![]() |
Ilustrasi Antrean pengisian solar di SPBU. |
Oleh: Fadali Rahman
BEBERAPA waktu terakhir, pemandangan antrean panjang di SPBU kembali menjadi potret harian yang akrab di berbagai daerah, khususnya di kawasan timur Indonesia.
Truk-truk logistik berhenti total, mobil-mobil pengangkut hasil tani tidak bisa bergerak, dan perahu-perahu nelayan terparkir di pelabuhan kecil menanti tangki penuh. Mereka semua menunggu satu hal yang semakin sulit didapat: solar subsidi.
Bagi sebagian orang di kota besar, antrean solar mungkin hanya sekilas berita yang berlalu di layar televisi atau media sosial.
Namun bagi banyak masyarakat di lapisan bawah terutama para sopir, nelayan, petani, dan pelaku UMKM logistic keterlambatan mendapatkan solar berarti pendapatan yang hilang.
Lebih dari sekadar antrean, ini adalah jeda paksa dalam roda penghidupan mereka. Sebuah jeda yang terlalu panjang bisa mengancam kestabilan ekonomi keluarga.
Solar: Nafas Produksi dan Penghidupan
Seorang sopir truk pengangkut hasil pertanian, misalnya, biasanya mengandalkan sistem pembayaran harian atau per ritase. Jika ia tidak bisa mengisi solar, maka satu hari itu adalah hari tanpa penghasilan.
Sementara kebutuhan keluarga tidak bisa ditunda: makan, listrik, transportasi anak sekolah, hingga cicilan kredit yang kian menekan.
Nelayan pun demikian. Di banyak desa pesisir, mereka harus melaut sebelum subuh demi membawa pulang hasil tangkapan. Namun ketika solar langka, aktivitas melaut pun tertunda.
Bukan hanya mereka yang kehilangan penghasilan, tapi juga pasar lokal yang kekurangan pasokan ikan segar, dan tentu berdampak pula pada harga yang membebani konsumen.
Kita juga tidak boleh lupa para petani. Mesin-mesin pertanian yang menggunakan diesel, seperti pompa air atau alat bajak modern, bergantung penuh pada solar. Musim tanam dan panen yang bergeser akibat keterlambatan BBM bisa mengacaukan produktivitas dan distribusi hasil pertanian secara luas.
Dengan kata lain, solar adalah denyut ekonomi mikro masyarakat kecil. Ketika suplai solar terganggu, maka efek domino menjalar: dari keterlambatan pekerjaan, penurunan pendapatan, hingga terganggunya ketahanan pangan dan logistik lokal.
Energi yang Tidak Lagi Berkeadilan
Persoalan antrean solar tidak bisa dilepaskan dari ketimpangan dalam distribusi energi nasional. Ironisnya, mereka yang paling bergantung pada solar justru sering menjadi kelompok yang paling kesulitan mengaksesnya.
Padahal dalam Pasal 33 UUD 1945 disebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Tapi dalam praktiknya, distribusi energi seperti solar masih sering gagal menjangkau mereka yang paling membutuhkan.
Di satu sisi, pemerintah berusaha menekan subsidi agar lebih tepat sasaran. Namun di sisi lain, kebijakan itu belum sepenuhnya menyentuh kenyataan lapangan.
Banyak nelayan yang belum memiliki kartu nelayan, banyak petani dan sopir yang tidak terdata secara resmi, sehingga akhirnya kalah dalam antrean atau bahkan tak mendapat jatah sama sekali.
Padahal, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), lebih dari 60 persen pelaku usaha kecil di sektor pertanian dan perikanan masih bergantung pada BBM bersubsidi. Jika distribusi ini tidak ditata ulang dengan pendekatan berbasis keadilan, maka kesenjangan akan terus melebar dan beban ekonomi rakyat kecil makin berat.
Menata Energi, Menata Harapan
Kita tidak sedang bicara tentang kelangkaan bahan bakar semata, tapi tentang kelangkaan kepastian hidup bagi rakyat kecil. Ketika truk tidak jalan, perahu tidak berlayar, atau sawah tidak bisa diairi, maka bukan hanya satu sektor yang terganggu, tapi mata rantai kehidupan ekonomi masyarakat pun terguncang.
Sebagai negara yang menjunjung tinggi keadilan sosial, sudah sepatutnya kita menyusun ulang sistem distribusi energi terutama solar dengan pendekatan kemanusiaan.
Energi adalah hak dasar pembangunan. Ia tidak boleh hanya menjadi komoditas yang diperjualbelikan, tetapi harus dimaknai sebagai sumber daya publik yang menjamin kehidupan masyarakat bawah.
Pemerintah pusat maupun daerah perlu segera memperbaiki sistem distribusi dengan:
a. Pendataan ulang penerima manfaat subsidi,
b. Digitalisasi distribusi dan pengawasan SPBU,
c. Prioritas suplai untuk sektor produktif rumah tangga seperti pertanian, perikanan, dan logistik kecil,
d. Edukasi masyarakat untuk penggunaan yang tepat.
Antrean solar tidak boleh lagi dianggap rutinitas biasa. Ia adalah sinyal keras dari sistem yang belum berpihak.
Setiap liter solar yang tertunda bukan hanya menghentikan mesin, tapi juga memperlambat langkah ekonomi keluarga yang menggantungkan hidup pada kerja harian.
Sudah saatnya negara benar-benar hadir. Bukan sekadar mengatur distribusi, tapi juga menjamin bahwa energi tidak menguap sia-sia, dan nafkah rakyat tidak terus-menerus terhambat oleh sistem yang tumpul ke bawah.
Penulis adalah Dosen Magister Manajemen Universitas Madura.
Sumber: detik.com
« Prev Post
Next Post »