![]() |
Foto ilustrasi. |
Oleh: Firdaus Arifin
DI MEJA kekuasaan, tak ada uang yang benar-benar disebut “uang kekuasaan”. Semua datang dari satu sumber: rakyat. Dari gaji guru yang dipotong pajak, dari keringat petani yang membeli pupuk, dari pekerja yang diam-diam membayar PPN di setiap pembelian.
Filsuf politik John Locke pernah menjelaskan dalam Second Treatise of Government bahwa pemerintah hanyalah trustee, penjaga titipan rakyat, bukan pemiliknya. Di atas meja itu, uang rakyat berubah bentuk. Ia menjadi anggaran. Ia menjadi pos belanja. Ia menjadi angka-angka yang dingin.
Dan ketika angka itu berpindah dari buku APBN ke ruang rapat, jarak antara “rakyat” dan “uangnya” menjadi begitu jauh. Meja itu menjadi tempat di mana kepentingan dinegosiasikan, janji dibungkus kata, dan prioritas diurutkan—bukan oleh yang membayar, tapi oleh yang memegang pena.
Kekuasaan selalu punya bayangannya sendiri. Uang rakyat yang sampai ke meja kekuasaan jarang datang sendirian; ia membawa bayangan kepentingan.
Thomas Jefferson pernah memperingatkan bahwa kebebasan akan memudar ketika publik lupa bahwa uang negara berasal dari rakyat (surat kepada Albert Gallatin, 1809). Sebagian bayangan itu memang sah—jalan dibangun, sekolah diperbaiki, rumah sakit diperluas.
Sebagian lainnya samar, bergerak di sudut-sudut gelap birokrasi. Bayangan itu bisa berupa proyek mercusuar yang tak pernah selesai, perjalanan dinas yang lebih mirip liburan, atau paket bantuan yang menjadi alat kampanye.
Dalam bayangan, uang rakyat kehilangan wajah awalnya dan mengenakan topeng yang sesuai kebutuhan penguasa.
Di negeri ini, pesta anggaran bisa terasa lebih meriah daripada pesta rakyat. Ekonom peraih Nobel, Amartya Sen, menulis dalam Development as Freedom (1999) bahwa pembangunan sejati adalah proses memperluas kebebasan yang nyata dimiliki manusia.
Namun di kota yang sama, rakyat antre membeli beras murah, sementara di hotel bintang lima, pejabat menandatangani kontrak proyek dengan jamuan makan malam. Ada ironi yang tak pernah hilang: anggaran negara disebut sebagai “hasil kerja keras pemerintah”, padahal sumbernya adalah kerja keras rakyat.
Dalam pesta kekuasaan, jarang ada kursi untuk mereka yang membayar pesta itu. Tak semua uang rakyat dibelanjakan dengan gegap gempita. Ada pos-pos sunyi yang tak masuk berita: biaya sidang yang tak membuahkan keputusan, dana riset yang disimpan sampai hangus, atau bantuan yang berhenti di gudang karena lupa distribusi.
Michel Foucault tidak pernah menulis kalimat ini persis, tapi dalam Discipline and Punish ia menjelaskan bahwa kekuasaan sering bekerja justru melalui prosedur-prosedur sunyi yang tampak netral, tapi menentukan arah kebijakan.
Setiap rupiah yang mengendap tanpa manfaat adalah kesempatan yang hilang—mungkin untuk membangun puskesmas di kampung terpencil, mungkin untuk menambah beasiswa anak nelayan.
Uang rakyat yang sampai di meja kekuasaan sering menjadi alat tukar. Tukar suara di parlemen. Tukar dukungan di pilkada. Tukar diamnya media. Tukar setia di partai politik.
Antonio Gramsci, dalam Prison Notebooks, menulis bahwa hegemoni bekerja bukan hanya melalui paksaan, tetapi juga melalui persetujuan yang sering dibangun dengan dukungan material.
Di dalam permainan itu, logika pembangunan dikalahkan oleh logika politik. Ketika uang rakyat menjadi chip dalam perjudian kekuasaan, maka yang kalah bukan sekadar kas negara—tapi martabat publik.
Kekuasaan punya ingatan yang aneh. Ia mengingat siapa yang mendukung, tapi sering lupa siapa yang membayar. Dalam lupa itu, kata “uang negara” perlahan menggantikan “uang rakyat”.
George Orwell tidak menulis kalimat “menguasai bahasa adalah menguasai pikiran” secara persis, tetapi dalam Politics and the English Language dan novel 1984 ia menunjukkan bahwa bahasa dapat membentuk kesadaran.
Menghapus rakyat dari bahasa berarti menghapus rakyat dari tujuan kebijakan. Di meja kekuasaan, pertanyaan tentang uang rakyat jarang terdengar lantang. Siapa yang berani bertanya, sering dianggap mengganggu.
Padahal pertanyaan sederhana seperti “Mengapa ini lebih penting dari itu?” atau “Siapa yang benar-benar akan merasakan manfaatnya?” adalah inti dari demokrasi.
Jürgen Habermas, dalam Between Facts and Norms (1992), menjelaskan bahwa legitimasi demokrasi hanya hidup jika publik dapat menguji alasan-alasan kebijakan secara bebas. Tanpa itu, demokrasi hanyalah upacara tanpa tanggung jawab.
Uang rakyat tidak pernah sepenuhnya milik negara. Ia hanya dititipkan. Dan setiap titipan membawa kewajiban untuk dikembalikan dalam bentuk yang lebih baik: jalan yang lebih aman, sekolah lebih layak, rumah sakit yang lebih lengkap, lingkungan lebih bersih.
Memulangkan uang rakyat berarti mengembalikan kepercayaan. Karena setiap rupiah yang diselewengkan, disia-siakan, atau dipakai untuk kepentingan sempit adalah utang moral yang tak bisa dibayar hanya dengan laporan keuangan.
Di akhir semua ini, meja kekuasaan hanyalah perantara. Uang rakyat lahir dari bawah, harus kembali ke bawah. Kekuasaan adalah pelayan dari arus itu, bukan pemiliknya.
Namun sejarah menunjukkan, arus itu sering terhenti di tengah jalan. Sebagian karena korupsi. Sebagian karena kebijakan yang buruk. Sebagian lagi karena kita, rakyat, terlalu diam.
Mungkin saatnya kita menggeser kursi. Duduk lebih dekat ke meja itu. Menanyakan, memeriksa, dan mengingatkan: uang yang ada di sana adalah milik kita. Dan seperti diingatkan Jefferson pada 1816, pemerintah yang lupa asal-usul uangnya akan segera lupa pada rakyatnya.
Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
Sumber: Kompas.com
« Prev Post
Next Post »