 |
Terdakwa kasus dugaan korupsi impor gula, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong saat sidang pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat, 18 Juli 2025. |
Oleh: Mohammad Isa Gautama
THOMAS Trikasih Lembong alias Tom Lembong divonis 4 tahun 6 bulan penjara dalam kasus importasi gula. Ruang sidang tak hanya bergema oleh palu hukum, tetapi juga menggaung ke seluruh jagat politik dan opini publik.
Vonis ini mengguncang sendi hukum, retorika antikorupsi, dan narasi politik pemerintah. Ironis, majelis hakim menyatakan bahwa Tom Lembong tidak menerima suap, tidak mengambil keuntungan pribadi, bahkan tidak memiliki niat jahat (mens rea).
Alih-alih dinyatakan bebas, ia tetap dijatuhi hukuman pidana penjara karena dianggap melanggar prosedur administratif dalam keputusan izin impor gula.
Paradoks Retorika Politik
Fenomena ini tidak hanya mencerminkan krisis hukum, tetapi juga krisis komunikasi politik. Sejak awal, Presiden Prabowo Subianto menegaskan perang terhadap korupsi dengan retorika lantang.
Dalam pidato pelantikannya, ia berseru: "Kalau ikan busuk, busuknya dari kepala". Ucapan ini menggema sebagai ancaman moral terhadap birokrasi yang korup. Dalam pidato Hari Pancasila pada 2 Juni 2025, ia bahkan menyatakan bahwa tidak akan ada kompromi terhadap pelanggaran yang merugikan rakyat.
Di sisi lain, Presiden Prabowo pernah menawarkan jalan damai bagi koruptor besar. Buktinya, dalam kunjungan ke Mesir pada akhir 2024, ia mengatakan: "Kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan."
Maka, pertanyaannya pun mencuat: bagaimana bisa seorang yang tidak mencuri, tapi malah dipenjara, sementara pencuri besar diberi ruang kompromi? Fenomena ini dapat dibaca melalui kerangka teori framing dalam komunikasi politik.
Menurut Robert Entman, framing adalah proses seleksi dan penekanan aspek tertentu dari realitas untuk membentuk persepsi publik (2004).
Dalam kasus Tom Lembong, media dan pejabat publik menggaungkan istilah "korupsi impor gula", membingkai kasus ini sebagai pelanggaran kriminal berat, bukan kesalahan teknokratis yang terjadi dalam proses kebijakan publik.
Framing ini menutup ruang diskusi yang lebih rasional dan adil tentang esensi perkaranya. Pembingkaian ini diperkuat oleh gaya komunikasi populis yang menekankan moralitas simbolik. Dalam konteks ini, Prabowo tampil sebagai sosok pemberantas korupsi yang kuat, sebagaimana diharapkan oleh sebagian besar rakyat.
Namun, seperti yang diingatkan Murray Edelman dalam The Symbolic Uses of Politics, simbol-simbol politik sering kali digunakan untuk menciptakan persepsi stabilitas dan kepemimpinan, bahkan ketika kenyataannya jauh lebih kompleks (1985).
Dalam hal ini, komunikasi antikorupsi tampak digunakan sebagai instrumen simbolik untuk mempertahankan legitimasi kekuasaan, bukan sebagai prinsip keadilan sejati.
Lebih jauh, kerugian negara sebesar Rp 194 miliar yang disebut dalam dakwaan juga tidak berasal dari penggelapan, tetapi dari keputusan izin impor kepada koperasi, yang dianggap melanggar prosedur.
Dalam sistem hukum pidana modern, unsur niat jahat adalah fondasi utama. Tanpa niat jahat, tindakan administratif seharusnya tidak serta-merta dikriminalisasi.
Terbaliknya Efek Jera
Lebih dari sekadar putusan hukum, dampak terbesar dari vonis ini adalah efek jera yang terbalik. Bukan koruptor yang takut, tetapi pejabat bersih yang gentar mengambil kebijakan.
Ketika keputusan administratif bisa berujung pidana, maka logika birokrasi berubah total. Inovasi dan diskresi dalam pemerintahan akan tergantikan oleh sikap pasif dan defensif. Siapa pun yang ingin membuat terobosan akan berpikir beribu kali.
Jika dibaca melalui perspektif teori komunikasi kekuasaan Michel Foucault, maka vonis terhadap Tom Lembong dapat dipahami sebagai bentuk normalisasi hukum, yakni ketika kekuasaan menciptakan kebenarannya sendiri melalui aparat legal.
Dalam rezim seperti ini, hukum tidak lagi menjadi instrumen keadilan, melainkan alat untuk mengatur siapa yang boleh membuat kebijakan dan siapa yang harus dibungkam. Yang menjadi sorotan sudah bergeser dari tindakan, kepada siapa yang melakukannya.
Dalam ruang politik dan hukum yang semakin dibanjiri simbol dan frasa moral, publik kehilangan kemampuan membedakan antara tindakan teknis birokrasi dan kejahatan korupsi.
Ketidakjelasan ini menciptakan ketakutan massal. Jika pejabat bersih saja bisa dipenjara, siapa yang aman? Jika keputusan administratif bisa dijadikan bukti korupsi, siapa yang berani mengambil terobosan?
Dalam perspektif Jurgen Habermas, hal ini mencerminkan erosi ruang publik yang rasional. Ketika diskursus publik tidak lagi dibangun atas dasar argumentasi dan transparansi, melainkan dikendalikan oleh narasi-narasi simbolik dan komunikasi satu arah dari kekuasaan, maka hukum pun kehilangan legitimasinya. Komunikasi politik berubah dari wadah pertukaran gagasan menjadi alat kontrol massal.
Berdasarkan perkembangan terakhir, tim kuasa hukum Tom Lembong menyatakan banding atas vonis tersebut. Ini bukan semata langkah hukum, melainkan ujian besar bagi kredibilitas peradilan tinggi.
Apakah pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung akan mengembalikan akal sehat dalam penegakan hukum? Ataukah kita telah sampai pada titik di mana hukum benar-benar menjadi instrumen politik semata?
Yang tak kalah krusial, kini saatnya kita menata ulang komunikasi politik negara ini. Kita perlu keberanian bukan hanya dalam membasmi korupsi, tetapi juga dalam menyampaikan kebenaran dengan utuh.
Kita perlu pemimpin yang bukan hanya lihai beretorika, tetapi juga adil dalam kebijakan hukum. Jika komunikasi politik tidak diiringi integritas dan konsistensi hukum, maka apa pun bisa dipidana, dan siapa pun bisa dikorbankan. Ketika hukum kehilangan keadilan, maka negara kehilangan maknanya.
Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Padang, Pengamat Komunikasi Politik dan Sosiologi Media
Sumber: Kompas.com