Berita Terbaru

Diberdayakan oleh Blogger.

Berhukum tapi Tak Bernurani

Foto Ilustrasi. 

Oleh: Firdaus Arifin 

HUKUM sering kali tampak seperti menara gading. Ia menjulang tinggi dalam pasal-pasal, tetapi terlalu jauh dari bumi tempat rakyat berpijak.

Di dalam gedung-gedung pengadilan yang menjulang, hukum dibacakan dengan suara mantap, palu diketuk, dan putusan dijatuhkan.

Namun, tak sedikit dari kita yang bertanya lirih: di mana letak nurani dalam putusan itu?

Nurani, kata yang kini kerap dianggap barang mewah dalam praktik hukum. Padahal, hukum sejatinya adalah anak kandung dari moralitas publik.

Hukum bukan hanya sistem logika, bukan pula sekadar kalkulasi prosedural. Ia adalah produk dari pergulatan nilai, rasa keadilan, dan cita-cita kemanusiaan.

Namun hari ini, ketika kita menyaksikan putusan yang sah secara hukum tetapi melukai rasa keadilan masyarakat, kita berhak bertanya: untuk siapa hukum ditegakkan?

Hukum sebagai Kekuasaan yang Membisu

Satjipto Rahardjo mengajarkan kepada kita bahwa hukum harus dipahami sebagai alat untuk mencapai tujuan kemanusiaan, bukan sekadar teks atau doktrin.

Namun dalam praktiknya, hukum telah lama digiring ke ruang sempit: menjadi teknis, prosedural, dan steril dari nilai-nilai.

Ketika seorang perempuan korban kekerasan seksual justru dijatuhi hukuman karena dianggap mencemarkan nama baik pelaku, kita tidak sedang menyaksikan hukum, melainkan kekuasaan yang menyaru sebagai hukum.

Ketika seorang anak miskin mencuri sandal jepit dan divonis, tetapi korporasi perusak lingkungan hanya dikenakan denda yang bisa dibayar dengan sekali rapat direksi, kita sedang menyaksikan ketimpangan yang dilembagakan.

Hukum yang dibangun tanpa nurani adalah hukum yang mengabaikan realitas. Ia menjadi kekuasaan yang membeku, bukan pembebas. Ia menjadi pedang yang hanya tajam ke bawah.

Nurani bukan sekadar empati; ia adalah panduan moral terdalam yang membimbing manusia membedakan yang benar dan yang keliru.

Dalam filsafat hukum, nurani tak berdiri sendiri. Ia melekat dalam konsep keadilan substantif—yang tak selalu identik dengan apa yang tertulis dalam undang-undang.

Gustav Radbruch, filsuf hukum Jerman, pernah mengingatkan kita melalui formulanya yang terkenal, bahwa dalam kondisi ekstrem, keadilan harus mengalahkan hukum positif.

Ia berkata, “Hukum yang sangat tidak adil bukanlah hukum.” Maka, ketika aparat penegak hukum bersikukuh menjalankan hukum positif yang jelas-jelas bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, mereka bukan sedang menegakkan hukum—melainkan sedang menegakkan ketidakadilan yang dilegalkan.

Nurani-lah yang menjadi jembatan antara teks hukum dan realitas sosial. Tanpa nurani, hukum menjadi benda mati. Ia bisa dibaca, tetapi tak bisa dirasakan.

Lihatlah pemberitaan hukum kita. Setiap hari kita disuguhi ironi. Ada koruptor yang dipotong hukumannya karena “berkelakuan baik” selama di penjara.

Ada pelaku kekerasan seksual yang lolos karena “kurangnya alat bukti”, padahal korban sudah berulang kali bersuara.

Ada mafia tambang dan perusak hutan yang mendapat karpet merah kebijakan, sementara warga adat yang menjaga alam ditangkap dan dibungkam.

Dalam semua itu, hukum seolah sah dan berprosedur. Namun publik tahu: hukum telah kehilangan wajahnya. Ia menjadi institusi yang menakutkan bagi yang lemah, dan tempat bersembunyi bagi yang kuat.

Ini bukan hanya soal teknis atau pasal. Ini adalah soal jiwa hukum. The soul of the law, yang seharusnya hidup dalam hati nurani penegaknya.

Hukum yang benar tidak hanya logis, tapi juga etis. Ia tidak hanya sah, tapi juga adil.

Dari Positivisme Menuju Hukum Progresif

Satjipto Rahardjo, dalam seluruh pemikirannya, menolak tunduk pada positivisme hukum yang kaku. Ia mendorong kita menuju hukum progresif, yaitu hukum yang tak ragu menerobos teks demi membela manusia.

Bagi beliau, hukum harus selalu berada di pihak yang tertindas. Dalam kerangka hukum progresif, hakim tidak hanya penerjemah teks, tapi juga penafsir nilai. Jaksa tidak hanya pembaca dakwaan, tapi penjaga nurani publik. Polisi tidak hanya pelaksana prosedur, tapi pengayom rasa keadilan.

Tentu, ini bukan tugas yang ringan. Ia menuntut keberanian. Menuntut kecerdasan moral. Menuntut integritas. Namun inilah panggilan etis kita: menjadikan hukum sebagai rumah bagi keadilan, bukan gudang pasal-pasal kosong.

Salah satu akar dari kemandegan nurani dalam hukum kita adalah cara kita mendidik para sarjana hukum. Di fakultas-fakultas hukum, mahasiswa dijejali pasal, doktrin, dan yurisprudensi, tetapi minim ruang untuk merenung dan berdialog tentang nilai.

Etika hukum diajarkan sebagai mata kuliah formalitas, bukan sebagai panggilan moral. Filsafat hukum diposisikan sebagai teori abstrak, bukan sebagai kompas praktik. Tak heran jika ketika mereka lulus, banyak yang menjelma menjadi “teknisi hukum” yang lihai merangkai pasal tapi miskin empati.

Sudah saatnya kita membongkar cara berpikir ini. Kita perlu mereformasi pendidikan hukum agar lebih membumi, humanistik, dan reflektif. Agar kelak, mereka yang menegakkan hukum bukan hanya menguasai teks, tapi juga mampu mendengar bisikan nurani.

Hukum diciptakan bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk manusia. Maka, ukuran keberhasilan hukum bukan pada berapa banyak pasal yang ditegakkan, tetapi seberapa jauh ia menghadirkan keadilan.

Dalam masyarakat yang plural, adil itu memang tidak mudah. Tapi bukan berarti kita boleh berhenti mengejarnya. Hukum adalah proses menuju cita-cita bersama. Maka, setiap praktik hukum yang mengabaikan rasa keadilan publik, sebenarnya sedang menjauh dari tujuan utamanya.

Kita tidak butuh lebih banyak hukum, kita butuh lebih banyak nurani dalam berhukum. Kita tidak sedang kekurangan aturan, kita kekurangan keberanian moral untuk menafsirkan hukum demi manusia.

Hukum tanpa nurani adalah kekosongan. Ia mungkin berjalan, tetapi tak menyentuh hati. Ia mungkin memutus perkara, tapi tak menyembuhkan luka. Ia mungkin memenangkan negara, tapi kehilangan warganya.

Mari kita kembalikan hukum ke pangkuan nurani. Sebab, hanya dengan itu hukum menjadi hidup, dan keadilan menjadi mungkin.


Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat

Previous
« Prev Post
Show comments

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *