.

Namun, kebahagian singkat yang dirasakan Simon segera sirna setelah ditangkap tentara Nazi yang merebut Kota Lwow di Polandia.

Nasib Simon seperti “dipermainkan” keadaan, dirinya lolos dari eksekusi di kamp konsentrasi Mauthasen, tapi orangtua beserta 89 orang kerabatnya tewas meregang nyawa.

Sedih berlarut-larut bagi Simon harus berganti menjadi “humor” yang menyembuhkan. Berkat caranya, Simon berhasil membangun jaringan intelijen internasional untuk memburu penjahat-penjahat Nazi yang masih buron.

Ratusan orang yang diduga penjahat perang berhasil ditangkap, di antaranya Adolf Eichmann – arsitek genosida Hitler untuk memusnahkan orang Yahudi.

Berkat Simon pula, Karl Jose Silberbauer yang bertanggung jawab atas penangkapan remaja putri Belanda, Anne Frank berhasil dicokok.

Kisah Anne Frank yang “ngumpet” di belakang rak buku rumah di Amsterdam selama pendudukan Nazi menjadi buku harian legendaris yang mengungkap deritanya sebagai buronan Nazi.

Mungkin Simon Wiesenthal lekat dengan humor, bahkan pernah terlanjur mengungkapkan kisah bualannya.

Simon pernah menyatakan kalau tentara Nazi membuat sup dari mayat orang Yahudi di kamp konsentrasi. Bertahun-tahun kemudian pengakuan ini dibantahnya.

Dalam sepuluh bulan terakhir ini pun, kita telah “dihibur” dengan aksi-aksi mirip Dedi Mizwar dalam film komedi “Jenderal Nagabonar”.

Lengkap dengan baju kebesarannya bertabur empat bintang di pundaknya. Dirinya selalu mengenalkan dengan lantang: “Saya Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer!”

Lagak dan gayanya membuat ciut nyali pengusaha yang menahan ijazah para karyawannya.

Kerap gayanya menggebrak meja, duduk “ngglosor“ di lantai, bahkan secara berulang-ulang menyebut dirinya mendukung hukuman mati untuk koruptor bajingan.

Di berbagai panggung media, entah di studio televisi atau di program siniar, komentarnya begitu galak dan menciutkan nyali koruptor.

Tekadnya begitu keras, tidak lembek dan garang terhadap penyelewengan yang dilakukan orang-orang di lingkar kekuasaan presiden.

Namun, lagak dan lagunya Immanuel Ebenezer Gerungan alias Noel sontak berubah drastis usai Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menggelar pengumuman statusnya bersama para pemalak biaya sertifikasi K-3 di Kementerian yang dipimpinnya.

Noel menangis dan ciut nyalinya saat ditampilkan di depan para pewarta yang memadati kantor KPK, Jumat (22 Agustus 2025).

Noel tidak lagi mengenakan seragam kebesarannya berbintang empat. Noel merajuk saat mengenakan rompi orange KPK dengan tangan terborgol.

Tidak ada lagi geratakan garang atau perkenalan nama dan jabatannya di awal pertemuan. Noel malah meminta amnesti kepada Presiden Prabowo.

Kali ini, Noel pasti melawak. Sidang kasusnya pun belum digelar dan vonis hakim pun belum inkrah.

Menertawakan Noel, Wujud Keletihan Publik

Maraknya fenomena humor satir yang membungkus persoalan politik dan sosial sekarang ini seperti menunjukkan dua sisi sikap publik: antara kedewasaan sekaligus keletihan.

Bayangkan, di saat masyarakat di Sumenep, Madura, masih dicekam wabah campak dan pemerintah provinsinya tidak berdaya, kita masih harus menelan kegeraman dengan ulah pejabat-pejabat 'tengik’ di Kementerian Ketenagakerjaan yang memalak calon tenaga kerja yang butuh sertifikasi K-3.

Di saat ada balita dari keluarga miskin bernama Raya asal Sukabumi yang meninggal karena ada kiloan cacing bersemayam di tubuhnya, masih ada anggota Dewan yang terhormat menyebut tunjangan Rp 50 juta per bulan untuk tempat tinggal adalah kewajaran.

Kemiskinan ada di mana-mana, sementara ada ketimpangan pendapatan dan pemerintah begitu abai.

Di saat guru dan dosen masih menggugat rendahnya pendapatan dan tunjangan, menteri keuangan malah melontarkan wacana pembiayaan dari partisipasi mayarakat.

