Berita Terbaru

Diberdayakan oleh Blogger.

Negara Oplosan

Foto Ilustrasi. 

Oleh: Desi Sommaliagustina

PRAKTIK mencampur dua atau lebih bahan yang tak seharusnya digabungkan dikenal luas di kalangan masyarakat dengan istilah oplosan.

Dalam banyak kasus, ini berujung pada kerusakan, bahaya, bahkan kematian. BBM oplosan bisa merusak kendaraan. Beras oplosan menipu konsumen karena kualitas tak sesuai label.

Sayangnya, fenomena “oplosan” ini tidak hanya berlangsung di pasar-pasar tradisional atau kios bensin pinggir jalan. Secara ironis, praktik serupa kini tampak dalam tata kelola negara. Muncul apa yang dapat kita sebut sebagai negara oplosan, yakni sistem pemerintahan yang mencampuradukkan kekuasaan, wewenang, fungsi, dan etika, tanpa dasar prinsip konstitusional yang jernih.

Ini bukan metafora kosong. Fenomena tersebut terjadi dalam birokrasi, kebijakan publik, hingga hukum yang ditafsir dan diterapkan secara lentur demi kepentingan kelompok tertentu.

Salah satu gejala awal negara oplosan tampak dari praktik rangkap jabatan, terutama di level aparatur desa dan ASN. Banyak kepala desa dan perangkatnya yang secara bersamaan juga berstatus pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).

Padahal kedua posisi itu memiliki sistem penggajian, tanggung jawab, serta mekanisme evaluasi yang berbeda. Alih-alih memilih dan berkomitmen penuh pada satu jalur pengabdian, mereka menggabungkan keduanya dengan dalih efisiensi dan kebutuhan ekonomi.

Namun, persoalan ini tidak sesederhana mencari nafkah ganda. Praktik tersebut melanggar asas kepatutan administratif dan mengaburkan batas antara kekuasaan eksekutif tingkat desa dengan pelayanan publik profesional di sektor lain.

Ketika perangkat desa sekaligus menjadi guru atau penyuluh pertanian, maka konflik kepentingan tak bisa dihindari. Penggunaan kendaraan dinas, akses terhadap dana negara, serta tanggung jawab publik bisa menjadi simpang siur. Negara kehilangan kejelasan struktur.

Hal serupa juga terjadi di level atas. Pejabat publik merangkap jabatan komisaris di BUMN atau lembaga swasta lainnya. Bahkan, ada wakil menteri yang secara bersamaan duduk di kursi dewan pengawas lembaga pendidikan luar negeri.

Dalam negara demokrasi yang sehat, pembagian peran adalah jantung dari checks and balances. Ketika satu individu memainkan dua atau lebih peran secara bersamaan, akuntabilitas menjadi kabur. Siapa mengawasi siapa?

Kebijakan Oplosan: Bahaya Tambal Sulam

Negara oplosan juga dapat dilihat dari kebijakan yang kontradiktif. Di satu sisi pemerintah menyuarakan ketahanan energi dan ketergantungan domestik, tapi di sisi lain izin ekspor batu bara diperluas.

Di tengah kampanye penguatan UMKM dan produk lokal, justru dibuka keran impor produk pangan atau tekstil dari negara mitra dagang.

Semangat swasembada pangan tercampur dengan realitas kebijakan yang memprioritaskan efisiensi harga jangka pendek. Kebijakan yang “dioplos” ini menandakan absennya cetak biru pembangunan nasional yang kokoh.

Kebijakan muncul sebagai respons reaktif terhadap tekanan publik atau kelompok tertentu, bukan hasil perencanaan jangka panjang yang rasional dan berorientasi rakyat. Akibatnya, masyarakat dibingungkan oleh sinyal campur aduk dari negara. Bahaya lain dari negara oplosan adalah hukum yang cair, bisa dibentuk atau ditekuk sesuai kebutuhan kekuasaan. Banyak produk hukum lahir tanpa partisipasi publik yang bermakna.

Rancangan Undang-Undang digodok diam-diam, disahkan cepat, dan sering kali dibatalkan Mahkamah Konstitusi karena cacat formil maupun materil. Sementara itu, revisi terhadap undang-undang penting seperti UU MK, KUHP, dan UU ASN dilakukan dengan agenda politis, bukan koreksi substansial.

Praktik negara oplosan menjangkiti sistem hukum. Banyak regulasi disusun dengan muatan politik yang kental, tidak berpihak pada kepentingan rakyat luas.

