Berita Terbaru

Diberdayakan oleh Blogger.

RKUHAP dan Reformasi Prosedural yang Membahayakan

Foto Ilustrasi. 

Oleh: Antoni Putra 

RANCANGAN Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang tengah digodok di DPR seharusnya menjadi momen pembaruan sistem peradilan pidana nasional.

Namun alih-alih memperkuat keadilan dan transparansi, draf yang beredar justru menyembunyikan ancaman terhadap prinsip dasar penegakan hukum: independensi.

Salah satu korban potensial dari bangunan hukum baru ini adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pangkal masalah terletak pada aturan main yang menyangkut penyidikan dan penyerahan berkas perkara.

Secara kasat mata, Pasal 7 ayat (5) RUU KUHAP memang menyebutkan pengecualian bagi KPK dari kewajiban berada di bawah koordinasi penyidik Polri. Namun, pengecualian ini bersifat parsial.

Dalam Pasal 8 ayat (3), yang mengatur tentang pelimpahan berkas perkara ke penuntut umum, justru tak ada celah bagi KPK untuk melakukannya secara mandiri. Semua harus melalui penyidik Polri.

Ketentuan yang Menjebak

Ketentuan Pasal 8 ayat (3) adalah jebakan hukum. Ia menyisipkan perubahan mendasar dalam praktik penegakan perkara korupsi tanpa menyebut KPK secara eksplisit.

Akibatnya, lembaga yang selama ini dikenal mandiri dalam menyidik dan menuntut kasus korupsi harus bergantung pada institusi lain. Di sinilah titik rawan itu muncul, pintu dibuka lebar bagi intervensi, tarik ulur, dan manuver non-yuridis.

Selama dua dekade, KPK menjadi aktor sentral dalam pembongkaran kasus-kasus besar yang melibatkan kekuasaan. Keberhasilannya bukan hanya ditentukan oleh semangat pemberantasannya, melainkan juga oleh desain kelembagaannya yang bebas dari kendali vertikal lembaga lain.

Ketika RUU KUHAP menetapkan jalur pelimpahan berkas perkara melewati penyidik Polri, yang terjadi bukan sekadar perubahan prosedural. Ini adalah restrukturisasi diam-diam terhadap otoritas KPK.

Lebih buruk lagi, konstruksi seperti ini berpotensi membuka ruang transaksi baru. Proses pelimpahan berkas bukan lagi hubungan langsung antara penyidik dan jaksa, melainkan diselingi oleh aktor tambahan yang tidak relevan secara fungsional.

Di titik ini, bukan hanya efektivitas yang dipertaruhkan, tapi juga integritas. Perkara bisa tertunda, diperlambat, atau bahkan dipetieskan lewat jalur koordinasi yang tak transparan.

Kritik terhadap model ini bukan sekadar kekhawatiran berlebihan. Dalam praktik penegakan hukum, struktur menentukan kultur.

Ketika KPK dipaksa menyusuri jalur Polri dalam membawa berkas ke jaksa, maka seluruh ritme kerjanya akan ikut berubah. Tidak ada lagi kecepatan khas KPK dalam menuntaskan perkara.

Yang muncul justru ruang-ruang abu-abu yang rentan dimanfaatkan untuk kepentingan non-hukum. Argumen bahwa semua penyidik harus tunduk pada satu pola koordinasi demi keseragaman prosedur juga tak berdasar.

Justru dari lembaga-lembaga yang independen seperti KPK muncul terobosan hukum yang mampu menembus kebuntuan struktural selama ini.

Menyamakan seluruh mekanisme penyidikan dengan pendekatan seragam tak hanya membingungkan, tapi juga kontraproduktif. Ini seperti menyuruh semua kendaraan melintasi satu gerbang tol tanpa peduli kapasitas dan tujuannya.

Skema yang Menyeret Kejaksaan

Persoalan ini tidak hanya menimpa KPK. Penyidik kejaksaan pun mengalami nasib serupa karena masuk dalam kategori “penyidik tertentu” yang dikenai kewajiban serupa dalam RUU KUHAP.

Padahal, dari perspektif sistem hukum, penyidik kejaksaan justru lebih tepat berkoordinasi langsung dengan jaksa penuntut umum karena keduanya berada dalam satu atap kelembagaan.

Ironisnya, RUU KUHAP justru memutus jalur internal tersebut dan menggantinya dengan jalur luar yang justru memperpanjang proses hukum. Ketika berkas perkara harus diserahkan ke jaksa melalui penyidik Polri, maka kejaksaan kehilangan kontrol penuh terhadap kualitas alat bukti sejak awal.

Ini menciptakan ketimpangan logika yang fatal, terutama ketika proses pembuktian di pengadilan memerlukan kejelasan asal-usul dan cara perolehan alat bukti. Selama ini, jaksa kerap dipaksa menuntut berdasarkan berkas perkara yang tidak mereka ketahui proses penyusunannya.

Dalam banyak kasus, ini memunculkan risiko pelanggaran hak asasi tersangka atau terdakwa karena bukti yang diajukan tidak sepenuhnya sah atau relevan.

Banyak perkara runtuh di pengadilan karena masalah pada tahapan awal penyidikan: bukti yang tak sah, prosedur yang dilanggar, atau kesalahan administratif yang fatal.

Jika jaksa diposisikan hanya sebagai pelaksana penuntutan tanpa hak mengetahui proses perolehan bukti, maka fungsi kontrol terhadap legalitas penyidikan menjadi hilang. Sistem ini tidak hanya menyulitkan jaksa, tapi juga mengorbankan kepentingan pencari keadilan.

Seharusnya, jika memang diperlukan pengawasan dalam proses penyidikan, maka kejaksaan yang lebih tepat diberi peran tersebut.

Dalam banyak sistem hukum modern, jaksa bukan sekadar pelaksana penuntutan, melainkan penanggung jawab pembuktian sejak awal. Logika ini justru dikhianati oleh RUU KUHAP yang menempatkan kepolisian sebagai simpul semua alur kerja hukum pidana, termasuk pada bidang yang bukan menjadi kewenangannya secara alami.

Di sinilah tampak bahwa RUU KUHAP tidak sedang menyusun sistem yang efisien dan adil, melainkan tengah merancang ulang arsitektur kekuasaan penegakan hukum.

Kepolisian diberi posisi sentral dan dominan, bahkan dalam hal-hal yang semestinya independen. Jika ini dibiarkan, maka sistem penegakan hukum ke depan berpotensi semakin rumit, dan ruang manipulatif akan terbuka lebar.

Memang, secara kelembagaan Polri adalah lembaga yang baik. Namun, praktiknya selama ini oknum di dalamnya acap kali membelokkan kebaikan tersebut.

Kini, publik menghadapi pilihan penting. Apakah akan membiarkan RUU KUHAP melaju dengan pasal-pasal bermasalah seperti ini, atau justru mendorong koreksi fundamental sebelum terlambat?

Perlu dipahami, yang dipertaruhkan bukan hanya masa depan KPK atau kejaksaan, melainkan masa depan kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri. Pemberantasan korupsi tak bisa dijalankan dengan kerangka hukum yang justru menyuburkan praktik-praktik intervensi.

KPK bukan lembaga sempurna, tetapi ia lahir dari ketidakpercayaan terhadap sistem lama yang penuh kompromi dan kepentingan.

Jika sistem baru yang sedang disusun justru menariknya kembali ke orbit struktur lama, maka kita telah menyia-nyiakan perjuangan panjang reformasi hukum. RUU KUHAP masih mungkin diperbaiki. Namun, untuk itu, dibutuhkan lebih dari sekadar kehendak politik. Diperlukan kesadaran bahwa keadilan tak bisa dibangun dengan mereduksi independensi. Dan bahwa hukum yang sehat bukan yang tunduk pada kekuasaan, melainkan yang berdiri untuk membatasi kekuasaan.

Penulis adalah Dosen di Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.


Sumber: Kompas.com

Previous
« Prev Post
Show comments

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *