![]() |
Komisi III DPR saat menggelar Rapat Revisi KUHAP di Gedung DPR, Senayan, Jakarta. |
Oleh: Firdaus Arifin
DALAM waktu hanya dua hari, Komisi III DPR RI dan pemerintah menyelesaikan pembahasan 1.676 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
Rapat Panitia Kerja berlangsung maraton, sejak pagi hingga dini hari. Alasan yang dikedepankan: KUHP baru akan berlaku pada 2 Januari 2026, dan harus disertai hukum acara pidana yang kompatibel.
Namun, adakah urgensi sedemikian rupa hingga proses hukum yang menyangkut hak dasar warga negara dijalankan secara tergesa?
Ketika undang-undang dibentuk dalam kecepatan yang melampaui batas rasional deliberasi, maka kita menghadapi bahaya: prosedur hukum menjadi jebakan prosedural, bukan perlindungan konstitusional.
Tak bisa dipungkiri, RUU KUHAP dibutuhkan untuk menyelaraskan sistem hukum acara dengan semangat KUHP baru, termasuk pendekatan keadilan restoratif yang kini menjadi arus utama.
Sejumlah pasal dalam RUU ini patut diapresiasi, seperti ketentuan penggunaan CCTV dalam ruang penyidikan, perluasan hak pendampingan hukum, perlindungan terhadap kelompok rentan, serta pembatasan penahanan dan blokir rekening.
Namun, substansi yang baik tak berarti hasilnya adil jika proses penyusunannya tak melibatkan publik secara bermakna. Partisipasi bermakna bukan hanya mendengar, tetapi memberi ruang kritis dan waktu cukup untuk menilai.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil seperti ICJR menyatakan bahwa proses pembahasan masih bersifat tertutup dan minim transparansi substansi.
DPR berdalih telah mengadakan lebih dari 50 kali Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dan pertemuan dengan akademisi serta advokat.
Namun, keterlibatan publik tak boleh berhenti di ruang hotel dan ruang rapat. Draf RUU, log pembahasan pasal, serta versi hasil sinkronisasi mesti diumumkan secara terbuka untuk diuji publik secara luas.
Kejanggalan
Perkiraan penulis menunjukkan: jika 1.676 DIM dibahas dalam 20 jam kerja efektif, maka satu DIM dibahas dalam waktu kurang dari dua menit. Dalam waktu sesingkat itu, mungkinkah menggali muatan substansi, mempertimbangkan praktik peradilan, dan menakar implikasi hak asasi?
Salah satu pasal yang disorot adalah kewajiban pemasangan CCTV di ruang penyidikan. Ini tampak progresif. Namun, menurut ICJR (2025), "rekaman hanya dikuasai oleh penyidik, bukan lembaga independen.
Hal ini mengurangi akuntabilitas dan membuka peluang manipulasi terhadap proses penyidikan."
Kritik juga muncul terhadap Pasal 140 RUU KUHAP yang memberikan imunitas hukum kepada advokat jika menjalankan tugas dengan itikad baik.
Namun tanpa batasan dan definisi normatif terhadap “itikad baik”, pasal ini berpotensi menjadi alat tafsir bebas yang bisa merugikan profesi advokat sendiri jika kelak dipelintir.
Kedaulatan
Hukum acara pidana bukan hanya milik polisi atau jaksa. Ia adalah hukum tentang nasib setiap warga negara saat bersentuhan dengan kekuasaan. Karena itu, pembentukannya tak boleh eksklusif. Ia harus terbuka, deliberatif, dan menjunjung kedaulatan publik dalam merumuskan hak dan jaminan keadilan.
Pasal-pasal dalam RUU ini tak sekadar teknis prosedural, tapi menyentuh langsung persoalan perlindungan warga: dari hak diam, hak didampingi, hak untuk tidak disiksa, hingga hak kelompok rentan seperti perempuan korban kekerasan seksual, anak, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat. Mereka yang paling terdampak, sering kali paling tak didengar.