Bahkan ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan pemisahan antara pemilu nasional dan daerah, reaksi elite adalah mendorong revisi UU Mahkamah Konstitusi, bukan meninjau ulang penyusunan undang-undang secara prosedural.

Fenomena ini menunjukkan bahwa hukum telah kehilangan watak lex superior, menjadi alat kekuasaan yang lentur. Banyak produk hukum yang lahir tergesa-gesa atau ditunda demi kalkulasi elektoral.

Di sisi lain, praktik pemalsuan dokumen, penggelembungan syarat PPPK, hingga pengangkatan tanpa dasar legal yang kuat, seperti yang terjadi di sejumlah daerah, justru tidak disanksi tegas.

Padahal, sesuai Pasal 263 KUHP, pemalsuan surat adalah tindak pidana dengan ancaman penjara hingga enam tahun. Sementara dalam konteks administrasi publik, Pasal 17 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mewajibkan pejabat pemerintahan menghindari setiap tindakan yang berpotensi menyalahgunakan wewenang.

Lebih dari itu, penegakan hukum kerap kali bersifat selektif. Praktik maladministrasi, penyalahgunaan aset negara, dan pemalsuan dokumen dalam seleksi ASN tidak diproses dengan setara.

Pelaku dengan akses kekuasaan mendapatkan impunitas, sementara rakyat biasa dihukum keras. Ini menciptakan hukum oplosan yang tampak tegas di atas kertas, tapi fleksibel di lapangan.

Pemerintahan yang sehat membutuhkan fondasi etika publik. Sayangnya, dalam negara oplosan, nilai moral juga ikut dicampur-aduk.

Korupsi tidak lagi dilihat sebagai pelanggaran hukum semata, tetapi kerap dipersepsikan sebagai “biaya politik”. Nepotisme dikemas sebagai “pilihan kepercayaan”.

Konflik kepentingan dibingkai sebagai “kebijakan sinergi”. Bahwa etik publik harus dikorbankan demi efektivitas atau loyalitas politik menjadi alasan yang kian umum.

Situasi ini membahayakan. Ketika pemimpin dan pejabat publik tidak menjadi teladan integritas, masyarakat menjadi permisif. Standar etika runtuh, dan yang tersisa hanyalah kalkulasi untung-rugi dalam bersikap. Budaya publik yang menghormati hukum dan nilai kebaikan bersama kian melemah.

Menjaga Negara

Negara tidak bisa dijalankan seperti laboratorium eksperimen kimia, tempat semua unsur dicampur untuk melihat hasilnya. Negara membutuhkan struktur yang jelas, fungsi yang tegas, dan moralitas yang kokoh.

Reformasi birokrasi harus kembali pada semangat cleansing dari praktik rangkap jabatan, penyalahgunaan wewenang, dan kebijakan tambal sulam.

Pemerintah perlu mempertegas larangan rangkap jabatan yang menimbulkan konflik kepentingan. Perlu evaluasi menyeluruh terhadap ASN yang juga menjabat dalam struktur pemerintahan desa.

Perlu juga penegakan integritas dalam penunjukan pejabat publik agar tidak lagi berbasis hubungan politik, tetapi meritokrasi. Di sisi lain, masyarakat sipil, media, dan akademisi harus memainkan peran kritis untuk terus mengingatkan dan mengoreksi jalannya negara.

Sistem demokrasi hanya bisa bekerja apabila publik menjadi bagian dari pengawasan aktif. Indonesia bukan negara yang lahir dari kompromi pragmatis, melainkan dari perjuangan ideologis dan semangat kebangsaan.

Negara ini didirikan dengan cita-cita luhur: keadilan sosial, persatuan, demokrasi, dan penghormatan terhadap hukum. Maka, negara ini harus dijalankan dengan kemurnian nilai, bukan campur aduk kepentingan.

Negara oplosan, jika terus dibiarkan, maka akan menggerus kepercayaan rakyat, merusak tatanan hukum, dan melemahkan legitimasi pemerintah. Kita tidak boleh mengizinkan eksperimen kekuasaan yang mengorbankan masa depan bangsa.

Kita membutuhkan negara yang jernih, tegas, dan bermoral. Jika BBM oplosan bisa merusak mesin, maka negara oplosan akan merusak republik. Dan jika itu terjadi, bukan hanya sistem yang runtuh, tapi juga harapan generasi mendatang.

Penulis adalah Dosen, Penulis dan Peneliti Universitas Dharma Andalas, Padang


Sumber: Kompas.com

Previous
« Prev Post
Show comments

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *