![]() |
Tangkapan layar gerak-derik diplomat Kemlu di kos sebelum ditemukan tewas. |
Oleh: Nuruddin Lazuardi
Kematian mendadak individu dengan profesi strategis, seperti diplomat, seringkali menyisakan pertanyaan kompleks-terutama jika ditemukan dalam kondisi tak lazim dan minim saksi.
Kasus meninggalnya Arya Daru Pangayunan (ADP), seorang diplomat Indonesia berusia 39 tahun, pada Juli 2025 di sebuah indekos kawasan Menteng, Jakarta Pusat, memicu pertanyaan apakah penyebab kematian karen dibunuh, bunuh diri, kecelakaan atau alami?
Wajah korban ditemukan tertutup lakban, tubuh berselimut, dan ruangan terkunci dari dalam, tanpa tanda kekerasan fisik dari luar. Kasus ini menuntut kajian interdisipliner yang salah satunya adalah korelasi antara psikologi forensik dan digital forensik.
Profiling melalui forensik digital mencakup upaya untuk mengambil data dan informasi dari perangkat digital. Sehingga tidak terbatas hanya kepada komunikasi terakhir, dan penelusuran sosial media saja, tetapi juga informasi foto-foto, baik yang dihapus dan tidak dihapus, file-file dokumen, group-group komunikasi di platform komunikasi online, dan bagaimana korban melakukan komunikasi tersebut, serta adakah hal-hal yang memiliki relasi dengan fenomena kematian korban.
Data-data tersebut kemudian dianalisa untuk mendapatkan bukti-bukti pendukung dalam untuk mendapatkan kebenaran yang terang tentang penyebab kematian ADP.
Digital forensics dan jejak komunikasi - seperti log telepon, pesan terakhir, rekaman CCTV, serta pola komunikasi yang kemungkinan berubah drastis sebelum kejadian atau bahkan setelah kejadian tersebut.
Selain itu juga perlu analisis relasi interpersonal dan dinamika sosial korban - perlu dilihat meliputi:
1. Apakah korban memiliki relasi yang bersifat kontrol, abusive, atau manipulatif?
2. Apakah ada ketidakseimbangan kekuasaan atau tekanan psikis dari lingkungan terdekat korban?
3. Apakah ada pola relasional yang memungkinkan terjadinya victimization terselubung?
Profil psikososial ADP--melalui pendekatan victimology dapat mengidentifikasi apakah korban memiliki kerentanan tertentu (mental, sosial, ekonomi) yang dapat dimanfaatkan oleh orang terdekatnya.
Berdasarkan perspektif kriminologi, kemungkinan seseorang melakukan bunuh diri dengan cara ekstrem seperti menutupi wajahnya sendiri menggunakan lakban memang tergolong langka.
Namun hal ini tidak mustahil, terutama jika dianalisis melalui pendekatan multidimensional yang melibatkan kondisi psikologis, tekanan sosial-ekonomi, dan ketersediaan sarana.
Satu referensi penting yang dapat memberikan pandangan pada kasus ini, yakni studi forensik yang berjudul "Asphyxiation by Occlusion of Nose and Mouth by Duct Tape: Two Unusual Suicides" dari deRoux dan Leffers (2009) mengungkap dua kasus nyata bunuh diri (di Amerika Serikat) dengan metode yang sama pada kasus ini, yang menggunakan duct tape (lakban).
Dalam kasus pertama, korban adalah pria berusia 47 tahun dengan riwayat skizofrenia paranoid dan ide bunuh diri yang sudah diketahui oleh keluarganya (memiliki diagnosis klinis).
Ia ditemukan di ruang bawah tanah oleh ibunya, dengan wajah tertutup lakban yang membentuk semacam masker menutupi hidung dan mulut. Tangan korban juga diikat longgar di belakang tubuhnya menggunakan tali, diduga untuk mencegah dirinya mencabut lakban tersebut saat mulai kehilangan napas. Selain itu, ditemukan beberapa surat bunuh diri ditemukan di tempat kejadian".
Kasus kedua melibatkan pria berusia 52 tahun. Tidak seperti kasus pertama yang memiliki diagnosis klinis, namun pihak keluarga menyampaikan bahwa korban mengalami depresi berat akibat masalah utang judi.
Ia ditemukan di kamar mandi hotel dengan kepala dililit lakban secara rapat, menutupi mata, hidung, dan mulut. Rekaman CCTV hotel menunjukkan bahwa ia masuk kamar sendirian dan membawa lakban tersebut tanpa adanya tamu lain yang masuk setelahnya.
Hasil otopsi kedua kasus ini menunjukkan bahwa kematian mereka akibat asphyxia (kondisi medis ketika tubuh kekurangan oksigen) karena penutupan hidung dan mulut menggunakan lakban. Berdasarkan temuan ini, maka dapat sangat memungkinkan seseorang melakukan bunuh diri dengan cara yang ekstrem.
