![]() |
Iring-iringan pengemudi Ojek Online (Ojol) mengantarkan jenazah Affan Kurniawan ke TPU Karet Bivak di Jakarta, 28 Agustus 2025. |
Oleh: Jannus TH Siahaan
TRAGEDI 28 Agustus 2025 di Jakarta, menjadi pengingat yang sangat jelas untuk kita semua, terutama untuk pemerintah dan aparat keamanan, bahwa kehidupan mayoritas masyarakat Indonesia sedang tak baik-baik saja.
Demonstrasi buruh, yang diklaim tak ada kaitannya dengan tragedi Affan Kurniawan, adalah aspirasi formal para pekerja yang memang sudah jelas-jelas memiliki pekerjaan.
Sementara tragedi Affan Kurniawan terjadi di panggung kedua, di mana aspirasi pada panggung pertama (demonstrasi buruh) dianggap tak mewakili kepentingan para pekerja di sektor informal (ojek online) di satu sisi dan kepentingan masa depan generasi muda (mahasiswa dan anak sekolahan) yang kian tidak pasti di sisi lain.
Jadi, pergerakan agresif dan frontal yang sudah dimulai pada 25 Agustus lalu, lebih banyak mewakili kepentingan masyarakat yang memang benar-benar kecewa dengan institusi DPR dan aparat keamanan pada khususnya dan negara pada umumnya.
Kekecewaan tersebut tidak hanya lahir dari ketidakadilan sosial ekonomi secara faktual, tapi juga lahir dari persepsi ketidakadilan subjektif di kelompok masyarakat tertentu, yakni anak muda (mahasiswa dan siswa sekolah menengah bawah dan atas) dan pekerja informal (dalam konteks ini adalah komunitas pengemudi ojek online).
Sosiolog Jacquelien van Stekelenburg dan Psikolog Bert Klandermans; dua profesor berasal dari Vrije Universiteit Amsterdam Belanda, dalam kajiannya yang dituangkan di dalam buku “A Social Psychology of Protest: Individuals in Action" (2024), memasukkan faktor persepsi ketidakadilan ini ke dalam salah satu sebab utama yang memicu terjadinya protes sosial, selain faktor kapasitas mobilisasi kelompok dan faktor identitas sosial kelompok.
Ketiga faktor ini secara psikologis berjalin kelindan membentuk “collective grievances” atau kekecewaan kolektif dan bertransformasi menjadi gerakan protes massal.
Dalam konteks panggung kedua pada 28 Agustus 2025, ketiga faktor tersebut terpenuhi.
Faktor pertama, persepsi ketidakadilan sudah lama terbentuk di sebagian besar masyarakat Indonesia, baik karena beberapa kebijakan yang dianggap tidak proporsional dan adil maupun karena sikap para anggota DPR yang “private affluence oritented”, meminjam istilah dari John Kenneth Galbraith yang sempat saya bahas di tulisan terdahulu.
Kemudian persepsi ketidakadilan tersebut berbaur dengan rasa tidak suka kepada institusi kepolisian yang sudah terpendam sejak beberapa tahun ke belakang.
Mulai dari kasus Ferdy Sambo, kasus Kapolda yang ditangkap karena dituduh sebagai “bandar narkoba”, kasus polisi tembak polisi terkait perkara tambang emas ilegal di Sumatera Barat, tragedi di Stadion Kanjuruhan di Malang sampai pada masalah ketidakramahan aparat di dalam menangani berbagai demonstrasi sejak tahun 2019, dan banyak lagi lainnya.
Semua peristiwa tersebut menyatu di dalam ingatan publik, lalu menggumpal menjadi rasa tidak suka, dan berakhir dengan rasa ingin melakukan perlawanan terbuka.
Faktor kedua, identitas sosial kelompok di panggung kedua ini juga sudah lama terbentuk, yang berasal dari rasa senasib sepenanggungan secara sosial dan ekonomi.
Bekerja sebagai pengemudi ojek online, diakui atau tidak, adalah bentuk ‘keterpaksaan’ dari sebagian besar angkatan kerja kita.
Jika ada pekerjaan formal yang jelas status hukum dan jaminan ketenagakerjaannya, saya sangat yakin, kawan-kawan di komunitas ojek online akan lebih memilih bekerja di sektor formal alias tidak ingin menjadi pengemudi ojek online yang setiap hari ‘mengukur’ kilometer jalanan di bawah terik matahari, berjuang dengan polusi udara jalanan, basah kuyup kehujanan dan lain-lain.
Artinya, tuntutan serikat buruh yang disuarakan di panggung pertama, memang dianggap tidak mewakili kepentingan dan aspirasi kelompok pekerja informal, yang menginginkan diinisiasinya lapangan kerja baru seluas-luasnya di negeri ini oleh pemegang kekuasaan.
Aspirasi tentang kenaikan upah minimum di atas 8 persen, penghapusan outsourcing, pembatalan UU Cipta Kerja, dan seterusnya dan seterusnya, yang disuarakan oleh serikat buruh, sama sekali tak berarti bagi segmen pekerja informal di sektor transportasi ini, yang jumlahnya ratusan ribu di Jakarta dan jutaan di Indonesia.
Mereka tidak terhitung sebagai pekerja formal layaknya anggota serikat buruh di panggung pertama. Pun anak-anak muda dari sekolahan yang kemudian diikuti oleh organisasi-organisasi kemahasiswaan juga berada di dalam perasaan sepenanggungan yang sama, ikatan solidaritas yang sama, dan merasakan persepsi ketidakadilan yang sama pula.
Dua segmen anak muda ini dihinggapi oleh ketidakpastian masa depan sehingga akhirnya berusaha untuk menyesuaikan diri dan ikut serta di dalam kedua panggung protes yang ada, baik pada panggung serikat buruh maupun pada panggung kedua dari kelompok pekerja sektor informal.
Dan faktor ketiga, kapasitas mobilitas yang tinggi. Sebagaimana diketahui, komunitas pengemudi ojek online memiliki kemampuan mobilisasi yang tinggi.
Semua anggotanya memang diwajibkan untuk “melek” teknologi dan sensitif terhadap isu-isu yang berkembang di media sosial.
Selain itu, yang paling menentukan, adalah “seragam” atau jaket yang mereka pakai sehari-hari di satu sisi sebagai simbol pemersatu dan kepemilikan kendaraan roda dua di sisi lain, yang juga sangat krusial di dalam akselerasi pergerakan. Tak pelak, dua faktor terakhir ini sangat menentukan.
Sementara dari kelompok mahasiswa dan anak sekolah, meskipun tak diikat oleh satu seragam yang sama, sejatinya juga memiliki hal sama, karena generational solidarity.
Segmen mahasiswa rata-rata sudah memiliki kelompok sendiri dan telah terbukti sanggup berbaur di antara sesama kelompok mahasiswa selama ini di dalam berbagai aksi unjuk rasa yang sudah terjadi di Indonesia.
Anak sekolah juga sama, terbilang kurang kohesif, tapi memiliki “keberanian untuk berkonfrontasi” jauh lebih tinggi ketimbang senior-senior mereka, sehingga menjadi faktor penentu terjadi atau tidaknya konfrontasi di lapangan.
Keberanian anak STM dalam aksi tawuran sudah lama menjadi ikon segmen pelajar sekolah menengah tersebut.
Di sisi lain, kedua segmen ini juga sangat sensitif terhadap isu-isu yang ada, sangat cepat mendapatkan informasi, dan sangat cakap di dalam menyebarkan informasi ke dalam kelompok mereka sendiri melalui saluran digital.
Tak pelak, secara teoritik, aksi protes panggung kedua ini memenuhi syarat untuk terjadi dan memang berpotensi untuk berubah menjadi konfrontasi.
Dengan kata lain, di sini saya ingin menyampaikan bahwa tidak perlu mencarikan alibi bahwa aksi protes kali ini ditunggangi oleh pihak asing dan dilakukan oleh kaki tangan pihak asing di Indonesia.
Sebuah argumentasi yang berasal dari pakar intelijen yang menurut saya tak empiris dan asumsi tak berdasar.
Aksi protes yang belakangan semakin keras dan frontal, nyatanya memiliki basis ideasional, emosional, dan organisasional untuk terjadi, dengan atau tanpa ditunggangi pihak asing atau pihak luar angkasa sekalipun.
Jadi pihak-pihak tertentu yang terkait dengan kekuasaan tidak perlu mengerdilkan, apalagi melecehkan, pergerakan kawan-kawan dari komunitas ojek online dan adik-adik dari generasi muda kampus dan sekolahan, dengan menganggap mereka sebagai “pion asing”.
Apalagi sampai dikatakan ditunggangi, tapi tak sadar sedang ditunggangi. Sangat tidak etis, tidak apresiatif dan tidak sensisitif, bahkan blunder.
Jangan sampai ketidakmampuan kekuasaan dan para elite di atas sana untuk memahami “collective grievances” dari segmen pekerja informal, yang secara statistik tercatat sekitar 59 persen dari total tenaga kerja Indonesia, dan segmen anak muda yang kian linglung memikirkan masa depannya yang semakin tak pasti, mengubah seorang pejuang Almarhum Affan Kurniawan menjadi seorang Bouazizi.
Karena sejatinya secara komparatif, Affan Kurniawan, 21 tahun, sebagai korban yang tak berasal dari panggung utama, sejatinya adalah sosok yang secara kategoris mirip dengan Mohamed Bouazizi, 26 tahun, yang memicu Arab’s Spring di akhir tahun 2010-an lalu.
Affan Kurniawan bukanlah bagian dari pendemo aktif yang ikut “bertempur” dengan aparat di malam nahas itu. Semua orang mengetahui itu. Ia hanya “kebetulan” berada di lokasi di saat sedang menjalankan tugasnya sebagai anak muda yang bekerja di sektor informal, yakni sebagai pengantar makanan online dari komunitas pengemudi ojek online.