Saya pun yakin dengan Anda, para pembaca, kalau Sri Mulyani kali ini tidak sedang membuat humor.

Di saat semua peluang pajak dijajaki pemerintah dan ketika efisiensi anggaran berimbas ke semua lini kehidupan, maka dipastikan beban rakyat akan semakin berat.

Sekali lagi, kita semua tidak yakin kalau Sri Mulyani paham dengan urusan dapur di rumah-rumah di pinggir Kali Code di Yogyakarta atau di Kampung Keling di Medan, Sumatera Utara.

Jangan salahkan publik yang menyikapinya dengan rasa humor ketika ada pejabat terjerat kasus korupsi.

Kekecewaan sekaligus melihat kemunafikan para pejabat kita, dialihkan publik dengan humor.

Publik secara sadar menyikapi setiap kejadian politik di negeri ini, dengan "menyalurkannya" dalam humor-humor satir.

Melalui humor, publik juga memperlihatkan ketidakberdayaannya atau rasa letihnya. Rasa tidak ada harapan melihat karut-marut program kerja yang dijalankan pemerintah. Mereka menuangkannya dalam humor satir, bahkan cenderung sarkastis.

Bagaimana Program Makan Bergizi Gratis yang semula dianggap membantu kehidupan rakyat miskin karena anak-anaknya sudah ditanggung makan siang gratis, kini menimbulkan tanya.

Orang tua mulai sadar, di saat ada program makan gratis untuk anak-anaknya, tetapi lapangan kerja mulai susah didapat dan pemerintah malah mengurangi program bantuan sosial.

Banyak orang yang mem-posting dan me-reposting untuk mengungkapkan humor politik di berbagai linimasa. 

Usai Noel dicokok KPK, bertaburan “humor” tentang Ketua Umum Relawan Jokowi Mania itu seperti; “Di dalam hartamu yang sedikit, ada hak para pejabat”; “Imanuel artinya Tuhan Beserta Kita. Ebenezer artinya Tuhan Menolong Kita. Tapi KPK tidak melindunginya”.

Patut disadari, humor itu merupakan kebutuhan bagi setiap orang. Orang bisa menolak perbedaan agama, budaya, bahasa atau apapun, tetapi tidak ada yang bisa menolak humor.

Segala sesuatu yang disampaikan dengan humor, meskipun menyakitkan, publik bisa menerimanya. Ada yang bisa membuat publik tersenyum senang, tetapi ada juga yang memang pahit dan tetap bisa ditelan karena humor. Humor adalah kekuatan yang tajam untuk mengkritisi apapun tanpa membuat orang menjadi marah.

Penelitian di Towson University Maryland tahun 2011, menyimpulkan bahwa humor satir dan komedi politik merupakan faktor penting dalam demokrasi.

Bahkan bisa digunakan sebagai salah satu cara untuk mengetahui kebenaran pernyataan atau kebijakan pemerintah selain menambah kepercayaan masyarakat dan pemerintah.

Tentu saja akhirnya adalah meningkatkan partisipasi politik masyarakat. Jadi publik seharusnya menanggapinya dengan humor ketika Noel “petantang-petenteng” dengan seragam berbintang 4. Toh baru 4, belum 5.

Sekali lagi, humor bisa berfungsi sebagai terapi untuk mengatasi ketidakwarasan dengan cara yang positif secara mental dan fisik.

Bahkan melalui terapi tertawa yang menyehatkan bisa mengurangi stres dan melepaskan hormon endorfin.

Dengan tertawa, tubuh bisa melepaskan energi negatif dan menghasilkan energi positif, sehingga meningkatkan kualitas hidup seseorang.

Kisah Teman Tidur Anggota Dewan

Ketika besaran gaji, tunjangan serta penggantian biaya perumahan bagi anggota DPR-RI mencuat ke publik, masyarakat menanggapinya dengan humor satir.

Meme anggota Dewan yang terhormat menunjukkan pesona Rp 3 juta sehari, maka rakyat miskin pun juga menampilkan pesona "Rp 100.000 siang malam, kadang dapat kadang tidak", sontak tersebar.

Bahkan ada kisah mengenai anggota DPR yang mendapat pesan chat dari seorang perempuan. Perempuan ini minta segera ditransfer Rp 10 juta ke rekeningnya.

Si anggota Dewan bertanya buat apa harus transfer segera? Balas perempuan tersebut, dia ingin kasus tidur barengnya bersama anggota Dewan tidak tersebar ke publik, apalagi bocor ke media online.

Tanpa banyak pertimbangan, si anggota Dewan tersebut segera mengirim uang sejumlah yang diminta perempuan tersebut.

Dirinya khawatir perempuan yang pernah tidur bareng tersebut membocorkan rahasianya. Apalagi anggota Dewan tersebut sampai lupa berapa banyak perempuan yang pernah diajaknya “bobo” bareng selama reses dan studi banding bersama mitra kerja.

Toh, dengan gajinya yang Rp 100 juta lebih per bulannya masih berlebih. Apalah arti uang Rp 10 juta.

Dasar perempuan lihai, dia mengirim kembali pesan chat agar anggota Dewan tersebut segera mentransfer lagi sebanyak Rp 25 juta.

Kali ini, anggota Dewan mulai berpikir siapa sebetulnya sosok perempuan itu. Anggota Dewan pun mengancam tidak akan mengirim uang yang diminta sebelum perempuan tersebut menyebutkan nama, mengirim foto dan menyebut lokasi tempat tidur bareng. Hanya saja, perempuan tersebut lebih gigih memintanya.

Karena penasaran, akhirnya anggota Dewan itu mengirim Rp 25 juta ke rekening yang dipilih perempuan itu.

Perempuan itupun akhirnya membocorkan jati dirinya usai menerima transfer ke dua sebesar Rp 25 juta, kalau dirinya adalah sama-sama yang “bobo” bareng di gedung parlemen saat Presiden Prabowo menyampaikan pidato kenegaraan kemarin.

Pidato kenegaraan Presiden Prabowo di sidang tahunan MPR tanggal 15 Agustus 2025 kemarin, berlangsung selama 1 jam 15 menit. Ada 6.000 kata yang disampaikan Prabowo atau rata-rata 80 kata setiap menit yang diucapkan Prabowo.

Sekali lagi, cerita perempuan yang tidur bareng dengan anggota Dewan di atas adalah cerita fiktif dan inilah humor politik.

“Selain kekuasaan tanpa kehormatan, sesuatu yang paling berbahaya di dunia adalah kekuasaan tanpa humor”. - Eric Sevareid (1912 - 1992), jurnalis senior di Amerika Serikat.


Penulis adalah Akademisi dan Konsultan Komunikasi


Sumber: Kompas.com

Noel, dari Ojol ke Wamenaker, lalu Jatuh di Tikungan Kekuasaan

By On Minggu, Agustus 24, 2025

Mantan Wamenaker Noel

Oleh: M. Ikhsan Tualeka

KABAR penangkapan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer atau Noel oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terasa pahit. Bagi publik, mungkin ini sekadar cerita pejabat yang lagi-lagi terseret kasus hukum.

Namun bagi saya, kabar itu punya makna berbeda: ironi hidup dari seorang yang pernah saya kenal —meski tak begitu dekat, sekaligus potret getir perjalanan seorang aktivis yang menembus kekuasaan, tapi tersandung di jalan berliku.

Saya mengenal Noel ketika sama-sama terlibat atau menginisiasi Muda-Mudi Ahok, inisiatif anak mendorong Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) maju lewat jalur independen dalam perhelatan Pilkada DKI Jakarta 2017.

Gerakan itu akhirnya bubar karena Ahok lebih memilih maju lewat jalur koalisi partai politik. Namun dari situ saya melihat Noel tampil dengan semangat berapi-api, berani ikut melawan arus politik mapan. Ia vokal, bahkan kadang kontroversial. Namun, di balik itu saya melihat idealisme yang kuat.

Saya juga tahu, seperti juga aktivis lainnya di Ibu Kota, jalan hidup Noel tak pernah mudah. Jakarta adalah kota yang keras. Ia pernah jatuh, merasakan getirnya hidup sampai harus menjadi pengemudi ojek online untuk sekadar bertahan.

Itu adalah fase hidup yang mestinya menumbuhkan empati lebih dalam, sekaligus mengingatkan betapa beratnya perjuangan menapaki jalan menuju posisi terhormat di negeri ini, menjadi pejabat negara.

Ketika Noel akhirnya masuk atau mendapat tempat di lingkaran kekuasaan, menjabat Wakil Menteri Ketenagakerjaan, saya bayangkan itu sebagai buah perjalanan dan perjuangan panjang penuh liku. Dari seorang aktivis jalanan, yang sempat hidup pas-pasan, hingga akhirnya masuk kabinet.