Namun, ada hal penting lainnya yang perlu diperhatikan, yakni menelaah semua faktor-faktor yang dapat mendukung klaim tersebut, seperti faktor biologis atau fisik kematian, latar belakang sosial, psikologis, serta konteks tempat kejadian. Jika semua faktor mengarah pada konteks yang sama, maka tidak ada yang tidak mungkin bahwa korban memang melakukan bunuh diri.
Mignot (2022) dalam studi scoping review menyoroti tingginya prevalensi gangguan kecemasan, depresi, dan kelelahan emosional di kalangan diplomat akibat penempatan internasional, isolasi sosial, serta ketegangan politik. Gangguan ini diperparah oleh keterbatasan dukungan psikologis dan stigma terhadap kerentanan mental dalam dunia diplomatik.
Berdasarkan literatur (Mignot, 2022), ADP sebagai seorang diplomat berada dalam zona risiko tinggi gangguan depresi dan stres berat. Hipotesa terhadap kemungkinan bunuh diri akan makin kuat jika ditemukan riwayat psikologis sebelumnya.
Secara umum, membedakan antara kasus bunuh diri dan pembunuhan tidak bisa dilakukan secara instan atau hanya berdasarkan beberapa elemen bukti saja. Hal ini merupakan proses yang kompleks dan memerlukan analisis komprehensif dari berbagai sudut keilmuan, terutama ilmu kedokteran forensik, kriminalistik, serta penyelidikan tempat kejadian perkara (TKP).
Penentuan penyebab dan cara kematian, apakah bunuh diri atau dibunuh harus berlandaskan pada data empiris yang dikumpulkan melalui proses forensik yang sistematis.
Dalam konteks kematian seorang diplomat muda di kawasan Menteng, saya ingin menyampaikan bahwa kita harus berhati-hati dan netral dalam merespons. Publik tentu berhak untuk bertanya dan ingin tahu, namun kita juga harus memahami bahwa penyebab pasti kematian tidak dapat ditentukan hanya dari temuan awal seperti keberadaan lakban atau sidik jari dan CCTV serta asumsi-asumsi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Perlu diingat bahwa beberapa kasus bunuh diri bisa tampak seperti pembunuhan, dan sebaliknya, pembunuhan bisa direkayasa seolah-olah seperti bunuh diri (staged suicide). Itulah sebabnya, investigasi harus dilakukan secara menyeluruh dan lintas disiplin.
Pendekatan crime triangle analysis dalam kajian kriminologi menjelaskan bahwa setiap peristiwa kejahatan (atau dugaan kejahatan) merupakan hasil dari interaksi antara tiga unsur utama, yaitu: Pelaku (Offender), Korban (Victim), dan Tempat Kejadian Perkara/TKP (Place).
Ketiganya membentuk sebuah segitiga analitis yang memungkinkan aparat penegak hukum atau penyidik memahami bagaimana, kapan, dan dalam konteks apa kejahatan terjadi.
Dengan menggunakan kerangka ini, proses penyidikan awal akan diarahkan untuk menggali informasi dari sumber-sumber yang merepresentasikan atau memiliki keterhubungan langsung dengan ketiga elemen tersebut.
Oleh karena itu, dalam praktik penyidikan di lapangan, yang pertama kali dimintai keterangan umumnya meliputi pihak yang menemukan korban pertama kali, karena mereka memiliki akses langsung terhadap kondisi awal lokasi kejadian (Place) dan dapat memberi informasi tentang posisi tubuh, benda di sekitar, serta keadaan lingkungan saat mayat ditemukan.
Selanjutnya, saksi yang melihat atau mendengar langsung peristiwa, atau yang terakhir kali bersama korban, yang dapat memberikan gambaran mengenai potensi keterlibatan orang lain (Offender) jika ada, serta memperkirakan waktu kejadian atau perubahan situasi sebelum korban ditemukan.
Selanjutnya keluarga, teman, atau rekan kerja korban, yang dapat membantu menyusun profil psikososial korban (Victim) termasuk riwayat kesehatan mental, tekanan pribadi, atau relasi sosial yang dapat menjelaskan kerentanan korban terhadap tindakan bunuh diri atau kemungkinan menjadi sasaran kekerasan.
Ini menjadi PR penting bagi kepolisian untuk mengungkap pesan kematian korban. Pesan itu bisa saja ditemukan dari hasil autopsi apakah korban meninggal karena kekurangan oksigen untuk bernapas ataupun dari sebab lainnya.
Apakah kemudian korban meninggal setelah dililit lakban atau sebelumnya? Atau pesan tersebut ditemukan dari hasil forensik digital yang menemukan mungkin online diary atau catatan ataupun statement di media sosial terkait kondisi korban.
Atau bahkan dari hasil catatan medis korban dari dokter ataupun dari psikolog jika memang ada indikasi korban mengalami permasalahan kejiwaan dan melakukan konseling sehingga perlu ditelusuri kemudian penyebabnya apa.
Meski catatan medis sifatnya confidential namun untuk proses penyidikan DNA penyelidikan (apalagi korbannya MD) maka diperbolehkan. Sehingga "pesan" itulah yang penting untuk ditemukan.
Penulis adalah Dosen tidak tetap di Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia.
Sumber: detik.com
You are reading the newest post
Next Post »