![]() |
Foto ilustrasi. |
Oleh: Nicholas Martua Siagian
JUDI online telah menjadi bentuk kejahatan tersembunyi yang memanfaatkan ‘kepanikan’ ekonomi masyarakat.
Di satu sisi, praktik ini menjanjikan ilusi keuntungan instan; di sisi lain adalah bentuk ‘hidden criminality’ yang kian sistemik dan merusak fondasi moral serta struktur sosial masyarakat.
Ironisnya, masyarakat kini tidak lagi hanya sebagai korban, tetapi juga bertransformasi menjadi pelaku aktif dalam ekosistem perjudian daring.
Jika kita menelaah lebih dalam, data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan realitas mengejutkan.
Judi online bukan hanya persoalan orang dewasa. Anak-anak di bawah umur ikut terpapar dan bahkan menjadi bagian dari rantai aktivitas ilegal ini.
Anak di bawah 10 tahun tercatat mencapai 2 persen dari total pemain judi online (sekitar 80.000 anak). Usia 10–20 tahun mencapai 11 persen (440.000 orang), usia 21–30 tahun sebanyak 13 persen (520.000 orang).
Sementara kelompok usia 30–50 tahun mendominasi dengan 40 persen (1,64 juta orang), disusul usia di atas 50 tahun sebanyak 34 persen (1,35 juta orang).
Artinya, kelompok usia produktif—yang seharusnya menjadi motor pembangunan nasional—justru larut dalam praktik yang merusak arah kemajuan bangsa.
Pragmatisme Judi Online
Fakta ini menunjukkan bahwa dampak judi online tidak lagi terbatas pada aspek ekonomi semata, melainkan merambah hingga ke ranah etika, pendidikan, dan masa depan generasi muda.
Masifnya penyebaran nilai-nilai instan dan pragmatis dari praktik judi online telah mengikis cara berpikir rasional dan menjauhkan masyarakat dari etos kerja keras yang selama ini dijunjung tinggi.
Yang lebih mengkhawatirkan, promosi judi online kini berlangsung secara terbuka di berbagai platform media sosial. Para bandar dan jaringan perantara judi memanfaatkan teknologi dan algoritma digital dengan sangat canggih—sebuah bentuk ‘inovasi kriminal’ yang tidak diimbangi dengan respons penegakan hukum yang memadai dari negara.
Ironisnya, laporan-laporan resmi, termasuk dari PPATK, menunjukkan bahwa sejumlah aparat penegak hukum, bahkan dari institusi TNI dan Polri, justru terlibat sebagai pelaku dalam ekosistem perjudian online.
Fakta ini mempertegas lemahnya integritas kelembagaan dan mencerminkan rapuhnya sistem penegakan hukum kita.
Lebih jauh lagi, modus promosi yang digunakan oleh jaringan judi online kian brutal—mulai dari penggunaan konten pornografi hingga eksploitasi anak di bawah umur—sebagai strategi sadar untuk menarik perhatian publik dan memperluas pasar, tanpa memperhitungkan dampak sosial yang ditimbulkan.
Dengan kata lain, judi online bukan lagi sekadar ancaman kriminal, melainkan menjadi fenomena yang mencerminkan krisis multidimensi—ekonomi, sosial, moral, dan institusional—yang menuntut intervensi negara secara serius, sistemik, dan terintegrasi.
Dalam konteks ini, platform media sosial yang semestinya berfungsi sebagai ruang ekspresi dan edukasi, justru menjelma menjadi ladang subur embrio kriminalitas.
Masyarakat pun didorong pada titik ekstrem: daripada memikirkan upaya produktif, mereka memilih jalan pintas ekonomi yang justru memperparah ketimpangan dan menjerumuskan lebih dalam ke dalam kemiskinan. Persoalan menjadi semakin kompleks ketika kita tarik ke isu kemiskinan struktural.
Data PPATK (2023) mengungkapkan bahwa sekitar 2,19 juta pelaku judi online berasal dari kelompok berpenghasilan rendah. Jumlah itu mencapai 79 persen dari total pemain judi online di Indonesia.
Artinya, mayoritas pelaku adalah warga miskin yang berjudi dengan nominal kecil, berharap bisa mengubah nasib secara instan.
Hal ini menunjukkan bagaimana kemiskinan bukan hanya soal keterbatasan pendapatan, tetapi lebih dalam: hasil dari ketimpangan sistemik yang meminggirkan akses terhadap pendidikan, pelayanan publik, lapangan kerja layak, dan literasi keuangan.
Masyarakat yang berada dalam jeratan kemiskinan struktural kerap kehilangan harapan terhadap sistem yang ada. Mereka merasa ditinggalkan oleh negara, dan pada akhirnya mencoba mencari ‘jalan keluar’ sendiri—meski ilegal dan penuh risiko.
Judi online menjadi manifestasi dari keputusasaan tersebut, simbol dari sistem sosial yang gagal memberikan harapan dan jaminan kesejahteraan yang adil.
Rangkap Status
Fakta yang lebih mengiris logika kebijakan adalah temuan PPATK terkait tumpang tindih data penerima Bantuan Sosial (Bansos) dan pelaku judi online.
Dari total 28,4 juta NIK penerima bansos dan 9,7 juta data pemain judi online, terdapat 571.410 NIK yang tumpang tindih. Lebih dari 7,5 juta transaksi dilakukan oleh kelompok ini, dengan total deposit hampir Rp 1 triliun.
Artinya, dana yang semestinya menjadi bantalan sosial justru diputar kembali ke dalam ekosistem ilegal. Ini bukan lagi sekadar isu tepat sasaran, tetapi menyangkut penggunaan yang tepat guna.
Tak hanya bansos, potensi penyalahgunaan Bantuan Subsidi Upah (BSU) juga sangat besar. Mengingat lebih dari 8,3 juta orang telah menerima BSU, dan mayoritas berasal dari kelompok usia produktif—kelompok yang menurut data juga mendominasi aktivitas judi online—maka ada potensi besar dana subsidi ini ikut tergerus ke dalam praktik perjudian.
Ketika bansos dan subsidi upah yang berasal dari APBN justru menjadi bahan bakar industri ilegal, maka kegagalan kebijakan menjadi nyata dan pahit. Dalam konteks ini, langkah PPATK untuk memblokir rekening pelaku judi online yang juga merupakan penerima bansos adalah tindakan progresif yang patut diapresiasi.
Negara harus tegas menyelamatkan APBN yang merupakan hasil keringat kolektif masyarakat – yang seharusnya dikembalikan kepada masyarakat lewat pelayanan publik yang adil, berpihak dan tepat sasaran.
Namun, PPATK tidak bisa bergerak sendiri, apalagi dengan kondisi kewenangan dan kelembagaan yang begitu terbatas. Diperlukan keterlibatan aktif institusi penegakan hukum seperti Polri, KPK, dan Kejaksaan Agung untuk membongkar jaringan perjudian daring dari hulu hingga hilir, termasuk membongkar peran oknum pejabat yang menjadi ‘fasilitator’ atau bahkan pelindung praktik ini.
Oleh sebab itu, penyelesaian persoalan ini tidak bisa hanya dilakukan secara sektoral. Judi online telah berkembang menjadi ancaman multidimensional—bukan sekadar kejahatan finansial, melainkan penyakit sosial yang menggerogoti nilai-nilai moral, memperdalam jurang ketimpangan, dan merusak tatanan kehidupan yang adil. Perlu adanya gerakan kolektif dan terpadu.
Pemerintah harus melakukan upaya penguatan literasi digital dan keuangan, serta menghadirkan program pendidikan sosial yang menjangkau lapisan masyarakat rentan.
Bantuan sosial harus ditopang dengan reformasi layanan publik yang lebih adil dan partisipatif. Sementara aparat penegak hukum harus menindak tegas seluruh rantai bisnis perjudian daring, termasuk jejaring ekonomi kriminal di belakangnya.
Pada akhirnya, problematika penyaluran bantuan sosial (bansos) tidak berhenti pada soal apakah bantuan tersebut sampai kepada orang yang tepat sasaran. Melihat kenyataan hari ini, perlu melihat apakah bansos itu digunakan secara tepat guna.
Dalam konteks yang terjadi, ketika praktik judi online telah merasuki berbagai lapisan masyarakat, maka stimulus ekonomi masyarakat tidak akan benar-benar tercapai. Situasi semacam ini bukan hanya mencerminkan inefisiensi kebijakan publik, tetapi juga menunjukkan kebocoran fiskal yang berdampak sistemik.
Uang negara yang dialokasikan untuk memperkuat daya beli masyarakat, justru berpotensi memperkuat sirkuit kejahatan digital. Ini bukan sekadar menyebabkan pelayanan publik menjadi stagnan atau pembangunan terhambat, tetapi juga menambah beban negara melalui meningkatnya angka kemiskinan, merusak moralitas sosial, dan menciptakan lingkaran ketergantungan yang kontraproduktif terhadap agenda pengentasan kemiskinan.
Oleh karena itu, membenahi persoalan ini tidak bisa dilakukan secara parsial. Diperlukan sinergi antarkementerian dan lembaga, sistem verifikasi dan pemantauan yang berbasis data, serta penegakan hukum yang tegas dan bebas dari kompromi.
Tanpa itu semua, kebijakan bansos yang sejatinya berorientasi pada keadilan sosial akan terus rentan disalahgunakan dan menjauh dari tujuan utamanya: memperkuat ketahanan sosial dan menjaga ekonomi masyarakat ‘akar rumput.’
Penulis adalah seorang sivitas akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia
Sumber: kompas.com
You are reading the newest post
Next Post »