Namun, justru di situlah jebakan sesungguhnya. Jabatan membawa fasilitas, protokoler, dan kuasa yang kadang membuat orang lupa daratan.

Kini Noel ditangkap KPK. Apakah benar ia melakukan pemerasan, ataukah ada operasi politik di balik OTT ini, akan kita lihat bersama.

Prinsip praduga tak bersalah harus tetap dikedepankan. Apapun hasilnya nanti, kasus ini memberi pelajaran penting—bukan hanya untuk Noel, tetapi untuk seluruh aktivis yang kini berada di lingkaran kekuasaan, maupun yang bakal masuk kekuasaan.

Aktivis yang Lupa Akar

Banyak kita saksikan, aktivis yang setelah mendapat jabatan justru berubah. Mereka lupa akar perjuangan, lupa hari-hari sederhana yang dulu mereka jalani. Padahal, identitas aktivis bukan bisa dicopot atau dipakai sesuka hati.

Menjadi aktivis itu sesungguhnya adalah panggilan moral, yang seharusnya tetap hidup dan melekat, meski sudah duduk di kursi empuk kekuasaan.

Menjadi pejabat seharusnya tidak membuat seorang berlatar aktivis kehilangan orientasi.

Justru pengalaman di jalanan, bersama rakyat kecil, mestinya menjadi kompas moral untuk memandu diri dalam menjalankan jabatan.

Namun, justru yang seringkali terjadi adalah sebaliknya: jabatan malah menjauhkan mereka dari rakyat, membuat mereka larut dalam fasilitas, lupa darimana mereka berasal. Seakan mereka balas dendam atas kesulitan hidup di masa lalu.

Noel mungkin hanya salah satu contoh. Kasusnya harus menjadi alarm keras bagi aktivis-aktivis lain. Jangan sampai mereka terseret pola yang sama: idealisme tinggi ketika di luar, tapi rapuh begitu berada di dalam.

KPK dan Bayangan Operasi Politik

Di sisi lain, publik juga berhak mengkritisi KPK. Lembaga antirasuah ini lahir dengan harapan besar sebagai benteng melawan korupsi. Namun, kini kerap dipersepsikan lemah, tidak lagi sekuat dulu. Karena itu, setiap langkah dan upaya KPK harus benar-benar transparan dan akuntabel.

OTT terhadap Noel harus dipastikan berjalan dalam koridor dan skema penegakan hukum yang jelas, sehingga tak dipersepsikan sebagai alat politik. Sesuatu yang beralasan, apalagi bila melihat ada pejabat sekelas menteri yang sudah bolak-balik diperiksa aparat penegak hukum malah mandek kasusnya.

Kasus Firli Bahuri mantan Ketua KPK yang sudah jadi tersangka pun hilang ditelan bumi. Itu artinya, bila KPK hanya dianggap instrumen kekuasaan atau kompatriot oligarki untuk menyingkirkan lawan atau mengendalikan sekutu, kepercayaan publik akan semakin runtuh.

Noel mungkin salah langkah, khilaf karena terlena, atau barangkali ia adalah korban. Namun, apapun kebenarannya nanti, kisah ini adalah pengingat pahit bahwa politik Indonesia masih penuh jebakan.

Bahwa garis antara idealisme dan pragmatisme sangat tipis. Bahwa siapapun, bahkan seorang aktivis yang pernah hidup sederhana dan berjuang keras, bisa jatuh bila kehilangan pegangan moral.

Saya tidak menulis ini untuk membela Noel. Saya ingin menekankan bahwa kasus ini adalah refleksi kolektif. Bagi publik, agar tidak cepat melupakan bahwa para pejabat kita adalah manusia dengan segala keterbatasannya.

Bagi aktivis, agar tetap sadar dari mana mereka berasal, dan tidak membiarkan kekuasaan menggerus idealisme. Dan bagi KPK, dan aparat penegak hukum lainnya agar bekerja dengan penuh integritas, sehingga tidak dipersepsikan sebagai tangan kekuasaan dan oligarki.

Noel mungkin akan dikenang dengan kontroversinya, dengan keberaniannya, juga dengan kejatuhannya. Namun, setidaknya kisahnya memberi kita pelajaran: bahwa perjuangan (aktivis) tidak berhenti di jalanan, dan ujian sesungguhnya justru datang ketika seseorang sudah diberi atau berada di dalam lingkaran kekuasaan.


Penulis adalah Pegiat Perubahan Sosial


Sumber: Kompas.com

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *