![]() |
Barang bukti kasus kematian diplomat Kemlu, ADP. |
Oleh: Reza Indragiri Amriel
PADA penanganan misteri wafatnya ADP, Diplomat Kementerian Luar Negeri, kerja Polda Metro Jaya (PMJ) secara sederhana dapat dipilah ke dalam dua bagian. Pertama, pengungkapan sebab-musabab dan situasi meninggalnya ADP. Kedua, kerja kehumasan, yakni penyampaian hasil kerja investigasi PMJ tersebut kepada publik.
Tulisan ini sebatas menyoroti sisi komunikasi publik oleh PMJ itu. Pada beberapa kesempatan, saya memang memberikan masukan kepada PMJ dan Kompolnas agar nantinya menggunakan dan mengakhiri pernyataan konferensi persnya dengan frasa "almarhum meninggal bukan akibat perbuatan pidana" apabila memang begitu situasinya.
Atas dasar itu, penyampaian PMJ pada konferensi pers tempo hari, saya pandang sudah sangat memadai. Hingga banyak segi ada sentuhan humanis, berupa empati terhadap keluarga ADP, yang coba PMJ ulurkan.
Terkait manner of death ADP, karena bukan pidana, maka ada tiga kemungkinan. Yakni, kematian alami (natural), kematian akibat bunuh diri (suicide), dan kecelakaan (accident). Namun simpulan definitifnya, juga saya sarankan, cukup disampaikan ke keluarga ADP saja.
Pada sisi lain, ada satu catatan sebagai input untuk penyempurnaan kerja PMJ: Karena ADP meninggal bukan akibat pidana, maka peristiwa yang ia lalui itu seketika menjadi isu privat.
Sayangnya PMJ tetap memajang 'bukti-bukti'--tepatnya barang pribadi--ADP ke hadapan pers. Akibatnya, sekarang kini berkembang kasak-kusuk ihwal sisi kehidupan pribadi ADP. Padahal, dengan menyimpulkan bahwa wafatnya ADP bukan sebagai akibat perbuatan pidana, PMJ berada pada posisi ideal untuk mewanti-wanti khalayak agar mulai sekarang lebih membatasi diri saat memperbincangkan kehidupan ADP.
Saat menangani isu privat, akan lebih baik jika PMJ memiliki sensitivitas ekstra sebelum mengekspos properti pribadi seseorang ke muka publik, betapa pun itu berhubungan dengan peristiwa yang terlanjur viral dan kadung divonis sebagai kejadian pidana oleh masyarakat.
Jadi, ringkasnya, penyampaian lisan oleh PMJ saat konferensi pers kasus Arya sudah baik, tapi display objeknya terbilang melewati garis kepatutan. Setali tiga uang dengan profil psikologis ADP.
Karena ia tidak meninggal dalam situasi pidana, maka ia serta-merta terdudukkan sebagai individu dengan privasi yang harus terlindungi sepenuhnya dan tidak semestinya menjadi konsumsi masyarakat.
Hasil otopsi psikologis atas diri ADP, yang memuat gambaran kepribadian apalagi sisi-sisi kehidupannya yang bisa dimaknai kelam, sepatutnya hanya boleh diberikan kepada keluarga dekat ADP.
Jadi, tersedia alasan untuk mempertanyakan justifikasi dan urgensi PMJ yang telah menarik-narik ahli psikologi forensik ke dalam situasi yang mengharuskannya mengumbar eksplisit profil psikologis ADP.
Padahal, profil psikologis dari almarhum yang sama sekali tidak berada dalam konteks pidana itu seharusnya selalu strictly confidential. Hanya ketika otoritas penegakan hukum--dalam hal ini kepolisian--taat pada azas kerahasiaan itulah martabat serta kehormatan almarhum (berikut keluarganya) akan bisa terjaga.
PMJ menyatakan, penyelidikan atas meninggalnya ADP belum ditutup. Hasil kerja polisi sejauh ini bersifat sementara. Demikian penegasan Komisioner Kompolnas, Choirul Anam.
Implikasinya, seberapa luas cakupan "sementara" itu? Apakah profil psikologis ADP (yang disampaikan secara terbuka pada 29 Juli 2025) juga bersifat sementara dan bisa sewaktu-waktu berubah?
Jika ya, bagaimana PMJ mempertanggungjawabkan profil psikologis ADP yang sudah diekspos sedemikian deskriptif dan kadung menjadi pergunjingan kurang sedap oleh sebagian khalayak itu? Apalagi seandainya simpulan atas kematian Arya kelak berubah menjadi diakibatkan tindak pidana, tidakkah profil psikologis ADP per 29 Juli 2025 itu, menjadi sarat akan gambaran peyoratif?
Akses Pengujian
Pertanyaan tentang kepentingan keluarga ADP: bagaimana menyikapi sanak saudara almarhum yang skeptis akan hasil kerja polisi? Pada satu sisi, kerja polisi layak dihargai. Namun walau bagaimana pun, kerja polisi tetap terbuka untuk diuji.
Karena itulah, di sekian negara (yuridiksi), hasil eksaminasi oleh polisi tentang kematian seseorang bisa saja diuji tanding oleh pihak keluarga orang tersebut.
Manakala examination dan cross examination bersimpulan sama, polemik berakhir. Namun, jika berbeda, hasil cross examination bisa diajukan ke hakim untuk kemudian 'dihadap-hadapkan' dengan hasil examination. Nantinya hakim yang akan memutuskan, hasil manakah yang terpercaya.
Demikianlah wujud terelisasinya azas fairness.
Permasalahannya, praktik baik sedemikian rupa belum lazim di Indonesia. Bahkan, sepengetahuan saya, tampaknya belum ada sama sekali. Eksaminasi forensik masih dikuasai sepenuhnya oleh polisi.
Sementara pihak lain tidak memiliki akses setara untuk mengeksaminasi silang apa-apa yang telah disimpulkan polisi.
Semoga penegakan fairness terkait examination dan cross examination bisa masuk dalam RUU KUHAP versi baru yang sekarang tengah diracik di gedung DPR.
Penulis adalah Konsultan dan Alumnus Psikologi Universitas Gadjah Mada
Sumber: Kompas.com
« Prev Post
Next Post »