Keterbukaan bukan sekadar teknis publikasi. Ia adalah ukuran komitmen terhadap demokrasi. Sayangnya, sampai tahap Tim Perumus (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin), draf yang disusun masih belum tersedia di ruang publik secara terbuka dan harian. Ini adalah pengingkaran terhadap hak publik untuk ikut mengawasi.
RUU KUHAP diperkenalkan sebagai produk reformasi sistem hukum pidana. Namun, jika dilihat lebih dalam, banyak pasal masih menyisakan kontradiksi antara idealisme norma dan realitas praktik.
Misalnya, ketentuan tentang penangguhan penuntutan melalui Deferred Prosecution Agreement (DPA) dan Plea Bargain—dua mekanisme hukum pidana modern yang disalin dari sistem common law seperti Amerika Serikat.
Padahal, sistem peradilan kita menganut sistem hukum civil law yang menekankan legalitas dan prosedur ketat. Tanpa regulasi rinci dan mekanisme pengawasan transparan, plea bargain atau DPA bisa menjelma alat transaksi yang memperluas ruang kompromi di luar pengadilan.
Kekhawatiran ini beralasan. Dalam sistem hukum kita yang masih minim pengawasan horizontal, pengenalan mekanisme seperti DPA dapat mengaburkan akuntabilitas jaksa penuntut umum, membuka ruang persekongkolan, dan memperdalam ketimpangan keadilan antara mereka yang mampu tawar-menawar dan mereka yang tidak.
Komisi III DPR dan pemerintah memang telah menunjukkan keberanian menyentuh naskah besar hukum acara pidana. Namun keberanian yang lebih besar adalah ketika mereka berani memperlambat untuk memperbaiki, berani membuka untuk dikritisi, dan berani merevisi kembali pasal yang multitafsir.
RUU KUHAP bukan proyek politik lima tahunan. Ia akan berlaku lintas pemerintahan, menyentuh jutaan kasus hukum, dan memengaruhi relasi rakyat dengan kekuasaan. Maka, tidak ada tempat bagi ego kelembagaan atau kepentingan jangka pendek dalam pembentukannya.
Yang kita butuhkan dalam pembentukan RUU KUHAP adalah kejujuran hukum: bahwa undang-undang tak bisa lahir dari proses yang terburu-buru, tak bisa diukur semata oleh jumlah pasal atau kecepatan Panja. Kita membutuhkan undang-undang yang berpihak pada hak dan bukan pada prosedur kosong.
Seperti diingatkan oleh Satjipto Rahardjo, “Hukum yang baik bukanlah hukum yang tertulis rapi, tetapi hukum yang memberi perlindungan nyata kepada manusia.”
Jika hukum acara pidana disusun tergesa dan tertutup, maka yang lahir bukanlah hukum yang baik, tetapi jebakan prosedural bagi warga yang lemah.
Kini, kita masih punya waktu. Timus dan Timsin belum menutup rapat pembahasan. Draf final belum diketuk palu di Paripurna. Ini adalah kesempatan terakhir untuk membuka dokumen, mengundang diskusi terbuka, dan menguji pasal-pasal secara publik.
RUU KUHAP harus menjadi wujud hukum yang adil, partisipatif, dan akuntabel. Ia tidak boleh menjadi mahakarya elite yang dibentuk tanpa suara publik. Jika proses ini gagal, maka yang lahir bukanlah hukum acara pidana modern, melainkan perpanjangan tangan kuasa lama yang hanya berpindah jubah.
RUU KUHAP terlalu penting untuk dibahas secara tergesa. Ia menyangkut wajah keadilan prosedural Indonesia ke depan. Ia adalah denyut paling dasar dari prinsip due process of law.
Hukum acara bukan hanya tentang bagaimana negara menghukum, tetapi tentang bagaimana negara melindungi mereka yang lemah dalam proses hukum. Dan tugas kita sebagai masyarakat sipil adalah memastikan bahwa perlindungan itu benar-benar hidup dalam setiap pasal yang dibahas.
Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
Sumber: Kompas.com
« Prev Post
Next Post »