Ia sosok anak muda yang menjadi andalan pendapatan keluarganya. Namun, secara kolektif dan aspiratif, saya cukup yakin, Affan adalah bagian dari keluarga besar kelompok yang melakukan “pergerakan” di malam itu, di mana pesertanya memang banyak yang berasal dari kumpulan pengemudi ojek online.
Keberaniannya untuk melalui titik tempur di malam itu, menandakan bahwa Affan memang merasakan sedang berada di lokasi yang sama dengan teman-teman seperjuangannya di komunitas pengemudi online, meskipun Affan bukanlah peserta aktif yang melakukan perlawanan terhadap aparat.
Sementara itu, Bouazizi adalah seorang penjual buah yang telah lama menjadi tulang punggung keluarganya dan sangat frustrasi dengan kondisi kemiskinan, pengangguran, dan korupsi yang merajalela di Tunisia.
Setelah gerobak dan barang dagangannya disita, bahkan dikatakan ia sempat dilecehkan oleh polisi setempat, ia memutuskan pergi ke gedung pemerintahan terdekat untuk mengajukan pengaduan, namun tak mendapatkan tanggapan sepadan.
Sebagai bentuk protes, Bouazizi membakar dirinya sendiri di luar gedung pemerintah. Tak dinyana, tindakan Bouazizi viral di media sosial (Facebook), lalu memicu protes massal di Tunisia.
Bouazizi dianggap sebagai martir yang memicu gunung es kekecewaan publik di Tunisia meledak dan membuat pemerintahan Ben Ali yang telah bertahun-tahun memerintah di Tunisia dengan tangan besi lengser keprabon dalam waktu yang singkat.
Secara makro politik, dua figur ini tentu tidak bisa disamakan begitu saja. Indonesia jauh lebih demokratis dibanding Tunisia 15 tahun lalu.
Dan Affan berada di tengah-tengah pertunjukan demokrasi tersebut, di mana penyampaian aspirasi masih bisa didemonstrasikan sedemikian rupa, sebagai bagian dari pertunjukan kekecewaan kolektif (collective grievances) dari segmen masyarakat angkatan kerja produktif yang tidak berada di dalam pergerakan buruh beberapa jam sebelum tragedi terjadi.
Namun, Affan dan Bouazizi berada dalam konstelasi sosial ekonomi yang relatif sama yang akhirnya mengubah “collective grievances” menjadi sebuah gerakan agresif dan frontal. Logika situasinya tak jauh berbeda. Affan tak akan menjadi korban jika tak ada kendaraan Baracuda yang melindasnya.
Pun Bouazizi tak akan membakar diri, lalu menjadi martir untuk Arab’s Spring, jika barang dagangannya tak disita dan ia tak dilecehkan oleh polisi Tunisia.
Artinya, sama-sama ada faktor aparat di dalamnya, yang dianggap sebagai salah satu simbol kekuasaan negara.
Pendeknya, di sini saya tentu tidak sedang menakut-nakuti penguasa atau pemerintahan Indonesia dengan menyandingkan almarhum Affan Kurniawan dengan almarhum Bouazizi.
Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa memang ada “collective grievances” di beberapa segmen masyarakat kita, yang saya yakin juga disimpan secara halus oleh mayoritas masyarakat Indonesia di dalam hatinya, terutama kelas menengah ke bawah.
Saya cukup yakin, kekecewaan kolektif ini tak diada-adakan, apalagi diciptakan oleh aktor asing, tapi riil, nyata, dan akan terus-menerus mencari peluang untuk meledak dengan berbagai cara dan bahasa.
Oleh karena itu, tegakkan supremasi hukum setegak-tegaknya atas kasus kematian Affan Kurniawan ini, lakukan semua yang perlu dilakukan untuk menghormati kematiannya, dan sikapi “kekecewaan kolektif” yang sudah menampakkan wajah riilnya ini dengan sikap dan kebijakan yang tepat.
Dengan kata lain, permintaan maaf saja sangatlah tidak cukup. Permintaan maaf dari Presiden, Kapolri, pejabat tinggi negara lainnya, termasuk dari para anggota DPR, tak ada artinya, jika tak ada perubahan mendasar yang menyasar “collective grievances” masyarakat banyak.
Janji Prabowo untuk menyatukan aset dan kekayaan bangsa di tangan negara harus segera berbuah menjadi distribusi kesempatan kerja dan pemerataan kesejahteraan ke semua elemen masyarakat Indonesia, bukan malah memperkaya para oligar dan orang dekat kekuasaan semata.
Janji 19 juta lapangan kerja dari Wapres Gibran Rakabuming yang sampai hari ini belum jelas juntrungannya, tapi videonya terus berkeliaran di media sosial generasi muda Indonesia, harus dibuat terang benderang di tataran operasional, jangan hanya menjadi pencitraan yang justru mempermainkan harapan jutaan generasi muda kita.
Tidak akan pernah ada persatuan dan kesatuan, jika masih banyak masyarakat Indonesia yang tertinggal di belakang, sementara segelintir pihak malah berjoget-joget dan berpesta pora di depan. Sungguh sangat tidak adil.
Penulis adalah Pengamat Sosial dan Kebijakan Publik.
Sumber: Kompas.com
« Prev Post
Next Post »