Berita Terbaru

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengampunan Negara untuk Tom dan Hasto: Pertaruhan Reputasi Prabowo

Hasto Kristiyanto (kiri) dan Tom Lembong (kanan). 

Oleh: Ija Suntana

PRESIDEN Prabowo Subianto telah mengajukan abolisi untuk Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) dan amnesti untuk Hasto Kristiyanto ke DPR. DPR menerima dan menyetujuinya.

Dalam diskursus hukum tata negara modern, abolisi dan amnesti bukanlah sekadar pengampunan yang dikemas dalam narasi kemanusiaan. Ia adalah instrumen konstitusional yang sarat muatan politik dan harus diletakkan dalam kerangka kebangsaan yang jernih, objektif, dan terukur.

Ketika presiden mengajukan abolisi dan amnesti, maka negara sedang mengambil keputusan historis sekaligus rawan.

Melalui abolisi dan amnesti negara membebaskan sejumlah orang dari jeratan hukum dengan harapan membangun masa depan yang lebih stabil. Namun, ada bahaya laten mengintai, yaitu wibawa peradilan yang terdampak dan kompromi kekuasaan sesaat.

Di sinilah pentingnya abolisi dan amnesti yang berkeadilan, berwibawa, dan berdampak positif bagi keutuhan bangsa.

Abolisi dan amnesti terletak dalam wilayah abu-abu antara memaafkan dan menghukum.

Di satu sisi, abolisi dan amnesti dapat menjadi strategi damai yang mencegah konflik dan ketegangan di masyarakat.

Di sisi lain, jika diterapkan secara sembrono, maka dapat melukai rasa keadilan, menciptakan impunitas, dan mendegradasi martabat sistem peradilan.

Inilah paradoks yang hanya bisa dijembatani dengan satu pendekatan, yaitu abolisi dan amnesti harus konstitusional, transparan, dan selektif. Filosofis abolisi dan amnesti adalah memetakan bahwa keadilan bukan sekadar urusan membalas, tetapi juga menata ulang relasi sosial yang retak.

Oleh sebab itu, setiap abolisi dan amnesti harus benar-benar untuk menyelamatkan bangsa, bukan untuk menyelamatkan segelintir elite dari jerat hukum. Agar abolisi dan amnesti tidak menjadi alat negosiasi kekuasaan, paling tidak ada empat kriteria rasional yang mesti dipenuhi.

Pertama, berbasis pada prinsip kepentingan umum yang objektif dan terukur. Abolisi dan amnesti harus didasarkan pada alasan yang bersifat publik, bukan alasan personal, partisan, atau transaksional.

Kepentingan umum dalam hal ini mencakup stabilitas nasional dan pencegahan perpecahan di masyarakat.

Abolisi dan amnesti tidak untuk menyelamatkan individu karena kedekatan politik, tetapi benar-benar sebagai intervensi negara demi menghindari dampak sistemik dari proses hukum.

Kedua, melalui mekanisme konstitusional. Abolisi dan amnesti harus melewati prosedur konstitusional yang sah dan melibatkan lembaga pengimbang, dalam hal ini parlemen untuk memberikan pertimbangan.

Bahkan, menurut saya, jangan melupakan Mahkamah Agung untuk menilai aspek yuridisnya.

Mekanisme ini diperlukan untuk memastikan abolisi dan amnesti tidak dilakukan secara sewenang-wenang oleh eksekutif dan tetap dalam kerangka checks and balances.

Ketiga, khusus untuk abolisi, tidak bertentangan dengan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Abolisi tidak berlaku terhadap kasus yang sudah diputus dan berkekuatan hukum tetap.

Saluran lain untuk membatalkan putusan, mekanisme yang digunakan bukan abolisi dan amnesti, tapi grasi.

Kriteria ketiga ini penting untuk menghormati kedaulatan kekuasaan kehakiman dan menjaga wibawa serta kepastian hukum.

Keempat, abolisi dan amnesti harus diiringi transparansi publik. Setiap keputusan abolisi dan amnesti harus dijelaskan secara publik, terbuka, dan dengan alasan moral politik yang kuat.

Hal ini penting dilakukan karena abolisi dan amnesti menyangkut kepercayaan publik terhadap keadilan negara. Bila tanpa penjelasan yang kuat dan terang, masyarakat bisa menilai negara melindungi pelaku kejahatan.

Pertaruhan Reputasi Presiden

Di antara kekuasaan istimewa yang melekat pada jabatan presiden dan mengandung pertaruhan konstitusionalnya adalah pemberian abolisi dan amnesti.

Pemberian abolisi dan amnesti merupakan “ikhtiar kenegaraan” yang menyeberangi medan ranjau antara legitimasi dan delegitimasi, antara wibawa dan kontroversi.

Keputusan untuk memberikan abolisi dan amnesti bukan sekadar ekspresi kekuasaan, melainkan ekspresi dari konflik internal kekuasaan itu sendiri.

Ketika hukum menuntut kelanjutan proses, tetapi negara membutuhkan penghentian demi keutuhan. Inilah paradoks bagi seorang presiden, ia harus memutuskan menghentikan hukum demi keadilan yang lebih tinggi, tanpa merusak hukum itu sendiri.

Ketika presiden memutuskan memberi abolisi dan amnesti, ia sedang menjalani ujian integritas politik paling tinggi. Abolisi dan amnesti bukan produk birokrasi, tapi pernyataan moral dan konstitusional yang akan dikenang dalam sejarah kenegaraan.

Risikonya adalah antara dipuji oleh sebagian pihak sebagai pemulih keadilan substantif atau dikecam oleh sebagian lain sebagai pengkhianatan terhadap supremasi hukum.

Sehubungan dengan hal di atas, keputusan abolisi dan amnesti menuntut keteguhan moral, kecerdasan membaca peta sosial, dan keberanian konstitusional untuk mengambil risiko sejarah.

Setiap abolisi dan amnesti yang diberikan tidak pernah sepi dari kontroversi. Dalam hal pemberian abolisi dan amnesti, Presiden diuji, apakah ia tunduk pada tekanan opini mayoritas yang belum tentu adil, atau ia memilih jalan kenegarawanan visioner, yang mungkin dibenci saat ini, tetapi dikenang sebagai penyelamat kemudian.

Perlu diingat bahwa sejarah tidak selalu ditulis oleh mereka yang setia pada prosedur, tetapi oleh mereka yang berani melampaui prosedur demi menjaga substansi republik.

Maka ketika Presiden memberikan abolisi dan amnesti, sesungguhnya ia sedang bergumam, “Saya tahu ini tidak akan menyenangkan semua orang, tapi saya percaya ini akan menyelamatkan lebih banyak orang dalam waktu yang panjang.”

Presiden yang memberi abolisi dan amnesti dengan dasar konstitusional yang kokoh, pembacaan sosial yang dalam, dan niat kenegarawanan yang jujur tidak perlu takut pada yang kontra.

Waktu akan menjadi hakim yang paling adil. Dan ketika republik akhirnya berdiri lebih stabil, lebih adil, dan lebih damai karena keputusan itu, maka abolisi dan amnesti yang dulu dikritik akan berubah menjadi warisan sejarah seorang negarawan.

Penulis adalah Pengajar pada Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Gunung Djati Bandung


Sumber: Kompas.com

Previous
« Prev Post
Show comments

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *